"Aku benar-benar minta maaf, Yura. Aku nggak sengaja, dan aku cuma mau nolongin kamu. Nggak ada niatan apapun, apalagi memanfaatkan keadaan."
".................. "
"Aku juga nggak ada niatan buat bikin sial di kehidupanmu, Yura. Aku benar-benar bukan Nanda yang dulu."
"................. "
"Jika dulu aku sering menyakitimu dan suka melihatmu menangis itu karena aku nggak terima ada yang ngalahin aku, apalagi orang itu perempuan. Tapi percayalah, nggak ada kebencian sama sekali ke kamu."
"............. "
Aku menoleh, mendapati Nanda tengah menatapku dengan pandangan yang nampak bersalah, wajah tengilnya yang biasa terlihat dan membuatku emosi sendiri kini tidak tampak sama sekali, Nanda benar-benar menunjukkan penyesalannya atas semua hal yang sudah terjadi hingga membuatku menangis sekarang.
Seraut ketidaktegaan itu semakin terlihat di wajahnya saat aku membalas tatapannya, apalagi aku benar-benar menangis sesenggukan tadi karena kejadian yang bagiku sangat memalukan di tengah umum.
Melihatku yang hanya termangu dalam diam tanpa bersuara membuat Nanda kembali membuka suara, sepertinya tangisku dan kekesalanku yang sudah benar-benar ada di puncak mengganggu pikirkannya. Apalagi permintaan maafnya sama sekali tidak aku tanggapi.
"Kita damai ya, Ra. Udah ya yang jengkel-jengkelan, percaya deh, aku nggak akan pernah jahatin, bully, isengin, atau bikin kesal kamu lagi. Aku janji nggak akan godain kamu lagi, aku paham kamu nggak tahu cara becandaan aku sampai semua hal yang aku maksud bercanda kamu kira jadi ejekan, pokoknya aku janji nggak akan jadi Nanda yang ngeselin."
Seperti seorang Prajurit yang tengah mengikat janji, Nanda benar-benar dalam posisi siapnya, wajahnya yang menyebalkan kini tampak serius seolah dia sedang berjanji pada Komandannya saat hendak menjalankan misi.
"Saya, Letnan Satu Nanda Augusta, dengan ini saya berjanji demi nama baik saya dan Kesatuan saya, tidak akan pernah membuat Yura Wirawan, putri Tunggal Yudhatama Wirawan kesal lagi. Saya berjanji mulai hari ini, detik ini, akan menjadi sosok yang baik untuknya, dan tidak menjadi seorang Nanda Augusta yang menyebalkan seperti saat SMA dulu."
Mau tidak mau melihat ulah Nanda yang berusaha keras meyakinkanku jika dia tidak akan menyebalkan lagi dan juga agar aku menerima permintaan maafnya, aku tertawa sendiri. Sungguh hal yang aneh, beberapa detik yang lalu dia membuatku menangis, dan detik berikutnya dia membuatku tertawa dengan kekonyolannya yang berjanji sedemikian rupa.
Jika di pikir dari sisi netral, bukan aku yang baper atau terlanjur kesal padanya, semua yang terjadi tadi bukan kesalahan Nanda sepenuhnya, semua ketidaksengajaan yang di atur oleh takdir.
Tapi wanita nggak pernah salah, dan Nanda sudah benar dengan dia yang meminta maaf dan berusaha untuk mendapatkan maafku.Melihatku tertawa membuat binar kelegaan di wajah Nanda, wajahnya yang tadi butek karena khawatir kini perlahan berubah, bahkan dia dengan lancangnya memegang daguku. "Udah bisa ketawa, berarti udah nggak marah dan udah di maafin kan, Ra?" Tanyanya penuh harap.
Mata tajam itu menatapku lekat, berharap aku akan menjawab iya, dan saat dia memandangku sekarang, aku baru menyadari jika memang benar yang di katakan oleh teman-temanku tadi.
Nanda ini, dia tampak semakin menawan, dia sudah menjadi most wanted semenjak di SMA, dan semakin menjadi pesonanya sekarang ini. Perasaan tidak nyaman yang membuat perutku terasa mulas untukku kini aku rasakan saat mendapatkan tatapan darinya. Tatapan yang seolah menunjukkan jika dia ingin masuk ke dalam isi hatiku melalui tatapan matanya.
