"Ra, aku juga mau kopinya satu."
Jehan, Laki-laki berusia 30 tahunan yang menjadi atasanku ini langsung bersuara saat melihatku sedang membuat kopi.
Aku tersenyum kecil, sudah menjadi kebiasaan Jehan setiap kali aku sedang membuat kopi maka dia akan memintaku untuk membuatkannya juga. Tidak perlu waktu lama, dua kopi hitam mengepul untuk kami berdua, menjadi dopping di jam ngantuk sore hari menjelang akhir jam kerja.
"Kopinya siap."
Kusorongkan secangkir kopi padanya yang langsung di terima Jehan dengan senyuman terimakasih. "Nggak tahu kenapa, tapi aku ngerasa kalau kopi buatanmu ini enak."
Siapa yang tidak salah coba saat mendengar pujian dari seorang manager pelaksana muda yang brilian ini. Sama seperti aku sekarang, nyaris saja pipiku terbakar karena tersipu atas pujian yang di berikan Jehan, sang bujangan tampan yang menjadi idaman dari banyak karyawan wanita di kantor ini.
Dan satu keberuntungan untukku, sejak aku masuk ke dalam divisi ini, aku sudah bergabung di bawah kepemimpinannya, Jehan terkenal dengan sikapnya yang perfctionist, tapi tidak tahu kenapa aku justru nyaman dengan sistem kerjanya yang tidak banyak basa-basi dan menjilat.
"Itu hanya kopi, Pak Jehan. Semua yang bikin akan sama rasanya." Ucapku merendah, padahal di dalam hati sudah dagdigdug ser kesenengan karena di puji oleh sang Bachelor tampan ini. Dasar aku! Tawaku dalam hati.
Tidak menerima pujianku, Pak Jehan menunduk, menatapku lekat yang membuatku semakin salah tingkah karena di perhatikan sosoknya yang begitu berwibawa saat memimpin kami para anggotanya, jika kalian ingin tahu seperti apa pesona Pak Jehan ini, maka kalian bisa membayangkan Kim Seon-Ho pemeran Han Ji Pyeong, bagaimana, apa kalian nggak meleyot-leyot kalau di pandang sedemikian rupa oleh second lead drama Startup tersebut.
Jika Han Ji Pyeong berakhir menjadi sad boy, maka seorang di dunia nyata seperti Pak Jehan tidak akan mengalami hal seperti itu, di dunia nyata, segala hal yang good looking biasanya akan di permudah.
"Lalu apa yang kamu lakuin ke kopimu, Yura? Rasanya enak dan berbeda. Sini berikan tanganmu, biar aku lihat."
"Mau lihat apanya, Pak?" Dengan polosnya aku mengulurkan tanganku seperti yang di minta atasanku ini dan saat melihat telapak tanganku yang terbuka, Pak Jehan meraihnya sembari tersenyum kecil.
"Oohh, pantes."
Dahiku berkerut, tidak paham dengan apa yang di ucapkannya, "haaah?" Pantes apanya, sambungku dalam hati.
Sekarang sosok Pak Jehan yang biasanya jarang berbicara ini tampak terkikik geli melihat ekspresi wajahku yang kebingungan, ruangan pantry lantai kami yang jarang di datangi oleh para karyawan di jam kerja terasa sesak untukku karena wajah ramah tidak biasa Pak Jehan yang mendadak ini.
"Pantes kopi bikinanmu enak, tangannya sudah cocok buat jadi Istri yang siap buat layanin suaminya. Kamunya sudah punya calon belum?"
Duuuaaar, sesuatu seperti ada yang meledak keras dan membuat pipiku yang tadinya hanya memerah kini seakan terbakar hebat atas kalimat manis dari Pak Jehan yang sungguh tidak biasa.
Astaga, orang pendiam, sekalinya ngegombal kayak nerbangin orang ke langit, bisa-bisanya orang yang biasanya lempeng, tanpa ekspresi, bahkan terkesan sadis saat presentasi kini mendadak berubah menjadi berkata semanis ini terhadapku.
Ya ampun, jika seperti ini jangan salahkan aku jika akhirnya baper dengannya, Jehan yang tidak pernah menggombal saja sudah bikin jantung kebat-kebit apalagi sekarang dia yang seperti ini.
"Hiiissss, bisa-bisanya!" Menyembunyikan senyumku di balik cangkir aku setengah berlari pergi, aku nyaris saja sampai di pintu pantry dan menabrak Galang dan juga Mieke saat Pak Jehan kembali berucap mengatakan satu hal yang mengejutkan bagi semua orang yang memiliki telinga di ruangan ini.
"Yura, nanti sore jam balik kantor kamu mau pergi ke Coffeeshop langgananku? Ada kopi enak favoritku dan adikku."
Damn!!! Di ajak ngopi sama bujangan paling hot di kantor ini?
❤❤❤❤❤
"Gimana? Aku nggak buluk-buluk amat kan, Ke?"
Untuk kesekian kalinya aku berkaca, melihat wajahku di sore hari ini dan memastikan penampilanku apakah kumal seperti cucian layaknya pekerja kantoran di sore hari.
Mieke yang tadi sempat ternganga mendengar ajakan dari Jehan yang di sebutnya sebagai kencan terselubung kini memutar bola matanya malas karena aku bertanya bukan sekali dua kali, tapi nyaris sepanjang sore hari ini.
Yah, setengahnya Mieke iri karena aku ketiban duren di ajak berkencan oleh Jehan, dan separuhnya dia kesal karena aku yang terlalu cupu soal urusan kencan. Ya bagaimana, aku bahkan tidak pernah pacaran selama hidupku.
Terlalu pemilih dan takut akan sesuatu yang buruk seperti yang pernah terjadi pada Mamaku membuatku takut untuk menjalin hubungan. Aku takut di kecewakan, dan dari sekian banyak laki-laki yang mendekat, hanya Jehan yang memenuhi kriteria. Pinter, tidak neko-neko, tidak genit, dan tidak menyebalkan seperti Nanda.
Mendadak dahiku mengernyit saat pemikiran tentang Nanda melintas di benakkku, bisanya manusia menyebalkan yang beberapa hari lalu mengusikku itu muncul di dalam benakku.
"Lo ini merendah untuk meroket atau gimana sih, Ra? Udah jelas lo cakep kayak gini, masih nanya untuk kesekian kalinya buluk apa nggak?" Mieke menarik telingaku, tubuhnya yang mungil berbanding terbalik denganku yang semakin tinggi dengan wedges yang aku kenakan. "Kalau lo buluk, terus apa kabar gue. Udah stop diam dan jangan buat gue makin iri karena udah di ajakin sama Pak Bos."
Bertepatan dengan Mieke yang terdiam, sebuah mobil yang aku kenali sebagai mobil milik Jehan berhenti tepat di depan aku menunggu. Sama seperti reaksi Galang dan Mieke tadi yang terkejut, beberapa orang yang keluar dari kantor di jam pulang kerja ini menoleh penasaran saat Jehan menurunkan kaca mobilnya, lengkap dengan senyumannya yang langka dan memintaku untuk masuk ke dalam.
Jangan tanya keadaan jantungku sekarang, mungkin jantungku sekarang tidak hanya berdetak, tapi sedang goyang-goyang di dalam sana karena perasaan malu dan grogi bisa berkencan dengan bujangan tertampan di kantor ini.
Untuk terakhir kalinya aku menoleh pada Mieke yang mengepalkan tangannya memberikan semangat padaku, dari bibirnya yang tidak bersuara aku bisa melihat gerakan bibirnya. "Semangat buat kencannya."
Aku menarik nafas panjang, berusaha se-cool mungkin dalam berbincang dengan Jehan, aku tidak ingin membuat Jehan geli sendiri jika aku bersikap seperti tim horenya yang terang-terangan mengaguminya di kantor walau tidak bisa di pungkiri aku juga termasuk dalam jajaran para wanita yang kagum dengan pencapaian dan etos kerjanya.
Tapi jaim wajib dong.
Ada mungkin setengah jam kami berada di perjalanan, terjebak dalam lalu lintas padat jam pulang kerja hingga akhirnya kami sampai di sebuah kopi shop yang homey dan nyaman hanya dengan melihat bangunan dari luarnya. Terlihat sekali jika owner kopi shop ini memikirkan matang-matang konsep kopi shop yang nyaman nggak hanya buat sekedar minum kopi.
Dan saat Jehan menarikku ke dalam, semerbak aroma kopi dan kue yang manis langsung menyerbu hidungku, ya Tuhan ini seperti surga untuk pecinta dessert sepertiku.
"Nice." Ucapku sambil menatap berkeliling, rasa hangat dari ruangan bernuansa kayu khas tradisional di tengah kota yang hiruk pikuk begitu nyaman.
"Kamu harus ketemu baristanya yang handal dan unik dalam meracik kopi, Yura. Adikku menyukainya."
Mendapati apa yang di katakan oleh Jehan tentu saja aku bersemangat, tapi saat Jehan membawaku ke meja bar, seketika moodku turun ke lantai dasar, Tuhan, di antara jutaan orang, di antara banyak tempat, dan di antara ribuan kemungkinan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi.
"Ada yang bisa di bantu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
YURA Married With Enemy
RomanceYura Wirawan, dalam hidupnya jika ada yang di bencinya itu adalah seorang bernama Nanda Augusta, teman SMAnya yang selalu tidak pernah absen dalam membully-nya. Mulai dari menyebutnya sebagai mata empat karena dia yang selalu mengenakan kacamata ba...