23a; dua sisi koin

75 10 14
                                    

Chanif menghela napas sembari menghempaskan tubuhnya ke ranjang hotel. Di ranjang sebelah, rekannya sudah terlelap. Mereka memang memiliki agenda pekerjaan sejak subuh esok hari. Mata Chanif memejam sejenak, lekas kembali terbuka kala ponsel di sisi kepalanya bergetar.

Dari Ajun.

Setelah membagikan informasi detail lokasi dan tempatnya menginap pada sang kakak, obrolan daring mereka memang tidak hanya berhenti sampai di sana. Kakak beradik itu meneruskan percakapan, dengan topik tidak penting seperti biasa.

Sampai pada satu titik di mana Ajun kembali membicarakan soal calon kakak ipar.

Calon kakak ipar.

Chanif mendengkus. Diraihnya ponsel di sisi kepalanya hanya untuk memastikan pesan yang masuk beberapa saat lalu itu memang dari Ajun. Isinya singkat, hanya pemberitahuan kepulangan. Chanif melirik penunjuk waktu di pojok kiri atas layar ponselnya. Pukul sepuluh lewat dua puluh tiga menit. Cukup larut. Wajar jika kakaknya itu telah kembali ke rumah dan mungkin tengah bersiap beristirahat.

Mata Chanif menatapi kursor yang berkedip-kedip di kolom, seolah menantinya mengetik sesuatu untuk sang kakak. Chanif membaca kembali pesan terakhir yang Ajun kirim. Enam menit yang lalu.

"Ini baru nyampe. Lo besok jamber? Perlu gue teror ga hape lo biar bangun?"

Chanif mendengkus tertawa. Ajun selalu begitu. Hanya karena Chanif memiliki kebiasaan mudah terlelap di mana saja, dan sering kali sulit dibuat terbangun, Ajun memperlakukan Chanif seolah Chanif bukan seorang individu dewasa yang mampu bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Padahal, bangun di pagi hari bukan hal yang terlalu sulit bagi Chanif. Tidak tahukah Ajun kalau sang adik bahkan sering terjaga dari tidur karena mimpi buruk?

Tidak.

Ajun tidak tahu dan memang tidak perlu tahu.

Chanif menggelengkan kepala. Jemarinya lalu bergerak di layar, mengetik beberapa kalimat penolakan. Memberitahu Ajun bahwa ia akan baik-baik saja besok pagi. Tidak ada teror yang dibutuhkan.

Setelahnya, Chanif berniat meletakkan kembali benda persegi di tangannya ke sisi kepala. Namun urung, kala matanya tanpa sengaja membaca kembali beberapa pesan di atas. Pesan yang tergulir akibat sentuhan ibu jarinya di layar.

"Sama calon kakak ipar lo nih wkwk"

Chanif tidak akan bertanya bagaimana Ajun bisa bertemu Citra malam iniㅡia tidak berminat untuk tahu. Tapi semua ini mulai terasa menyebalkan. Chanif mengenal Ajun dengan sangat baik. Kecuali telah menetapkan hati begitu teguh, kakaknya itu tidak mungkin seenak jidat memberi predikat "calon kakak ipar" pada sembarang perempuan.

Gusar, lelaki itu memilih opsi keluar dari ruang obrolannya dengan Ajun. Layar ponselnya kini menampilkan daftar obrolan di aplikasi obrolan daring miliknya. Ia baru akan mengunci kembali ponselnya kala benda itu mendadak bergetar di tangannya. Dan sepasang mata Chanif menyaksikan bagaimana kontak bernama Citra Sacika H. berpindah letak menjadi nama teratas dalam daftar.

"Chan! Tau gak? Ternyata yang waktu itu ka...."

Chanif tidak tertarik untuk membaca keseluruhan pesan. Melihat dari pratinjau saja sudah cukup. Ia punya banyak terkaan perihal apa yang mungkin Citra sampaikan. Mungkin sesuatu yang baru saja disadari setelah berbincang lama dengan Ajun tadi. Entahlah. Sesuatu yang sepertinya mampu membuat gadis itu bersemangat.

Sialan.

Chanif mengumpat dalam hati. Kenyataan bahwa gadis itu menghubunginya segera setelah kembali dari menghabiskan malam bersama kakaknya ternyata cukup mengganggu. Meski ia telah memantapkan hati untuk menjauhkan diri, mengapa semesta seolah sengaja membuat Citra semakin menyulitkannya?

Beautiful Us✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang