Permintaan yang sulit di tolak

3.7K 655 38
                                    

"Gimana kemarin kencannya sama Pak Boss?"

Dua hari aku tidak ke kantor karena harus menemui klien di luar atas perintah Jehan secara langsung, dan saat aku sudah sampai di kantor, pertanyaan
Mieke membuatku semakin merengut.

Ya, bagaimana aku tidak uring-uringan sekarang, setelah menelantarkanku begitu saja di Cafe milik Nanda yang berakhir dengan nyawaku yang nyaris melayang karena ulah ugal-ugalan Nanda mengendarai motor copetnya, dan kekejaman Jehan padaku tidak berhenti hanya sampai di sana, keesokan harinya dengan teganya Managerku tersebut memberikan tugas langsung menghadapi klien yang super cerewet selama dua hari full tanpa tim sama sekali.

Dan dia yang seharusnya bersamaku dalam pekerjaan ini justru tidak nampak batang hidungnya, dia memberikan instruksi hanya dari sambungan voice note dan aku yang harus mengeksekusi semuanya. Nasib baik semuanya berjalan lancar, jika tidak nasib karierku mungkin akan berhenti sampai di sini.

Tidak tahu kenapa, aku merasa Jehan begitu ingin menyulitkanku setelah kejadian kemarin. Entahlah, mungkin hanya perasaanku berpikir demikian setelah aku baru saja di kecewakan olehnya.

Sementara sekarang, di saat aku benar-benar lelah dengan tekanan pekerjaan dan membayangkan nanti sore aku sepulang kerja aku harus ke Resepsi Juwita, di mana akadnya saja sudah tidak aku hadiri tadi pagi, Mieke justru menanyakan hal yang membuatku semakin kesal.

Setelah nama Nanda Augusta yang bisa memicu tensiku naik dalam sekejap, ada nama Jehan Pamungkas yang mengikuti di belakangnya, memang benar kata-kata yang di tulis Mama dalam novelnya, 'jangan terlalu berharap pada sesuatu, jika tidak bisa meraihnya, karena bisa di pastikan sesuatu itu hanya akan melukai kita' salahnya aku yang dari awal sudah terlalu GR dengan ajakan Jehan, dan terlalu tinggi dengan berharap dia sesempurna Ayah Nakula.

Berusaha setenang mungkin aku menjawab pertanyaan Mieke yang di dengarkan Galang dengan wajah penuh penasaran. "Nggak ada kencan. Pak Boss cuma ngajakin ngopi di tempat yang dia dan adiknya sukai, dan endingnya dia justru pergi sama temannya dan aku di tinggal sendirian di Cafe itu."

Mieke dan Galang ternganga, keduanya bertukar pandang tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan dan mereka dengarkan. "Kayaknya tadi gue denger si Yura ngomong kalau dia di tinggal Pak Boss sendirian di Cafe deh, Lang. Mustahil nggak, sih? Cowok se gentle Pak Jehan ninggalin cewek sendirian."

Aku bersedekap, menatap kedua orang yang ada di depanku ini. "Beneran aku di tinggal sendirian di Cafe itu, di suruh pulang sendiri. Kalau kalian mau ngetawain aku atas kesialan ini, waktu dan tempat di persilahkan. Jangankan kalian, aku saja pengen ngetawain diriku sendiri yang kadung kepedean."

Senyuman getir tidak bisa aku tahan saat dua orang yang ada di depanku ini terkikik tertahan, jika tidak melihat wajah memelasku mungkin mereka berdua akan tergelak hingga terkencing di celana, dan aku pun hanya bisa menerima tertawaan ini, ya bagaimana lagi, mau marah ya ternyata aku memang terlalu banyak berharap.

Terlalu kegeeran atas ajakan sederhana. Ya sudahlah, aku anggap kejadian menyebalkan ini sebagai bagian unik pengalaman hidup, merutuki Jehan hanya akan menambah dosaku. Di bandingkan dengan Kirana, seorang yang ternyata di sukai Jehan, bahkan pria itu rela untuk mencoba mendekatkan Kirana dengan Nanda, aku memang tidak ada apa-apanya, sadar diri lebih baik dari pada harus di sadarkan."

Galang menepuk bahuku prihatin, walau tidak bisa di tampik tetap saja wajahnya begitu menyebalkan sekarang saat menahan tawa. "Makanya kalian para Betina jangan cari cowok yang terlalu ganteng, kebanyakan yang terlalu ganteng pasti nyepelein kalian para Betina. Cari saja yang pas-pasan kayak aku, pasti kami merlakuin kalian kayak Ratu."

Mendengar apa yang di katakan Galang membuatku hanya bisa mencibir, sok bijak sekali ini batang kencur.

"Lagian ya, Ra. Hati-hati sama yang terlalu ganteng, kadang naksir yang terlalu ganteng nggak bikin bahagia, tapi malah bikin kurus kering makan hati."

❤❤❤❤❤

"Dari Bandara langsung ke kantorku saja, Len. Aku nebeng sama kamu."

