Naik Motor Copet?

3.8K 668 60
                                    

"Atau sebenarnya jangan-jangan emang udah cinta, makanya uring-uringan."

Tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang saat mendengar kalimat paling ngaco dari Nanda barusan, di antara banyak kalimatnya yang absurd, ini adalah yang paling membuatku menggelengkan kepala.

Aku sudah tahu dengan jelas jika benci dan cinta terlalu tipis, kalimat yang sering aku dapatkan di novel yang di tulis Mama, tapi mendapati realitanya di dunia nyata, itu rasanya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa sesuatu yang tidak kita sukai mendadak menjadi sesuatu yang kita inginkan?

Realistis sajalah.

Apalagi ini seorang Nanda Augusta, aku memperhatikannya lagi, ingin mencari sesuatu di dirinya yang mungkin saja menjadi poin untuk menarik perhatianku.

Tapi nihil. Nggak ada.
Dia memang berwajah lumayan, setidaknya untuk orang lain, tapi dia bukan seleraku.
Melihat tubuhnya yang berisi di balik kaos lorengnya, bukan sesuatu yang istimewa, nyaris semua Tentara seperti itu, tidak seperti Polisi yang terkadang teledor setelah mereka berdinas atau menikah yang membuat Bapak Polisi semakin subur karena bahagia.
Dan yang paling penting, mulut dan sikap menyebalkan dari seorang Nanda ini yang membuatku merasa naksir dengannya adalah hal paling mustahil, sama mustahilnya dengan dia yang juga mendadak mengatakan jika tiba-tiba menyukaiku.
Di tambah, dia seorang dari golongan Militer, satu hal yang harus aku garis bawahi dalam mencari jodoh jika aku boleh memilih dan meminta pada Takdir, aku tidak ingin jodoh yang seperti Papa.
Bukan tidak mungkin jika mereka juga mempunyai kelakuan gila seperti Papa di masa muda, setidaknya itu adalah ketakutan pribadiku.

Nanda menatapku lekat, seolah dia menunggu jawaban atau tanggapanku atas ucapannya barusan, tapi aku memilih melengos dan turun dari kursi meninggalkannya.

"Ya sudah kalau mau anterin pulang, cepetan!" Ucapku sambil berjalan duluan, dari derap langkah yang terdengar aku tahu jika dia mengikutiku turun.

"Tunggu dulu, aku pamit dulu sama anak-anak." Ucapan dari Nanda membuat langkahku terhenti, tanpa menjawab aku menunggunya yang berbicara dengan beberapa karyawannya yang terlihat lebih muda dari kami, tatapan penasaran terlihat di wajah mereka, khususnya karyawan perempuan saat melihatku, bahkan tanpa sungkan mereka melihatku dari ujung kaki ke ujung kepala. Hal yang tidak sopan sebenarnya tapi mengacuhkan mereka adalah jalan ninjaku.

Tidak lama, mungkin hanya lima menit Nanda berbicara, sebelum akhirnya dia menghampiriku, kaos loreng yang sebelumnya memamerkan lengan ototnya kini tertutup jaket bomber. Tapi tetap saja, celana yang dia gunakan tidak menutupi identitasnya.

"Pakai ini, kemejamu terlalu tipis. Bikin orang gagal fokus ntar di jalan, apalagi kalau sampai masuk angin, tambah nyalahin ntar." Ujarnya sambil mengulurkan jaket bomber yang sama. Tanpa banyak protes aku memilih memakainya, lebih baik menurut dari pada terkena keusilan Nanda yang lainnya, padahal jika di perhatikan kemejaku biasa saja.

"Aku kira kamu cuma sekedar iseng atau bergaya pakai apron Barista, ternyata benar-benar kenal toh sama karyawan di sini."

Nanda mendekat, mengancingkan resleting jaketnya karena aku hanya memakai seadanya, udah yang penting nempel saja seperti yang dia ucapkan, "Coffeeshop ini milikku, Ra. Bagaimana aku nggak kenal sama mereka kalau mereka memang karyawanku."

Aku sedikit terkejut, aku kira dia hanya bergaya atau mentok dia punya investasi di sini, rupanya ini memang usahanya toh. Weeehhh, sama seperti usaha yang di pilih Papa. Selain sama-sama dari background Militer, mereka juga punya kesukaan yang sama. Jangan-jangan ada gila-gilanya juga sama? Hiiih, memikirkan hal ini saja membuatku bergidik.

"Kenapa gidik kayak gini? Jijik amat deket sama aku, kena tulah jadi cinta baru tahu rasa."