Sadar jika ada yang tidak beres, dan akan berefek yang tidak-tidak atas pandangan mata ini aku buru-buru melepaskan tangan Nanda yang memegang daguku sembari berdeham pelan membersihkan tenggorokanku yang mendadak berat untuk berbicara.
Perlahan aku mundur, menjauh dari Nanda yang kedekatannya selalu mempunyai efek tersendiri untukku. Astaga, aku salah tingkah karena ulah musuhku sendiri.
"Iya di maafin! Asal nggak nyebelin lagi, perlu kamu tahu, kamu nggak ngapa-ngapain saja sudah nyebelin di mataku."
Suara kekeh geli terdengar dari Nanda mendengar ucapanku, helaan nafas panjang yang menunjukkan betapa leganya dia terdengar saat dia turut berdiri di sampingku, berpegangan pada pagar pembatas taman, dan kami, khususnya aku, baru sadar jika pemandangan di taman Hotel yang berlatar di pinggiran Jakarta ini begitu memikat dengan hamparan lampu-lampu di bawah sana.
Desir angin malam menerpa wajahku, membuat anak rambutku yang tidak tersanggul tertiup angin yang berhembus lembut, memberikan perasaan segar dan menenangkan usai mataku yang terasa panas karena menangis beberapa saat yang lalu.
"Mau di stel bagaimana pun wajahku tetap kayak gini, Ra. Cara becandaku juga kayak gini, ya gimana, kebanyakan bercanda sama laki-laki, ternyata bercanda sama perempuan berbeda. Ya, kalau menurutmu aku ngeselin, ya maaf."
Kekehan tawa mengakhiri ucapan Nanda di akhir kalimatnya, dan mendengar Nanda sadar betapa menyebalkannya dia, bahkan menerima perkataanku jika dia menyebalkan dengan tawa yang mengakhiri ucapannya membuatku merasa sedikit bersalah.
Ternyata Nanda tidak seburuk yang aku kira, hanya sedikit orang yang mau dan bisa menertawakan dirinya sendiri. Nanda ternyata satu dari sedikit orang yang punya sense of humor yang baik.
Mungkin memang benar, segala hal yang menurut kita mengesalkan di diri satu sama lain itu karena pertemuan kami di dasari rasa kesal dari masalalu yang tidak terselesaikan.
"Ya syukur deh, Nan. Kalau nyadar dan mau nerima kalau wajahmu itu memang ngeselin." Ya, aku tidak akan memujinya karena dia mau menerima kritik, aku tidak ingin membuatnya besar kepala.
Big No. No. No.
Nanda bertopang dagu, dari siluet samping yang membingkai wajahnya di tengah hangatnya lampu yang membingkainya, terlihat pria ini seperti lukisan artistik yang sering aku temui di Pinterest. Yah, pantas saja banyak sekali yang menjadi fansnya dari dulu. Good lookingnya semakin menjadi.
"Orang ganteng nggak akan sadar kalau dia ganteng, Ra. Begitu juga aku, menurutmu ngeselin, tapi aku juga nggak ngerasa kalau aku itu ngeselin, coba kalau kamu ngomong kayak gitu ke Nanda 10 tahun yang lalu, dia nggak akan peduli mau kamu termehek-mehek atau apapun, Nanda yang dulu pasti akan ketawa ngakak kalau bisa bikin kamu nangis sesenggukan kayak tadi."
Hisss, aku mencibirnya, apa yang dia katakan memang benar, dalam bayanganku tadi, aku kira si Tengil ini akan menertawakan aku yang menangis seperti yang dulu sering kali dia lakukan, dia yang meminta maaf dan membujukku untuk tidak marah seperti barusan sama sekali tidak aku duga.
Nanda yang meminta maaf atas hal yang sebenarnya bukan salahnya sepenuhnya sangat bukan seorang Nanda yang aku kenal.
"Tapi waktu berlalu dan mengubah segalanya ya, Ra. Dulu aku senang menggodamu sampai menangis, dan sekarang aku justru tidak tega melihat matamu berkaca-kaca? Perubahan di diriku ini bukan sesuatu yang buruk, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomanceYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...