Dengan cepat aku memakai bulu mata, merias wajahku secepat mungkin dengan telinga yang tersumpal earpod menelpon temanku yang bernama Elen, salah satu teman SMA-ku yang masih berhubungan baik, dan sama sepertiku yang menjadi bridemaids, Elen pun ternyata sama. Perempuan yang sebenarnya juga tinggal di Jakarta karena dia merintis karier menjadi seorang model ini terdengar uring-uringan karena permintaanku yang memerintah seperti Bos.

"Baru juga aku keluar dari Bandara, Ra. Sudah di dikte buat jemput. Tahu nggak sih, seharian photoshoot di Semarang dan di cecar habis-habisan sama Bonyok suruh cepetan kawin. Tahu gitu aku tolak saja job hari ini."

Aku terkikik mendengar curhatan Elen, Semarang memang kampung halaman Elen, dan sepertinya mengambil job di kota tersebut membuatnya menemui masalah klasik yang sering kali dia ceritakan padaku.

Apalagi kalau bukan masalah jodoh dan cepat-cepat menikah. Berbeda dengan Mama dan Ayah Nakula yang membebaskanku urusan jodoh, Orangtua Elen sama seperti Papa, yang mulai panik soal jodoh anaknya di saat usia kami menginjak 25 tahun.

Mungkin persepsi tentang perawan tua di usia tersebut untuk perempuan menjadi masalah yang mengkhawatirkan untuk Papa dan Elen, bedanya Papa akan terdiam jika aku sudah mulai menutup telinga dan memasang wajah cemberut, sementara Elen sampai dia tidak mau pulang ke rumah saking gemasnya dia dengan kekhawatiran orangtuanya yang menurutnya kuno.

"Sabarin saja, Len. Siapa tahu di Pestanya Juwita nanti bakal ketemu jodoh."

Suara cibiran terdengar di ujung sana, tampak jelas jika Elen kesal karena perkara jodoh dan pernikahan. Pembicaraan tidak penting pun mengiringi obrolan kami di telepon sembari aku yang make up mempersiapkan diri. Risih di make up orang lain membuatku lebih suka merias diriku sendiri. Ini akan lebih baik, aku hanya akan tinggal berganti pakaian bridesmaid yang bernuansa Jawa Solo ini saat sampai di gedung.

Kali ini sepertinya pesta Resepsi Alan dan Juwita bukan hanya akan menjadi pesta, tapi juga menjadi reuni bagi kami alumni SMA Negeri favorit di kota Solo.

Nervous, jangan di tanya. Aku nyaris tidak pernah menghadiri Reuni, karena tidak tahu kenapa aku kurang tertarik saja, selama ini aku hanya fokus pada pendidikan dan karierku, hahahihi dengan teman-teman yang sebenarnya juga tidak terlalu akrab denganku bukan hal yang aku inginkan.

"Aku sudah mau sampai di komplek kantormu, Ra. Tunggu aku di depan."

Ucapan dari Elen membuatku mematikan telepon, dan dengan cepat aku meraih paper bag berisi pakaian bridesmaid, dan segera bergegas keluar menunggu tumpanganku.

"Mau kemana, Ra? Kelihatannya rapi banget." Aku sedang melihat jam tanganku saat suara dari seorang yang sudah menyusahkanku selama 3 hari ini terdengar.

Aku mengulas senyum terpaksa saat harus menatapnya, kekesalan tidak bisa aku tutupi karena dia tampak tidak bersalah sama sekali.

"Mau ke Resepsi teman SMA, Pak Jehan." Ucapku malas-malasan. Perlu di garis bawahi, aku masih kesal dengannya.

Tatapan tertarik terlihat di wajah Jehan saat mendengar jawabanku. "Teman SMA, apa Nanda Barista temanmu kemarin juga datang?" Heeeh, kenapa dia mendadak antusias menanyakan Nanda? Aneh sekali laki-laki menanyakan laki-laki. Tapi tidak memberikan kesempatan padaku untuk berbicara Jehan kembali berucap, "kamu datang sendirian? Kalau sendirian, gimana kalau aku temenin!"

Bukan tawaran, tapi lebih ke pernyataan, dan tatapan horor tidak bisa aku tahan terhadap laki-laki kelewat tampan ini, Cringe sekali sikapnya yang ingin mencomblangkan Nanda dengan Kirana. Jika aku tidak tahu alasan dia begitu bersemangat mendekat pada Nanda karena Kirana, mungkin aku akan berpikir jika Jehan ini seorang G*y yang menyukai Nanda.

Ingin sekali aku langsung menolak hal tersebut mengingat bagaimana kejamnya Jehan meninggalkanku begitu saja di Cafe, tapi senyuman mengharap dari Jehan membuatku tidak enak sendiri.

Tapi suara klakson yang berasal dari mobil yang berhenti tepat di depan kami menyelamatkanku.

"Yura, ayoo cepetan."

YURA Married With EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang