"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat laㅡ"
Rama menghentikan suara monoton operator itu dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Pikirannya kalut. Sudah tiga jam ia hanya berusaha menghubungi satu nomor, dan tidak juga berhasil. Matanya kemudian bertemu pandang dengan wanita paruh baya yang sejak tadi menungguinya.
"Bara beneran enggak bilang apa-apa tadi, Mbok?" tanya Rama sopan, berusaha menyembunyikan cemas dalam suaranya. Orang di hadapannyaㅡMbok Sri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk keluarga Bara sejak anak majikannya itu masih SDㅡhanya menggeleng heran.
"Pulang-pulang cuma masuk ke kamarnya sebentar, Mas. Terus langsung pergi lagi, enggak ada bilang apa-apa."
Rama menoleh ke arah pintu depan, "Itu mobilnyaㅡ"
"Tadi perginya jalan kaki, Mas. Mungkin cari taksi di depan."
Jalan kaki.
Bara yang sudah membawa mobil pribadi kemana-mana segera setelah umurnya genap tujuh belas tahun itu mana mungkin jalan kaki?
Rama tercenung. "Tadi pas pergi dia bawa apa gitu, Mbok?"
Mbok Sri terlihat berpikir. "Bawa ransel aja, Mas, kayaknya."
Ini gila.
Rama kenal Bara selama lebih dari separuh umurnya sendiri. Ia tahu perangai lelaki itu, wataknya, tabiatnyaㅡsemuanya. Bara bukan orang yang suka melarikan diri. Lelaki berkulit pucat itu lebih suka mengonfrontasi, menyerang. Menyalurkan amarah dan ketidaksukaan secara langsung adalah hal biasa bagi Bara. Bara tidak suka lari.
Lantas kenapa sekarang....
"Maaf, Mas," suara Mbok Sri menyela. "Ada yang penting sekali, ya?"
Ketegangan Rama mengendur, sedikit. Lelaki itu lalu menoleh pada Mbok Sri, berusaha tersenyum. Sudah hampir tiga jam berlalu dengan Rama sibuk berusaha menghubungi Bara. Resahnya menguar di udara dalam ruang tamu besar itu sementara Mbok Sri yang hanya berjarak beberapa meter di dekatnya terpaksa bungkam dan menelan kebingungan. Benar juga. Rama berhutang penjelasan.
Tapi, tidak ia lakukan.
Rama hanya berujar ringan, "Enggak pa-pa, Mbok. Tumben aja si Bara susah dihubungin."
Rama tahu, jawaban itu terdengar tidak masuk akal. Mbok Sri pasti tahu ke mana anak majikannya pergi sore tadi. Ke rumah Rama, katanya. Lalu, kenapa tiba-tiba sekarang, Rama justru ada di rumah Bara dan sibuk mencari pemiliknya?
Merasa tidak mungkin menemukan jejak Bara jika ia hanya berdiam di tempat ini, Rama memutuskan untuk berpindah.
"Kalau gitu, saya pulang aja ya, Mbok. Udah malem juga," katanya kemudian. Dibalas anggukan wanita paruh baya di depannya.
Rama lalu tersenyum sopan sebelum melangkah ke pintu depan. Namun, hanya tiga langkah kemudian, ia menoleh lagi. Katanya,
"Pintu gerbangnya dikunci aja, Mbok. Bapak enggak pulang malem ini."
Mbok Sri butuh lima detik untuk menyadari bahwa yang Rama maksud adalah tuannyaㅡayah Bara. Wanita itu kemudian mengangguk, masih dengan ekspresi bingung.
"Eh, iya, Mas."
Lagi, Rama tersenyum tipis. "Saya permisi."
***
Sejatinya, manusia tidak bisa memilih di keluarga mana ia dilahirkan. Tetapi kalau bisa, Rama akan memilih keluarga mana saja selain keluarganya saat ini.
Bukannya ia anak durhaka, ia menyayangi ibu dan ayahnya. Juga adik tirinya. Tapi kalau bisa, tentu Rama akan lebih memilih untuk tidak memiliki adik tiri. Bukan karena tidak suka,
Rama justru berharap adik tirinya itu adalah adik kandungnya.
Supaya ia tidak perlu merasa bersalah.
Rama tahu siapa dirinya sejak lama. Sejak usianya baru dua belas tahun. Ia tidak terlalu ingat bagaimana ia mengerti, yang Rama ingat waktu itu, ia dan ibunya mengunjungi sebuah rumahㅡrumah teman lama, kata ibunyaㅡdan menemukan sosok ayahnya dalam sebuah foto keluarga di ruang tamu rumah itu.
Rama kecil tidak banyak bicara, ia lebih banyak diam dan mengamati. Tante Rimaㅡyang ibunya sebut sebagai teman lama, dan yang ia temui di foto keluarga bersama ayahnyaㅡmemiliki seorang anak laki-laki. Bara namanya. Usianya hanya terpaut tiga tahun dari Rama. Seorang anak laki-laki berkulit pucat, dengan pupil mata warna cokelat. Seorang anak laki-laki yang menyenangkan dan suka mengajaknya bermain bersama.
Dalam waktu singkat, Rama belajar kalau Bara adalah adik tirinya. Sementara bagi Bara, Rama hanyalah anak Tante Sarahㅡanak dari teman baik ibunya. Hubungan keduanya semakin dekat, seperti kakak beradik sungguhan. Tentu saja dengan catatan, bahwa Rama harus merahasiakan semuanya dari Bara dan Tante Rima. Rama tidak pernah bertanya, Rama anak yang penurut. Tiap kali ibu dan ayahnya mengijinkan Rama untuk menemui Bara dan bermain bersamanya, ia sudah merasa cukup.
Bagi Rama, Bara adalah adik dambaan yang tidak pernah ibunya berikan.
Rama menyukai bagaimana potongan kata rama ada dalam nama BaraㅡBara Bramada Putra, dan bagaimana potongan kata bara pun terselip dalam namanyaㅡRama Ibara Zakki. Seperti takdir, bukan? Seperti mereka memang ditakdirkan untuk bertemu di satu titik dalam kehidupan, lalu menjalaninya bersama-sama.
Sebagai sepasang kakak beradik.
Pemikiran itu selalu tertanam di benak Rama. Pemikiran yang ia yakini sebagai kebenaran sampai beberapa jam yang lalu. Ketika Bara mendadak muncul di rumahnya saat ibu dan ayahnya sedang bicara. Ketika lelaki itu akhirnya mendengar semuanya.
Rama tidak akan pernah lupa bagaimana tadi Bara menatapnya benciㅡdan jijik. Tidak, Rama tidak akan lupa. Ia pernah berdebat atau berbeda pendapat dengan Bara,
Tapi tatapan mata Bara tadi, adalah sesuatu yang benar-benar berbeda.
Rama tahu, semuanya mungkin tidak akan sama lagi.
"Nomor yang Anda tujuㅡ"
Lelaki itu mengerang pelan, mulai merasa muak pada suara operator yang terus menyambutnya beberapa jam terakhir. Ia butuh menjelaskan semuanya pada Bara. Tapi, bagimana caranya menjelaskan, jika keberadaan adiknya itu bahkan tidak dapat ia temukan?
"Rama,"
Suara panggilan seseorang membuat Rama menoleh. Melupakan sejenak rasa kesalnya pada operator.
"Bara udahㅡ"
"Belum," potong Rama cepat. "Aku capek, Pa. Aku tidur duluan ya."
Lelaki itu kemudian berlalu, melewati ayahnya yang masih berdiri di sisi sofa ruang tengah. Rama tidak ingin bicara saat ini.
Tidak pada orang yang ia anggap sudah menyebabkan semua kekacauan ini. Orang yang membuat ia dan Bara berbagi darah yang sama.
Napas Rama terhela. Untuk pertama kali dalam dua puluh tujuh tahun hidupnya, ia menyesali fakta bahwa ia dilahirkan di keluarganya yang sekarang.
Mungkin, akan jauh lebih baik,
Jika seorang Rama Ibara Zakki tidak pernah dilahirkan sama sekali.
Words I want to say to my past self?
Dear self,
You should have never been born.ㅡRama Ibara Zakki
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
General FictionMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...