✨HAPPY READING✨
Selepas makan siang, Felix menghadap pada sang kakak yang meminta penjelasan. Omong-omong, tadi Minho tidak ikut makan siang, bahkan dia tidak menunjukkan diri pada sang papa, Minho hanya berdiam diri di kamar sang adik dan menunggu papa juga Felix selesai makan siang. Minho menuntut kejelasan dari luka-luka yang ada di punggung Felix. Mengerikan, bagaimana bisa Felix mendapatkan begitu banyak luka?
"Dek—"
"Gue gak papa kak! Cuma kejatuhan buku waktu di perpustakaan tadi. Enggak terlalu parah juga kok!"
"Gak terlalu parah dari mana?! Jelas-jelas luka lo itu parah, dek. Gue gak percaya kalau cuma kejatuhan buku. Lo habis tawuran apa gimana?" Namun, itu tidak mungkin. Adiknya ini membenci kekerasan apalagi tawuran yang tidak ada untungnya. Minho rasa ada sesuatu yang terjadi kepada Felix
"Lo jangan bohong sama gue. Jujur darimana lo dapat luka-luka itu?"
Felix menghela nafas pelan. Percuma saja dia berdebat dengan Minho yang sudah jelas Minho akan menang. Kakaknya ini berandal jalanan, jadi dia tahu type-type luka dan juga penyebabnya. Minho itu memang sedikit berbeda dari Felix. Biarpun mereka dari rahim yang sama, tentu saja tidak sepenuhnya sifat mereka mirip. Jika Felix haus akan kejuaraan dan nilai, maka Minho kebalikannya. Minho lebih suka mengabaikan tugas-tugas dan memilih bermain dengan teman-temannya. Bisa dikatakan, Minho lebih suka kebebasan. Maka dari itu, dia pergi dari rumah dan meninggalkan segala kemewahan yang papanya berikan. Namun, kemewahan itu tidak ada artinya jika kita tertekan, kan?
"Kalau gue lihat... Luka itu bisa terjadi karena lo di pukul atau enggak lo kepentok benda keras" Lanjut Minho
Felix mengacak rambutnya pelan. Dan menatap Minho datar, "Apa sih kak?! Udah dibilang gue gak papa, lagian kenapa lo peduli? Udah sana pulang, gue mau belajar!?"
Minho mengangguk paham dan beranjak dari sofa, "Oke-oke, Lo gak mau jujur. Apa perlu gue samperin si brengsek itu? Mau di tendang bagian mananya?"
"Kak Minho—"
"Dek, lo itu adik gue. Dari lahir lo udah sama gue, dari kecil cuma gue yang bisa ngertiin lo. Setelah mama gak ada pun selalu gue yang ngasih lo perhatian. Jelas gue peduli sama lo, Lo pikir gue gak tahu, kalau si brengsek itu belum berubah?" Ucapan Minho tepat sasaran
Pemuda berusia 20 tahun itu menepuk pundak sang adik, tersenyum saat kedua netra mereka bertemu. Benar, Minho memang selalu mengerti Felix.
"Jangan nyakitin diri lo sendiri, dek. Lo bisa lari sebelum semua tambah parah, ayo tinggal sama gue. Lo akan lebih bebas, kita cari kebebasan bareng. Lo terlalu baik untuk tinggal disini"
Felix tidak mau. Felix memang menyakiti dirinya sendiri dengan masih bertahan, namun dalam diri Felix penuh keyakinan bahwa sang papa juga perlu untuk di perhatikan seperti Felix yang selalu bertanya apa yang papa perlukan. Terkadang memang menyakitkan, tapi melihat bagaimana senyum tulus sang papa saat dirinya menyerahkan sebuah medali, piagam, piala atau hasil belajarnya selama setahun dan menampilkan juara satu itu membuat Felix bahagia juga. Felix bertahan karena dia tidak ingin meninggalkan papa sendirian. Mama sudah pergi selamanya, Minho pun ikut pergi dan tidak peduli dengan papa... Maka hanya tersisa dirinya.
"Kak, Lo bisa pergi. Gue udah dewasa dan bisa ngelakuin ini sendirian tanpa siapapun. Gue bisa ngelakuin yang gue mau. Gue mau bertahan dan gue kuat untuk bertahan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
NUMBER ONE | Lee Felix
Fiksi Penggemar(Feat. Hwang Yeji) Ini semua hanya tentang nomor satu. Ini semua hanya tentang mereka yang mengejar kesempurnaan-omong kosong-mereka hanya seperti berlarian di labirin kehidupan. Ambisi besar dan ego yang sama besarnya membuat hati mereka seakan ter...