"Lah, Danar ke sini, Dek? Kapan datengnya?"
Pertanyaan mendadak itu membuat Dara mengangkat kepala, bertemu pandang dengan Zoyaㅡkakaknyaㅡyang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya.
"Tadi, pas pengajiannya udah mau selesai," balas Dara, ada tawa tertahan dalam suaranya. Kepalanya lalu terjulur, seolah berusaha menoleh ke dalam rumah. "Acaranya udahan?"
"Harusnya sih, udah. Tapi biasalah, ibu-ibu. Ngobrol-ngobrol dulu. Mama juga, tuh." Zoya mengedik samar ke arah pintu, lalu mendudukkan diri di kursi satunya, tepat di sisi adiknya. Napasnya terhela, menikmati semilir angin yang berembus di teras belakang rumah mereka saat ini.
"Lah, kok lo enggak ikutan, Kak? Kan, lo juga udah ibu-ibu?" kelakar Dara, menggoda sang kakak yang segera mencibir.
"Enggak sopan ya, mulut!"
Keduanya lalu tertawa, sebelum kemudian menatap ke arah yang sama. Pada pemandangan di hadapan mereka. Di mana Danar tengah sibuk tertawa, sembari menangkap tendangan bola dari Arsyad, keponakan Daraㅡanak lelaki Zoyaㅡyang baru berusia dua tahun tiga bulan.
"Dek," cetus Zoya tiba-tiba. "Itu," kepalanya mengedik ke arah Danar. "Si Danar kenapa bisa akrab banget gitu ya, sama anak gue?"
Untuk sesaat, Dara menoleh pada sang kakak. Lalu kembali memusatkan atensi pada lelakinya. Tanpa sadar, satu senyum tersungging di garis bibirnya. Zoya benar, sejak awal berkenalanㅡsejak Arsyad mampu mengenali orang lain, Danar memang begitu saja lekat dengannya. Seolah lelaki itu betul-betul pamannya, dan sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.
Padahal, tidak ada masa depan yang pasti, kan?
Pemikiran tadi melunturkan senyum Dara. Ia mengalihkan pandang, mengabaikan sosok Danar di sana, juga menghindari tatapan sang kakak.
"Kapan, nih?" tanya Zoya, kala menyadari perubahan raut adiknya.
Dara mengernyit. "Apanya?"
"Ngasih om buat anak gue. Keponakan lo udah mau nambah nih."
Tidak ada jawaban. Hanya satu tepukan yang kemudian mendarat di lengan Zoya, disertai dengkus kasar yang justru membuatnya tergelak. Kegaduhan itu rupanya sampai ke telinga Danar. Membuatnya menoleh, bertemu pandang dengan Dara, terlihat mengatakan sesuatu yang entah apa pada Arsyad, lalu keduanya berjalan mendekat ke teras.
"Mamaaaaa!"
Arsyad menyongsong sang ibu dengan langkah kecilnya, melepaskan genggaman Danar yang tadi menjaganya agar tidak terjatuh. Sesampainya di hadapan Zoya, bocah lelaki itu menunjuk Danar. Rautnya semringah. Dari bibirnya, terlontar kalimat-kalimat pencerita. Beberapa belum sempurna, membuat tertawa mereka yang mendengarnya.
"Abis main apa sama Om?" tanya Zoya pada putranya.
"Bola!" Yang ditanya menjawab dengan anggukan penuh semangat.
Dara tertawa kecil, tangannya terjulur demi mengusak rambut keponakannya itu. Mata Arsyad lekas terarah padanya.
"Alaa!" sahut Arsyad dengan suara cadelnya, tangannya menggapai Dara, membuat Dara menggenggamnya sebentar.
"Eh, Syad! Manggilnya apa, coba, Mama kan udah ajarin? Tante Dara," tegur Zoya, mengelus rambut Arsyad yang agak basah akibat keringat. Setelahnya, ia menoleh pada Danar. "Kapan ke sini, Nar? Kok gue enggak liat?"
"Tadi, Kak," balas Danar, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Satu cengiran menghiasi bibirnya. "Tadi pas gue baru sampe, Dara lagi sama Arsyad. Terus lagi rewel anaknya, jadi gue ajak main," jelasnya, mengusap kepala Arsyad satu kali. "Sori ya, jadi lupa nemuin yang punya acara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
Fiction généraleMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...