Amplas Atau Oplas?

5.2K 705 34
                                    

"Hei, Nanda. Lihat, ada es krim coklat kacang kesukaanmu nih."

Tidak tahu untuk yang ke berapa kalinya aku mendengus sebal dengan kalimat polos dan tanpa di pikir sama sekali oleh Juwita ini dalam satu hari ini.

Jika tadi dia menyebut perubahanku begitu drastis, hingga sudah pantas di sebut anak dari Rara Aghnia, maka sekarang dengan entengnya dan tanpa dosa sama sekali dia memanggil sosok menyebalkan yang ada di urutan teratas orang yang tidak ingin aku temui seumur hidupku.

Tidak tahu ada apa dengan takdir dan alam yang bekerja, hidupku selama 2 tahun di Kota ini begitu nyaman, tentram, dan damai, bahkan hingga jam makan siang tadi aku masih merasakan bahagia karena aku dan Managerku bisa mendapatkan deal dari sebuah brand ternama untuk memakai jasa kami, tapi hanya dalam hitungan tidak sampai hari, semuanya berantakan dan kocar-kacir.

Kini aku seperti bisa merasakan bagaimana rasa jengkel dan kesal yang di rasakan oleh Squidward dalam kartun Spongebob karena terlalu sering berurusan dengan orang-orang absurd membuat kita stres sendiri.

Dan sama seperti Juwita dan Alan tadi yang merupakan tunangan Juwita yang sebentar lagi akan menjadi suami wanita  cerewet ini, beserta dengan sosok menyebalkan Nanda Augusta melihatku dengan pandangan tidak percaya.

Bahkan dengan kurang ajarnya, Nanda, si menyebalkan yang kini tampak berbeda dan semakin seperti raksasa karena tubuh tinggi besarnya melihatku dengan pandangan melotot dari ujung stileto aku kenakan, naik ke celana jeans hitam yang aku pakai, hingga kemeja baby blue yang membungkus tubuhku, dia melihatku berulang kali seolah tidak percaya dengan yang di lihatnya, dan hal ini nyaris saja membuatku ingin mencolok matanya.

"Beneran Yura?"

"Beneran Yura?"

Dua orang laki-laki ini bertanya dengan pertanyaan yang sama, sungguh sebegitu berbeda kah aku seperti di iklan pemutih kulit yang seringkali di iklankan para Selebgram hingga ekspresi mereka sedongo ini saat melihatku?

"Wi, ini beneran es krim coklat kacang yang jerawatan di kelas kita itu bukan, sih? Kok bisa berubah kayak gini, oplas ya dia? Apa di amplas? Mulus banget dia kayak marmer."

Mendengar bisikan dari Nanda pada Juwita lengkap dengan ekspresinya yang begitu menyebalkan membuatku memutar bola mata malas, astaga, kenapa ada orang menyebalkan sekali seperti dia, sih.

Suara ketukan stiletoku terdengar, mendekat pada mahluk menyebalkan yang seperti rasaksa ini, dan menepuk bahunya pelan agar dia melihat ke arahku, setengah mati aku menahan diri untuk tidak menghajar wajahnya yang memperhatikanku lekat seolah tidak percaya dengan semua penampilanku.

Kini Nanda berdecak berulangkali saat akhirnya kami berhadapansaling melihat, nasib baik gen Papa yang tinggi dan sepatu yang aku pakai menunjangku agar tidak terintimidasi di depan mahluk menyebalkan ini.

"Heh, lihat dan dengar baik-baik Nanda Augusta orang yang ada di depanmu sekarang ini." Aku menunjuk dada itu kuat, gemas sekali ingin melubangi dadanya hingga bolong ke belakang karena kesal. "Orang yang ada di depanmu ini bernama Yura Wirawan, bukan es krim coklat kacang seperti ejekanmu dulu padaku, tolonglah, Nan. Jangan bersikap menyebalkan lagi dengan melihatku seperti menghakimi jika mahluk jelek tidak pantas untuk berubah menjadi lebih baik. Nggak apa kamu lakuin ini ke aku, tapi kalau orang lain yang dapat cemoohan kayak yang kamu lakuin sekarang, belum tentu mereka kuat mental."

