"Yura, ayo cepetan."
Wajah cantik Elen yang perpaduan khas seorang Jawa dengan Eropa membuat beberapa rekan kerjaku yang baru saja keluar dari dalam kantor melongok, tapi berbeda dengan orang-orang yang sedikit banyak tertarik dengan kecantikan Elen, Jehan justru menahan tanganku karena tawarannya tadi tidak dia tanggapi.
Sedikit menepis aku mengalihkan tangan tersebut, "Bapak lihat sendirikan, saya pergi sama teman saya, Pak. Maaf, ya."
Ya, bahkan dia tidak merasa bersalah sudah meninggalkanku sendirian di cafe tempo hari, dia juga tidak ada minta maaf walaupun sekedar basa-basi, lalu sekarang tiba-tiba dia datang dan ucluk-ucluk bilang kalau mau nemenin aku? Heeeh, aku bukan orang tolol yang mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Bukan tidak mungkin jika Jehan meninggalkanku lagi.
Aku sudah nyaris melangkah pergi, saat Jehan kembali menarik tanganku, membuatku bertemu tatapan dengan laki-laki kelewat tampan ini lagi. Tatapan lekat yang bisa membuat goyah lutut para wanita ini kini menatapku, jika saja aku tidak pernah di kecewakan Jehan, mungkin sekarang jantungku menjerit bahagia, "kamu marah sama aku gara-gara kemarin aku pergi ninggalin kamu, Ra?"
Tanpa bisa menahan diri aku memutar bola mata malas mendengar ucapan dari atasanku ini, dalam hati aku tidak hentinya mengumpat, heeehhh kemana saja Anda selama tiga hari ini untuk menyadari jika apa yang Anda lakukan ini keterlaluan, Boss? Ingin sekali aku menyembur Boss-ku ini dengan ucapan yang sudah ada di ujung lidahku, bodoh amat dengan konsekuensi yang akan aku terima.
Tapi sepertinya takdir berbaik hati padaku, karena suara teriakan tidak sabar dari Elen menyelamatkan Jehan dari semprotan mulutku.
"Cepetan, Ra! Nggak usah pakai drama pegangan tangan di depan lobby. Norak!"
Kini tanpa berkata apapun, aku menyentak tangan Jehan dan berlalu begitu saja masuk ke mobil Elen. Sebelum akhirnya pintu ini tertutup aku bisa melihat wajah Jehan dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Campuran antara kesal, jengkel, dan juga bingung.
Sama sepertiku, aku juga bingung dengannya. Kenapa dia tertarik sekali dengan Nanda? Atau ini hanya perasaanku saja?
"Yang sama kamu tadi siapamu, Ra? Pakai acara pegangan tangan segala? Pacar? Hebat banget bisa dapat cowok seganteng itu, pakai pelet apaan?" Elen terus berceloteh, berbicara sendiri tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menjawab. "Tapi tunggu deh, wajahnya kayak nggak asing buat aku, kayak pernah lihat dia, tapi di mana gitu. Kayak nggak asing buat orang agensi model kayak aku."
"Ya nggak asing lah sama dia, kamu lupa kalau kita dari PH Advertising, bukan nggak mungkin PH kita pernah kerjasama." Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela, bertanya-tanya apa rasa kecewaku pada Jehan terlalu berlebihan? Yah, bagaimana lagi, selama ini aku mengidolakannya, melihat Jehan hanya dari sisi positif dan hebatnya dia dalam memimpin tim, bukan hanya aku yang kagum, semua wanita yang normal di perusahaan pasti menempatkan Jehan sebagai bujangan paling idaman, material boyfriend atau bahkan material husband, jadi di saat ternyata aku melihat Jehan tidak seperti bayanganku aku merasakan kecewa yang amat sangat.
Persis seperti seorang penggemar yang di kecewakan idolanya.
Aku melirik Elen yang tampak terdiam, dahinya yang berkerut menandakan jika dia tengah berpikir atau mengingat sesuatu. "Tapi kayaknya aku benar-benar nggak asing sama cowok tadi, tapi siapa sih? Apa dia pernah kencan sama rekan sesama modelku, ya? Tipe-tipe eksekutif muda kayak dia, biasanya suka main sama model plus-plus." Aku hanya manggut-manggut, apa yang di ucapkan oleh Elen sama sekali tidak aku pahami yang hidupnya terlalu lurus. "Tapi bagus deh kalau tadi bukan pacarmu, Ra. Kamu nggak cocok sama cowok cantik kayak gitu. Ntar yang ada kamunya makan hati karena pacarmu kebanyakan di lirik sama cewek lain yang lebih aduhai."
Aku mencibir ucapan dari Elen barusan, bisa-bisanya orang yang hidupnya pusing soal target menikah dari keluarganya berbicara tentang siapa yang cocok untuk jadi jodoh temannya. "Lalu cowok yang kayak apa yang cocok buat aku? Semacho William Chan? Se-hot Marcus Chang? Boyfriend material kayak Li Xian? Atau semisterus kayak Yan Jun? Yang mana yang cocok buat aku?"
Sebuah tempelengan kecil aku dapatkan di dahiku saat menyebutkan sederetan aktor Mandarin yang memang menjadi Boy Crush untukku, berbeda dengan kebanyakan orang yang menyukai Drama Korea, aku justru jatuh hati pada para aktor Negeri Tirai Bambu tersebut, tidak heran jika sekarang Elen kesal padaku.
"Ngawur! Kamunya yang ngebet, mereka malah yang ogah. Inget, secakepnya kita, kita cuma dakinya Angela Baby sama Dilraba dilmurat." Aku terkekeh, menertawakan hal tersebut, tapi nama yang di sebut oleh Elen cocok denganku membuat tawaku lenyap seketika.
"Yang cocok sama kamu mah, si Nanda! Tukang bully kelas kita. Ntar kisah kalian kayak novel yang di tulis Mamamu, dari benci jadi cinta. Dari tukang bully jadi bucin sejati."
❤❤❤
"Aku kira kalian nggak akan datang."
Aku dan Elen baru saja sampai di Hotel tempat Juwita mengadakan Resepsi saat dengan alay-nya Juwita yang sudah selesai di makeup memeluk kami berdua, hisss, hebohnya Juwita dari jaman sekolah sampai sekarang mau married masih sama saja.
"Kita sudah nggak datang ke Akad, masak iya udah di kasih seragam bridesmaid masih nggak datang ke Resepsi juga. Iya nggak, Len?" Ujarku sambil menatap kagum pada Juwita, wanita ini sudah cantik, dan aura bahagia yang keluar darinya di hari istimewanya ini membuat Juwita berkali-kali lipat lebih cantik, bukan mangklingi hingga tidak bisa di kenali, tapi lebih seperti auranya yang terpancar keluar.
Juwita mengangguk bersemangat, dan saat aku menatap sekeliling di kamar tempat Juwita bersiap-siap dan di rias ini, aku menemukan teman SMAku lainnya yang datang. Waaaah, Juwita dan Alan ternyata nggak kaleng-kaleng dalam menyelenggarakan acara pernikahan mereka, dan seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya, pesta pernikahan ini bukan sekedar pesta saja, tapi juga sebuah reuni SMA khususnya kelas kami.
Sama seperti reaksi Juwita dan Alan saat bertemu denganku setelah bertahun-tahun tidak bertemu, banyak temanku yang terkejut dengan perubahanku yang menurut mereka ekstrem, bahkan tanpa tedeng aling-aling mereka menanyakan di Klinik mana aku suntik putih dan mempermak tubuhku hingga bisa seideal sekarang.
Kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi aku sekarang, ingin marah atas pertanyaan tersebut tapi aku tahu pasti mereka benar-benar bertanya tanpa ada maksud mengejek, tapi jika tidak marah aku juga kepalang dongkol. Jika aku menjawab kulitku yang kuning langsat bersih ini adalah kulit asliku, dan tubuhku yang mengurus karena aku sudah tidak pernah lari hingga otot yang dulu terbentuk karena latihan bersama Nara hilang begitu saja, mereka juga tidak akan percaya.
Akhirnya yang bisa aku lakukan hanyalah mengulum senyum pahit menerima ucapan mereka yang takjub atas perubahanku.
Lama kami menunggu pengantin bersiap-siap sembari menghabiskan waktu berbicara ngalor ngidul nostalgia masa SMA hingga akhirnya prosesi acara di mulai.
Mengikuti di belakang pengantin wanita yang bersiap menuju Ballroom, kembali untuk kesekian kalinya aku melihat sosok yang selalu membawa sial ke dalam hidupku, celingak-celinguk dalam balutan jas hitam seragam Bestman dia seolah mencari seseorang.
Entah siapa yang di cari si Tengil Nanda tersebut, aku tidak mau tahu dan tidak ingin mencari tahu, dari pada melihatnya aku lebih memilih melengos melihat ke arah lain.
"Heeeh, itu bukannya si Nanda, Ra. Yang dulu sering bully kamu sampai nangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomanceYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...