"Ada yang bisa di bantu?"
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melengos saat melihat sosok berkaos loreng, lengkap dengan celananya, dan kini memakai celemek coklat khas seorang Barista tepat di depan mataku.
Berbeda dengan Jehan yang tersenyum ramah saat Barista yang sangat tidak ingin aku lihat ini menyapa kami berdua, aku justru menekuk wajahku tanpa aku sembunyikan ketidaksukaanku sama sekali padanya.
Dan seperti dua orang yang saling tidak mengenal, Nanda sama sekali tidak menyapaku, bahkan dia hanya memandangku sekilas dengan alis yang terangkat. Hal yang membuatku bersyukur karena tidak harus menemui sikap tengilnya yang sering kali membuatku sakit kepala.
Di sini dia bersikap seperti layaknya seorang Barista pada customernya.
"Signaturenya Aruy Caffe, Bang Nanda. Hot and cold."
Mendengar nama Cafe ini membuatku mengernyit, tidak tahu kenapa aku merasa tidak asing dengan nama cafe ini, aku merasa aku sering mendengar nama ini, tapi dimana ya?
Di tengah otakku yang bekerja keras, perhatianku tidak lepas dari Nanda yang sedang meracik pesanan dari Jehan yang ternyata mengenalnya dengan baik. Agak lucu jika di dengar, Nanda seusia denganku, tapi dia di panggil Bang oleh Jehan yang jelas-jelas lebih tua 2 atau 3 tahun dari kami.Aku pikir dia memakai apron Barista hanya gaya-gayaan, atau hanya ingin terlihat keren karena dua profesi yang sering kali menarik kaum hawa di lakoninya, Abdinegara sekaligus peracik kopi, tapi ternyata mahluk mengesalkan ini memang benar-benar ahli dalam membuatkan pesanan kami.
"Aku sengaja nggak nanya kamu mau pesan apa karena kamu harus nyobain signature drink dari Coffeeshop ini, Ra. Dan percayalah, Bang Nanda ini ternyata selain handal dengan AK-47, dia juga paling jago racik kopi di sini."
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar nada kagum penuh pujian dari Jehan terhadap Nanda sekarang, tampak jelas jika Jehan antusias menunggu kopi pesanannya yang di buat dengan sedikit hal yang aku namakan atraksi sementara aku lebih melihat ke arah gaya cool Nanda dalam menyajikan kopi yang tetap saja menyebalkan jika di lihat, setidaknya olehku.
Hingga akhirnya segelas dan secangkir kopi hot and cold tersaji di depanku, seulas senyum formal yang sering kali aku berikan pada klien kini terlihat di bibir Nanda saat memberikan kopi ini padaku dan Jehan.
"Signature coffe dari Aruy Caffe, kopi dengan hint coklat dan juga almond nuts yang tidak akan kalian dapatkan di tempat lain."
Jehan meraih secangkir kopi hangatnya, menyesapnya pelan dan tampak begitu menikmati kopinya, astaga, matanya bahkan terpejam saat menikmati setiap tegukan dari kopinya, seolah dia meresapi rasa yang di deskripsikan oleh Nanda.
Dan saat aku beralih pada gelasku, aku nyaris saja di buat terkejut dengan Nanda yang menunduk setengah membungkuk di depanku, melihat mata Jehan yang terpejam menikmati kopinya seringai tengil terlihat di wajahnya saat menatapku.
Yes, dia tetap seorang Nanda Augusta yang menyebalkan di mata seorang Yura. "Ayo cobain iced coffe-nya, dan percayalah kalau lidahmu nggak mati rasa, kamu akan familiar dengan rasanya."
Untuk sejenak aku menatap Tentara yang memakai apron Barista ini dengan pandangan yang menyipit, kalimat Nanda terasa ambigu, ada sedikit nada tidak di suaranya tapi apa yang dia tidak sukai.
Dia tidak suka hadirku di sini?
Moodnya memang sedang buruk atau apa?
Entahlah."Kalian saling kenal rupanya?" Pertanyaan dari Jehan memutus tatapan kami berdua, membuatku dengan cepat menoleh pada atasanku ini, aku ingin sekali menggeleng tidak, menampik tanyanya saat Nanda sudah lebih dahulu menjawab.
"Teman SMA, Mas Jehan. Tanya saja sama Yura sendiri, kenapa dia sok nggak kenal sama temannya. "
Jehan mengangguk paham, dia masih ingin bertanya-tanya dan tampak antusias ingin berbincang dengan Nanda saat aku memberanikan diri menarik tangannya. "Pak Jehan, bisa kita ke Rooftop saja nggak, Yura pengen nikmatin angin sore."