Lama kami saling menatap tepat di mata kami satu sama lain, dulu aku tidak pernah meladeni ejekannya yang aku anggap sebagai angin lalu dari siswa yang caper, memaklumi kebiasaan para siswa good looking yang membully para mahluk pas-pasan sepertiku. Tapi sekarang, di saat aku merasa semua hal ini terasa mengganggu tentu saja aku tidak akan tinggal diam.

"Kalian jangan berantem dong!" Aku sama sekali tidak mengindahkan ucapan dari Juwita yang berusaha menengahi kami, merasakan jika kami yang berhadapan seperti orang yang tengah bersiap duel. "Ra, kamu kayak nggak tahu mulut cablak, Nanda. Ini orang kan emang mulutnya cabe. Dia diam saja setelan wajahnya udah tengil."

Seringai terlihat di wajah Nanda Augusta sekarang, sama sepertiku yang tidak peduli dengan ucapan dari Juwita, begitu juga dengan dirinya, sosoknya yang tinggi besar justru merangsek maju semakin dekat ke arahku dengan gayanya yang sok hingga nyaris hanya sejengkal jarak yang memisahkan kami.

"Hiiissss, wajahnya saja yang berubah jadi cantik, kirain sikapnya juga." Jika tadi aku yang mendorong dadanya dengan telunjukku, maka sekarang jemari dengan cincin di telunjuknya tersebut mendorong dahiku agar aku sedikit mundur ke belakang. "Baguslah kalau wajah cantik nggak merubah sikapmu, Es krim coklat kacang. Cukup wajahmu saja yang berubah, jangan tambahin yang lain, ini sudah cukup nyebelin."

Dan tanpa dosa sama sekali Nanda berlalu melenggang dari hadapanku usai berkata demikian, heeeh, apa coba maksud dari ucapannya barusan. Ingin sekali aku melepaskan stiletoku dan melemparkan ke arahnya yang kini berjalan dengan songongnya, mungkin aku akan benar melakukan hal ini jika saja Juwita tidak menahanku.

"Udah, biarin saja si Nanda mau ngoceh apaan. Jangan di masukin hati." Hela nafas berat aku rasakan saat menuruti ucapan dari Juwita yang kini setengah menyeretku mengikuti Nanda dan Alan yang berjalan pergi menuju food court lantai atas. Ingin sekali aku menolak ajakan Juwita kali ini, berlama-lama berhadapan dengan sosok menyebalkan Nanda yang selalu berkata tidak mengenakan hati terhadapku ini sangat menguras emosiku.

Terbukti bukan betapa menyebalkannya dia dari ucapannya barusan, mengatai perubahanku dengan entengnya dan ucapannya yang terakhir tadi, apa coba maksudnya? Menyebutku nyebelin sementara dia adalah dedengkotnya nyebelin dengan segala kalimatnya yang menyakitkan.

"Ya gimana nggak masukin hati, Wi. Kamu dengar sendiri apa yang dia bilang, jahat banget ngatain orang bisa berubah mulus karena di amplas apa di oplas, siapa coba yang nggak tersinggung!"

Aku merengut, entah kenapa kalimat yang meluncur dari Nanda terdengar berkali-kali lipat lebih menyebalkan dari pada yang orang lain yang berbicara.

"Ya kalau beneran nggak di amplas atau di oplas, nggak usah marah atau sewot dong." Tanpa berbalik dia kembali membuka suara, bisa-bisanya dengan gaya sok cool yang berjalan melenggang tersebut dia masih sempat-sempatnya menguping. "Wajarlah aku nanya begitu lihat kamu sekarang, orang aku jujur. Siapa juga yang nggak heran kalau Yura si dekil, burik, item, jerawatan, kelas IPA 5 mendadak jadi glowing, shining, shimering, splendid, kayak sekarang ini." Kembali wajah menyebalkan ini berbalik, memamerkan seringainya yang menyebalkan sembari kembali berucap, "atau jangan-jangan lo pasang susuk ya, Ra?"

Duuuaaaarrr, habis sudah kesabaranku padanya, "NANDA!!!!" tanpa berpikir panjang aku langsung menerjang sosok menyebalkan ini, hanya satu hal yang ada di kepalaku sekarang, yaitu menghajar mahluk menyebalkan ini hingga mulutnya tidak bisa berbicara lagi.

YURA Married With EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang