"Aku mau nganterin kamu pulang ke rumah. Bukan nganterin kamu buat pergi ke akhirat."
Kalimat itulah yang terakhir kali di ucapkan Nanda sebelum akhirnya motor melaju di tengah keramaian kota Metropolitan ini, dan sensasi di boncengkan oleh Nanda sangat jauh berbeda dengan Abang Ojol walaupun sama-sama pandai selap-selip kanan kiri.
Tapi motor copet milik Nanda ini tidak seperti kebanyakan motor Abang Ojol yang mayoritas matic atau bebek yang nyaman, motor Nanda selain knalpotnya berisik, tapi motor ini juga memaksaku untuk terus berpegangan dengannya jika tidak mau terjengkang ke belakang karena kecepatan motor ini yang sungguh tidak bagus untuk jantungku.
Bodoh amat dengan si tengil nan menyebalkan Nanda yang akan mengejekku cupu karena memeluknya erat saking ketakutan dengan caranya mengemudikan motor. Bagaimana aku tidak takut jika dia sama sekali tidak mengurangi kecepatan di saat motor nyaris bersenggolan dengan bis atau motor lainnya, atau tingkah gilanya saat dia justru melajukan kendaraannya semakin cepat di waktu dia mendahului kendaraan sementara di depan sana ada juga kendaraan yang melintas.
Suaraku nyaris habis karena berteriak-teriak pada Nanda agar berhati-hati atau pelan-pelan saja saat mengemudi, kengerian yang aku rasakan justru membuatnya tidak bergeming sama sekali dan malah membuatnya bermanuver semakin ekstrim dengan motornya.
Akhirnya aku memilih menyerah, lebih sayang pada pita suaraku dari pada nanti robek karena aku terus berteriak tapi tidak di gubris oleh Nanda. Kini yang bisa aku lakukan hanya pasrah, sesekali aku memejamkan mata karena tidak berani melihat jalanan dan liarnya Nanda dalam berkendara.
Segala doa aku baca, mendadak aku menjadi seorang yang religius dan dekat sekali pada Tuhan, dosa-dosa yang pernah aku lakukan kini terbayang jelas di pelupuk mataku, dalam hatiku aku berjanji jika turun dari motor ini nyawaku masih menempel, aku ingin segera menelpon Mama, Ayah, dan Papa untuk meminta maaf atas semua dosa-dosa yang pernah aku perbuat.
Dan tidak lupa juga aku akan menghajar Nanda karena ulahnya ini saat kami sampai dengan selamat di apartemenku. Pasti itu, hal pertama yang akan aku lakukan. Kesalahan terbesar yang aku lakukan kedua kalinya dalam satu hari, yang pertama aku senang setengah mati pada ajakan Jehan, dan yang kedua adalah menerima tawaran dari si tengil Nanda yang pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengerjaiku.
Laki-laki memang saja saja, sama-sama brengsek hanya caran brengseknya yang berbeda.
Hingga akhirnya 20 menit perjalanan menembus macetnya kota Jakarta yang terasa seperti dua hari uji nyali di wahana ekstrem karena ulah si Tengil, motor copet ini akhirnya berhenti.
"Udah sampai! Kelihatannya aja empet, tapi tahu-tahuan juga mana punggung yang nyaman buat di senderin."
Mendengar suara Dajjal itu aku langsung membuka mata, dan ternyata aku sudah menemukan diriku di parkiran apartemen tempatku tinggal selama satu tahun di Kota ini. Tapi tololnya aku memang masih memeluknya dengan erat, tidak tahu untuk yang keberapa kalinya, aku langsung mundur dan memukulinya karena kesal.
"Bisa-bisanya ya bilang kalau punggungnya nyaman. Nyaris saja nyawaku terbang karena ulah begajulanmu, tahu nggak. "
"Yura, ampun, Ra!"
"Ampun-ampun, nggak ada! Nyaris saja bikin anak orang mati konyol tahu nggak."
"Iya, maafin! Maaf, Ra. Maaf!"
Ya, semua hal yang aku tahan selama di perjalanan tadi kini aku lampiaskan pada Nanda, bukan hanya memukulinya dengan tangan, tapi handbag-ku yang aku dapatkan hasil menabung selama berbulan-bulan kini juga turut aku gunakan untuk menghajarnya.
Tidak ada ampun untuk Nanda, permintaan maaf di sertai dengan raungan kesakitan darinya karena ulahku ini sama sekali tidak aku gubris. Bodoh amat dia sakit, dia nyaris saja membuat nyawaku melayang. Bisa-bisanya dia mengantarkan anak orang tapi dengan jalan seperti akan nge-prank malaikat maut.
Mungkin bukan hanya aku yang kesal padanya, tapi juga malaikat maut yang di kerjainya barusan.
"Mbak Yura, sudah toh Mbak yang mukulin pacarnya." Aksiku yang sedang menyiksa Nanda terhenti saat Pak Prapto, security yang merupakan kenalan Papa dan memang bekerja di Apartemenku ini menghampiri kami. Tatapan prihatin terlihat di wajah beliau saat melihat Nanda yang pasti sedang berakting menampilkan wajah memelas palsunya.
Dan apa beliau bilang tadi, pacar?? Haduuuh, apa stok laki-laki di dunia ini yang normal sudah musnah sampai aku harus berpacaran dengan Nanda ini? Lagian Pak Prapto ini bagaimana bisa menarik kesimpulan jika dia pacarku, sih? "Nggak kasihan sama wajah Masnya yang pasrah ini? Sabar ya Mas, wanita memang gitu. Nggak pernah salah, kalau salah kembali ke aturan pertama kalau wanita nggak pernah salah."
Tidak lupa juga Pak Prapto memberikan tepukan penuh penyemangatan pada bahu Nanda yang tadi beberapa detik yang lalu baru saja menjadi sasaran kekesalanku, sungguh totalitas saat aku melihat bagaimana wajah prihatin khas seorang yang tersiksa saat Pak Prapto berlalu.
Melihat hal ini tentu saja aku melongo, kenapa di sini seolah aku yang dzolim pada Nanda?
Waaaah, nggak benar nih. Dan benar saja saat Pak Prapto sudah tidak bisa mendengar ucapan dari kami berdua, kikik geli terdengar dari Nanda karena tanpa dia harus berucap, sudah ada yang menyalahkanku. Kebahagiaan untuk Nanda itu sederhana, melihatku tersiksa dan di salahkan sepertinya sudah menjadi hal menyenangkan untuknya.
"Kalau orang baik mah, ada saja yang belain kalau ada orang yang dzolim. Kayak sekarang ini, perbuatan jahat langsung di tegur dengan, tunai!!!"
Dengan merengut aku turun dari motor, melayangkan cibiran padanya yang terkekeh-kekeh karena aku yang kesal setengah mati dengannya. "Nggak usah ketawa, nggak lucu! Kalau Pak Prapto tahu kamu nyaris celakain aku, pasti kamunya nggak cuma di pukul pakai handbag, tapi di getok pakai pentungan satpamnya."
Aku melepaskan jaket dan helm yang aku kenakan dan memberikannya dengan kasar pada Nanda, "aku nggak akan pernah mau pakai kedua barang itu lagi, apalagi di tambah naik motor copet plus di bonceng sama mahluk terkutuk kayak kamu, Nan. Nggak lagi-lagi. Semoga kali ini pertemuan terakhir kita, aku sial melulu setiap kali ketemu kamu, Nan."
Aku berbalik, dan berjalan pelan karena kakiku yang masih gemetar karena ulah ekstrim Nanda barusan. Tidak ada niat untuk berterimakasih pada Nanda karena dia sudah mengantarku pulang setelah di telantarkan oleh Jehan begitu saja.
Tapi saat aku hampir mencapai depan apartemen, aku mendengar Nanda kembali bersuara. "Sampai ketemu di Pesta Kawinan Juwita sama Alan, Ra. Dan ingat, jangan terlalu kesal sama aku. Nggak baik, nanti kalau bencinya mentok jadi cinta, kamu sendiri yang repot."
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomansYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...