Tidak memberikan Jehan untuk menolak atau menjawab, aku buru-buru menariknya untuk pergi, sekarang aku sedang tidak ingin merusak hari indahku dengan adanya Nanda yang tidak akan pernah absen dalam membuatku jengkel.
Dengar sendiri bukan, kalimatnya barusan seperti awal pertanda war yang pasti akan membuatku jengkel setengah mati seperti kejadian terakhir kali kami bertemu di Mall, dan menghindarinya adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan hariku dari kontaminasi virus menyebalkan bernama Nanda Augusta.
❤❤❤❤❤
Segar, kopi yang pahit, harumnya dark coklat, dan juga sedikit gurih dari almond nuts yang bercampur dengan dinginnya es sukses memanjakan lidahku. Ini seperti es krim coklat kacang dalam bentuk kopi dan rasa yang premium.
Nanda boleh menyebalkan sebagai manusia, tapi ternyata benar yang di katakan Jehan, selain Tentara yang mahir dalam memegang senjata, ternyata Nanda bisa meracik kopi dengan hasil yang sungguh brilian.
Astaga, jika aku tidak tahu yang meracik kopi ini adalah orang paling menyebalkan dalam versiku, mungkin aku akan menjadi daftar panjang fans dari kopi buatan Nanda.
"Kamu kok nggak ada bilang kalau teman SMA dari Bang Nanda tadi, Ra." Aku menghentikan sesapan pada es kopiku saat Jehan membuka suara. Tampak jelas jika dia agak kesal karena aku menyeretnya seperti kambing begitu saja dari meja bar. Yah, aku tampak seperti seorang bawahan yang sangat tidak tahu diri jika melihat dari sisi kacamata pekerjaan. "Harusnya kalau teman ngobrol yang akrab dong. Ini malah melengos pergi. Padahal aku kepengen ngobrol banyak sama dia soal kopi."
Ya, mungkin aku bisa memahami sikapku yang agak kurang ajar pada Jehan dengan main tarik dia sembarangan, tapi kekesalannya padaku dengan alasan dia ingin berbicara banyak dengan Nanda berdalih kopi membuatku tidak paham.
"Ya walaupun kami teman SMA aku memang nggak dekat sama Nanda. Hanya sebatas kenal, dan aku nggak nyaman sama dia apalagi sampai ngobrol."
Jawabanku atas pertanyaannya tampak membuat Jehan semakin kesal, yang yang juga membuat hatiku dongkol.
Dia mengajakku datang ke sini, seharusnya dia ngobrol denganku dong, tapi kenapa semenjak dia sampai di sini dan melihat Nanda justru dia begitu antusias berbicara dengan musuhku tersebut, keterlaluan nggak sih kalau aku merasa nggak wajar, dan berbagai pemikiran absurd itu itu semakin menjadi dengan wajah Jehan yang sudah kembali seperti semula seperti saat di kantor. Acuh, dingin, otoriter, dan menyebalkan, seolah aku ini sudah membuat kesalahan fatal padanya.
Lama kami terdiam, larut dalam pemikiran masing-masing, dan aku juga sudah kehilangan moodku, bodoh amat dengan dia yang statusnya sebagai atasanku. Dari pada moodku hancur seluruhnya atas kalimat penghakiman Jehan, aku lebih memilih menikmati kopi yang benar-benar enak dan croissant yang ada di depan mataku.
Dan hal canggung ini semakin menjadi saat seorang laki-laki yang tampak sama seperti Jehan, seorang eksekutif muda yang dari parfumnya saja sudah aku ketahui jika gajinya lebih dari dua digit ini menghampiri kami. Dan ajaibnya, senyum senang penuh kelegaan terlihat di wajah Jehan saat melihat sosok yang baru saja tiba. Seolah bisa pergi dari hadapanku yang membuatnya jengkel adalah hal yang menyenangkan untuknya.
Aku pikir temannya ini akan turut bergabung ngopi sore di sini, tapi yang di ucapkan Jehan justru sukses membuatku ternganga.
"Kamu pulang sendiri ya, Ra. Aku ada keperluan mendadak sekarang. Gak apa-apa, kan?"
Heeehh, Jehan ini, dia mau ninggalin aku sendirian di Cafe si Tengil ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomanceYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...