Lelaki itu menunggu dalam diam, sesekali membenahi tas kameranya, lalu memeriksa ponsel di satu tangan. Matanya kemudian beredar mengawasi sekitar, sekadar memerhatikan lalu-lalang orang-orang di depannya. Setelahnya, ia menghela napas, merasa bosan.
"Chanif!"
Seseorang berseru, menyebutkan namanya. Membuat ia menoleh, lantas bergegas berdiri.
"Ribet lo, ya, segala minta dijemput di lobi. Udah dibilang langsung ke atas aja," omel si pemanggil tadi. Chanif memutar bola matanya.
"Biar sama-sama ada effort, Mas," balasnya cuek. "Langsung, kan?"
Orang tadi mengangguk. Keduanya bergerak meninggalkan lobi, berjalan bersisian menuju lift. Sambil menunggu, berulang kali Chanif melempar pandang ke setiap sudut. Sungguh, gedung perkantoran sama sekali bukan tempat yang menarik minatnya. Rasanya, Chanif tidak akan betah berada di tempat membosankan seperti ini.
"Naik apa lo ke sini?" tanya lawan bicara Chanif, tepat saat pintu lift di depan mereka terbuka. Chanif tidak langsung menjawab, membiarkan hening menggantung di antara mereka kala melangkah memasuki kotak besi itu. Ada beberapa orang di dalamㅡdua atau tiga, entahlahㅡChanif tidak berminat untuk melihat lebih teliti.
"Eh, Mas Ajun," sapa seseorang pada lelaki di sebelah Chanif. Yang disapa membalas dengan senyum, teralih perhatiannya dari menanti jawaban Chanif.
"Dari mana, Mas?" Orang asing itu bertanya lagi.
Ajun tertawa kecil. "Jemput fotografer nih. Lantai tujuh belas duluan, ya."
Itu terdengar seperti kelakar, dan Chanif tidak tertarik mencari tahu lebih lanjut. Yang ia tahu, cara Ajun menyebutnya sebagai fotografer membuatnya gagal menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.
Beberapa pembicaraan lain sebelum lift berhenti di lantai enam belas dan orang-orang tadi keluar setelah bertukar salam perpisahan dengan Ajun. Meninggalkan sepasang pemuda itu berdua saja.
"Naik apa?" Ajun mengulang pertanyaannya. Chanif tidak terkejut. Ajun memang selalu begitu, memerhatikan hal-hal remeh.
"Kereta, terus nyambung ojek," jawab Chanif, bersamaan dengan denting lift yang menandakan mereka telah sampai. Pintu membuka dan keduanya melangkah keluar ketika Chanif balas bertanya. "Kenapa emang?"
Ajun angkat bahu. "Kirain jadi bawa motor. Tahu gitu, tadi pagi motornya gue bawa aja."
Chanif mencibir. "Kirain mau gantiin ongkos."
Satu tawa pendek menguar diiringi pukulan ringan di lengan Chanif. Ajun membawa mereka berbelok di ujung koridor, memasuki sebuah pintu, membuat pandangan Chanif segera menemukan deret sekat dan kubikel di satu ruangan cukup besar yang tidak terlalu ramai.
"Sekarang masih jam istirahat, lo siap-siap aja dulu," tutur Ajun, sembari memandang berkeliling. "Oh iya, Chan, gue, tuh, lupa ngabarin. Bentar," lelaki itu sibuk mencariㅡentah sesuatu, atau seseorang. Ia bahkan tidak memandang Chanif ketika melanjutkan, dengan suara lebih rendah, "Lo hari ini kerjanya bareng anak Portraindscape, ya? Kalo ada yang tanya, bilang aja lo dari Portraindscape juga. Soalnyaㅡ"
"Mas Danar?" potong Chanif begitu mendengar nama studio foto yang sangat familier di kepalanya. Studio besar, terkenalㅡPortraindscape.
"Hah?" Kali ini atensi Ajun kembali pada Chanif. "Bukan. Si Danar lagi sibuk katanya. Sombong emang manusia satu itu." Ajun mendengkus tertawa.
"Lah, terus? Mas, lo kan tahu, gue males motret bareng orang kalo enggak sefrekuensi."
Nada tidak terima dalam suara Chanif rupanya terlalu kentara. Karenanya, Ajun segera memandangnya lekat-lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
Ficção GeralMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...