Jangan lupa buat ikutin kisahnya Emaknya Yura di Rara yang sudah tersedia e-booknya.
"Yura!!"
Panggilan dari seorang yang menyebut namaku membuatku langsung menoleh, bukan hanya aku, tapi Bossku, dan beberapa kliennya juga turut melongok penasaran siapa yang sudah memanggilku.
Untuk sejenak aku mengernyit saat menatap seorang yang memanggilku penuh semangat tersebut, seorang wanita cantik seusiaku yang menenteng banyak paper bag di tangannya dengan seorang laki-laki di belakangnya yang mengikuti.
"Kamu temuin temanmu nggak apa-apa, Ra. Toh, meeting kita juga sudah selesai." Jehan, atasanku, seorang Manager Pelaksana sebuah perusahaan advertising ini menepuk bahuku pelan, sebelum akhirnya dia beranjak pergi dengan klien kami meninggalkanku.
Ya, aku adalah salah satu staff di sebuah perusahaan Advertising yang cukup ternama, menangani brand-brand besar seperti yang sedang aku lakukan sekarang bukan hal yang asing untukku, di kota ini aku sangat jarang bertemu dengan orang yang mengenalku, benar-benar lingkungan kerja yang baru.
Dan sekarang, di saat ada yang memanggil namaku dengan wajah yang tidak asing, tentu saja aku heran. Hingga akhirnya wanita cantik ini berhenti tepat di depanku, senyum lebarnya merekah bahagia saat dia menangkup wajahku dengan gemas, "Hei, Es krim kacang coklat favoritnya Nanda, lu udah bukan es krim kacang sekarang."
Es krim coklat kacang, mendengar panggilan itu seketika otakku yang payah dalam mengingat seseorang langsung bekerja dengan cepat, tidak ada yang memanggilku demikian kecuali teman SMAku dulu, dan walaupun wanita di depanku ini banyak berubah sepertiku, kini aku bisa mengingat siapa dia.
"Juwita.... " Tanyaku ragu, terlalu banyak temanku yang glow up pasca SMA hingga aku yang payah dalam mengingat orang atau nama kebingungan sendiri. Dan lagi, kenangan waktu di SMA bukanlah kenangan yang menyenangkan, membuatku enggan untuk mengingatnya dan lambat laun mereka terlupakan begitu saja setelah nyaris 8 tahun tidak bersua, mungkin hanya beberapa orang yang bisa di hitung dengan jari siapa saja yang masih berkontak denganku.
Tapi syukurlah wanita cantik ini mengangguk dengan bersemangat, membuatku bernafas lega karena tidak salah mengingat orang.
"Betul sekali!" Dengan bersemangat dia memutar tubuhku like a princess dance saking girangnya, astaga, manusia ini, kenapa dia masih sama absurd dan hebohnya seperti dulu sih, dia memutarku tanpa risih sama sekali untuk memperhatikan setiap perubahanku. "Ya ampun, aku benar-benar nggak nyangka, es krim coklat kacang favorit Nanda dan juga kelas IPA 5 berubah sedrastis ini, kamu nyadar nggak sih, Ra?"
Aku tersenyum masam mendengar ucapan dari Juwita, es krim coklat kacang adalah panggilan atau lebih tepatnya ejekan yang di berikan Nanda Augusta padaku, si tengil menyebalkan yang aku nobatkan sebagai teman sekelas yang tidak mau aku kenal atau temui.
"Yah, namanya juga orang, Wi. Semuanya akan berubah pada waktunya." Jawabku asal, ya bagaimana lagi, dulu saat SMA aku suka sekali menemani adikku Nara Nanggala yang berjarak 9 tahun dariku berolahraga di tengah hari bolong untuk menyemangatinya latihan, panas dan matahari yang merupakan musuh bagi remaja yang sedang puber sepertiku bukan masalah demi menemani adikku yang merupakan atlet lari junior.
Sayangnya Yura si cantik saat SD dan SMP hilang tak berbekas saat SMA karena ulahku yang tidak pedulian tersebut. Kulitku yang kuning langsat seperti Mama, dan tubuhku yang tinggi dari gen Papa menjadi menghitam, aku benar-benar kumal, dekil, dan karena cueknya diriku jerawat mulai menghiasi wajahku yang sebelumnya mulus.
Dan parahnya, Nanda Augusta, seorang siswa yang populer di kelas kami karena kepintaran dan juga wajahnya yang ala badboy tapi berprestasi tersebut hobi sekali membully-ku, dengan postur tubuhku yang kurus tinggi dan segala kekuranganku, dia memanggilku Es krim coklat kacang, terdengar manis tapi bukan dalam artian baik, tapi es krim coklat kacang in the bad way.
Dan seperti hukum alam yang berlaku di manapun, di saat yang good looking membully yang buruk rupa, maka semua orang akan mendukungnya. Hal itulah yang terjadi padaku dahulu. Semua akan tertawa saat Nanda membully-ku dan mengganggapnya lumrah sebagai candaan.
Sekarang Juwita melihatku dengan pandangan takjub dan mengerjap beberapa kali, seperti tidak percaya jika Yura saat SMA dan Yura yang ada di depannya ini adalah sosok yang sama, hisss, dia nggak nyadar apa jika dia juga berubah.
"Tapi kamu beneran berubah, Ra. Benar-benar cantik, astaga, kalau kayak gini aku baru percaya kalau kamu itu benar anak kandung Rara Aghnia, novelis favoritku. Dulu kamu sama adikmu yang pelari itu aku kira anak angkat. Hahahaha, dasar akunya yang kebangetan kebanyakan nonton sinetron."
Dasar kurang ajar ni orang ngomong seenak jidatnya saja. Jika saja Juwita tidak mengakhiri ucapannya tersebut dengan kikik geli menertawakan ucapannya sendiri mungkin aku akan tersinggung.
Dan mendengar semua hal yang terdengar menakjubkan untuk Juwita itu aku hanya bisa mendengus sebal, sepertinya dulu aku begitu buruk rupa sampai-sampai orang tidak percaya jika aku anak kandung Mamaku yang memang awet muda cantiknya.
"Terserah kamu deh, Wi. Mau ngomong apaan, dulu nggak kerawat karena memang fokusnya cuma sekolah. Sekarang harus rapi dan lain-lain karena memang tuntutan pekerjaan. Punya cuan sendiri juga buat ke klinik kecantikan."
Juwita mengangguk mendengar apa yang aku katakan, sebenarnya tidak ada yang aku lakukan hingga aku berubah sedrastis di mata Juwita, semenjak kuliah dan sekarang bekerja, aku jarang sekali terkena sinar matahari, dan sekarang karena di haruskan bertemu dengan banyak orang mau tidak mau aku mulai mengenal skincare dan make up untuk branding diriku, mungkin itu yang membuatku kembali seperti Yura yang semula.
Yura yang di sebut Papa Yudha dan juga Ayah Nakula sebagai Putri mereka yang paling cantik.
Lama kami berbincang, lebih tepatnya aku yang mendengar Juwita berceloteh tentang dia yang akan menikah tidak lama lagi di Kota ini dengan salah satu teman SMA kami juga, ya kisah cinta terpendam yang akhirnya mulai keluar keberaniannya saat akhirnya Sang Laki-laki merasa mapan dan sudah pantas meminang cintanya.
Terdengar seperti novel yang di tulis Mama, tapi nyatanya hal itu memang sering terjadi di dunia nyata.
"Kamu mau jadi bridesmaid aku nggak, Ra?" Aku yang sedang menyeruput chat time yang aku minum mendadak tersedak saat mendengar permintaan dari Juwita. Tidak memberikan aku kesempatan untuk menjawab, dia kembali menambahkan, "aku pengennya yang jadi Bridesmaid semua teman SMA yang ada di kota ini atau yang bisa hadir. Mau, ya! Masak nggak mau, sih?"
Aku ingin menolak permintaan dari Juwita, karena bertemu dengan teman SMA adalah hal yang canggung di bayanganku, tapi wanita ini merengek seperti anak kecil tanpa tahu malu, dan saat mendengar nama Elen, teman sebangku-ku dulu dan menjadi sahabatku hingga sekarang, juga di sebut oleh Juwita jika dia akan datang.
Maka aku memilih mengiyakan permintaan Juwita. Yah, tidak ada salahnya menjalin silaturahmi dengan teman-teman dulu.
"Ya sudah, kalau gitu aku balik dulu, ya. Seragam buat bridesmaid-nya kirim saja ke alamat apartemen apa kantorku, Wi."
Aku hendak memberikan kartu namaku pada Juwita saat wanita ini sudah melihat ke arah lain dan melambaikan tangan heboh ke arah tiga orang yang berjalan dari eskalator. Dua Laki-laki dan satu perempuan.
Aku mengenal dua orang dari tiga orang tersebut, tapi satu di antaranya adalah orang yang tidak ingin aku lihat. Dan sialnya orang yang tidak ingin aku temui justru memisahkan diri dari pasangan yang tadi bersamanya menuju ke arah meja kami.
"Nanda!! Ada es krim kacang coklat favorit lo, nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomansaYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...