Memilih untuk tidak menjawab yang sejujurnya jika aku sedang memikirkan kemiripan antara dia dan Papa aku memilih menunjuk pintu, "Ayo pulang, cepetan bukain pintu, keburu makin malam."

Dengusan sebal terdengar dari Nanda karena perintahku, tapi sama seperti tadi saat aku tidak membantahnya, dia pun melakukan hal yang sama dengan memilih menurut membukakan pintu Caffe ini. Dan seperti bellboy, Nanda pun membungkuk dengan kata sarkasnya yang tidak ketinggalan. "Monggo silahkan Tuan Putri Es Krim Coklat Kacang."

Hahahaha, aku mengulum senyumku melihat Nanda sekarang, kapan lagi bisa nyuruh-nyuruh mahluk tengil ini coba?

"Tunggu di sini, aku ambil kendaraan."

Dan saat kami sampai di luar lebih tepatnya di parkiran, pertanyaan kenapa Nanda tiba-tiba menyuruhku memakai jaket terjawab, berbeda saat tadi aku datang dengan Jehan memakai mobil, suara raungan sebuah motor sport 2 tak CC standar yang sering kali di sebut Mama dan Nara sebagai motor copet terhenti tepat di depanku, aku nyaris saja menyangka dia benar-benar copet jika tidak hafal dengan pakaian yang dia kenakan.

Ternyata dia ingin mengantarku pulang dengan motor ini, bukan aku tidak mau naik motor perihal gengsi atau apapun, bahkan aku sering naik Ojol untuk mengejar waktu, tapi naik motor membonceng modelan cabe-cabean seperti ini lengkap dengan Nanda yang menjadi pengemudinya tentu saja mendadak naik motor menjadi hal yang memberatkan.

"Kita pulang naik motor?" Tanyaku memastikan, hal yang bodoh jika di ingat, tentu saja pulang dengan naik motor tersebut, melihat Nanda yang nangkring di atas motornya sekarang menungguku untuk segera naik.

Di balik helm yang di kenakan Nanda dia menyipit, sembari mengulurkan helm yang di bawanya padaku dia berucap, "memangnya mengharap mau aku anterin pakai apa? Pakai kereta kuda? Atau pakai private jet? Eling Ra, temanmu ini masih Pama, gajinya belum seberapa, belum mampu buat kredit mobil kayak yang ajakin kamu tadi."
Untuk kesekian kalinya aku menoyor bahu Nanda, kesal karena mulutnya yang kelewat cablak ini. "Tapi paling nggak aku nganterin kamu sampai rumahmu, nggak ninggalin kamu kayak orang ilang di tempat antah berantah."

Yah, di ingetin lagi gimana ngeselinnya Jehan yang sudah ninggalin aku gitu saja dan tanpa alasan sama sekali. Benar-benar kejadian yang mengoyak harga diriku sebagai wanita.

Nanda menggerakan tangannya, memberikan isyarat padaku untuk mendekat ke arahnya, tidak tahu apa yang akan dia lakukan aku menurut saja, dan seketika tubuhku terasa kaku saat ternyata Nanda memakaikan helm yang ada di kaca spionnya ke kepalaku, sama seperti saat dia mengancingkan resleting jaket yang aku pakai tadi, dia juga memastikan jika helm yang aku pakai terkunci dengan benar.

Hal yang di lakukan Nanda ini persis seperti yang di lakukan Ayah Nakula padaku dulu saat aku mulai belajar naik sepeda pertama kalinya, sosok Ayah yang menjadi cinta pertamaku dan menjadi rolemode-ku dalam menetapkan seorang laki-laki yang ideal untuk menjadi pendampingku.

"Keselamatan yang paling utama kalau nggak pengen celaka, dan juga kalau nggak mau di jewer sama Pak Polantas." Ucapan dari Nanda saat dia selesai mengunci helmku membuatku tersentak akan ingatan tentang Ayah Nakula.

Dan kini tanpa harus di perintah aku naik ke jok belakang, dan seperti yang sudah aku perkirakan jika aku memang seperti cabe-cabean jika membonceng motor modelan seperti ini, nggak pegangan takut kejengkang, pegangan harus mepet sama nih mahluk tengil.

Astaga, perkara naik motor aja bisa bikin puyeng mikirin gengsi dan juga keselamatan. Tapi bukan Nanda si tengil nan menyebalkan namanya jika tidak membuat ulah, tahu aku tidak mau berpegangan dengannya, dengan seenak jidatnya dia menarikku hingga membuat helmku terantuk ke kepalanya saat aku harus menunduk ke punggungnya.

"Pegangan! Nggak usah nurutin gengsi, aku mau nganterin kamu pulang, nggak mau nganterin ke akhirat."

YURA Married With EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang