BAGIAN SATU

21.5K 1.2K 192
                                    

"Loh, Adek kok cemberut gitu. Kenapa?" tanya bunda Ira, bundanya Haga. Aneh rasanya melihat Haga memasang raut seperti itu, padahal masih pagi.

"Nggak apa-apa, Bun," jawab Haga lesu, lalu dengan tidak selera memakan sarapannya.

"Nggak apa-apa tapi mukanya begitu, kenapa sih? Sini cerita sama bunda."

Haga menoleh menatap Bundanya yang juga menatapnya penuh kasih sayang. Lalu menghambur ke pangkuan bundanya. Bunda hanya terkekeh tidak keberatan sama sekali, malah dengan sayang Bunda mengelus punggung Haga.

"Kenapa, Dek?"

"Adek marah sama, Ayah, Bunda."

Jawaban Haga membuat Ayah juga Bunda bingung.

"Kok marah, Dek? Ayah sama Bunda ada salah apa?" kini Ayah juga turut bertanya.

Haga menenggelamkan wajahnya ke dada sang Bunda. Hangat.

"Kalian jahat, ninggalin adek terus. Adek 'kan bosen."

Ucapan Haga berubah menjadi gumaman karena Haga masih tetap pada posisi awal. Namun sang Ayah juga Bunda masih bisa mendengarnya, membuat mereka menghembuskan nafas pelan.

Bunda memeluk Haga penuh hangat. Haga suka.

"Dengerin Ayah, Dek," pinta Ayah yang dibalas dengan dehaman Haga. "Adek tahu sendiri 'kan perusahaan Ayah nggak di Jakarta tapi di Belanda?" lagi Haga menjawab dengan dehaman. "Jadi tahu 'kan kalau Ayah harus kerja di mana?"

Kali ini Haga mengangkat pandangannya menatap sang Ayah. Begitu Ayah menatap manik mata Haga, Haga dengan sombong menenggelamkan lagi wajahnya di dada sang Bunda. Ah Haga sangat suka. Hangat soalnya.

Ayah mendengus, Bunda terkekeh.

"Punya Ayah itu, Dek," ucap Ayah sinis.

"Dih, enak aja. Punya adek ini," balas Haga tidak kalah sinis.

Bunda kembali terkekeh.

"Kok bisa punya kalian? Jelas-jelas punya Bunda lah, kan dada Bunda."

"Mana boleh gitu," ucap Ayah juga Haga secara bersamaan.

Ayah dan Haga sepontan saling menatap tajam, lalu secara serempak pula menoleh dengan sombong. Mereka musuhan.

Kali ini Bunda tertawa. Bunda selalu melihat pemandangan seperti ini kalau mereka berkumpul, dan itu jarang mengingat kesibukan mereka. Bunda tersenyum tipis, lalu memeluk Haga lebih erat. Ayah yang tahu apa yang dipikirkan Bunda jadi ikut tersenyum dan mengelus rambut Bunda dan Haga secara bergantian.

"Adek, lanjut makannya itu entar telat loh."

"Nggak usah sekolah lah adek ya, Yah? Mau kangenan sama Bunda."

Haga menunjukkan ekspresi memelas andalannya. Dan mau saja Ayah menjawab namun terdengar suara ketukan pintu.

"Biar Ayah yang bukain."

Tidak lama Ayah kembali ke meja makan bersama seseorang, Filemon. Bunda tesenyum menyambut Filemon yang dibalas dengan senyum pula.

Ayah sudah duduk, namun Filemon masih menatap Haga yang tidak melihatnya. Ya jelas, Haga saja masih asik mendusel ke dada Bundanya.

Dan dengan kurang ajarnya, Filemon menarik Haga sampai Haga rasanya mau pingsan sangking terkejutnya, begitu juga dengan Ayah dan Bunda.

"Lo apa-apaan sih?" teriak Haga menatap tajam Filemon, yang juga menatapnya bahkan lebih tajam.

"Kamu yang apa-apaan, Haga!" bentak Filemon sembari meremas kuat pergelangan tangan Haga yang sedari tadi digenggamnya.

"Gue? Gue apaan anjing?"

"Maksud kamu apa dusel-dusel gitu ke Bunda? Ha? Kamu nggak ingat apa yang pernah aku bilang!?"

"Lo gila, Mon! Gue dusel juga ke Bunda gue, bukan ke orang lain, sialan."

"Tetap aja, Haga!"

"Kok lo makin lama makin kurang ajar ya, Mon. Bunda gue loh ini!"

"Aku nggak suka kamu gitu, apa susahnya nurut?"

"Lo stress, mending lo pergi dari rumah gue. Kehadiran lo cuma parasit di sini!"

Filemon semakin menatap tajam Haga begitu mendengar bahwa ia diusir.

"Sialan!" desis Filemon. Lalu tanpa aba-aba ia menonjok rahang Haga, sampai Haga tersungkur ke lantai dan pingsan.

Bunda histeris, mau saja Bunda mendekati Haga namun Filemon melarangnya.

"Biar Emon aja, Bunda."

Akan tetapi baru saja Filemon menyentuh kepala Haga, ia sudah terjengkang ke belakang. Dengan cepat ia menoleh ke Ayah yang baru saja menonjok dirinya.

"Maksud, Ayah apa?"

"Keluar kamu dari rumah saya!" ucap Ayah terkesan dingin.

Filemon tersenyum sinis menatap Ayah, lalu membalas tonjokan yang ia terima.

Pertengkaran tidak terelakkan.

Bunda sudah menangis sembari memeluk Haga.

Bugh

Tonjokan terakhir dihantamkan Filemon ke rahang Ayah, membuat Ayah tersungkur ke lantai.

Setelah meludahkan darah, Filemon dengan kurang ajarnya mendorong Bunda yang memeluk Haga. Lalu menggendong Haga di dadanya.

"Bunda jaga Ayah aja, Haga biar urusan Filemon."

Lalu Filemon, setelah melemparkan senyuman miringnya ke Ayah pergi meninggalkan rumah Haga beserta Ayah yang menatapnya penuh kebencian dan Bunda yang masih menangis memeluk sang suami.

Filemon tidak peduli.

Yang ia pedulikan hanyalah Haga. Karena baginya Haga itu segalanya juga miliknya.

Siapapun itu, yang mencoba memisahkannya dengan Haga bersiap saja menerima akibatnya.

Mengendarai motor ninjanya dengan Haga yang ia dudukkan di depan menghadapnya tak lupa tangan kirinya yang memeluk erat tubuh Haga, Filemon mengabaikan pandangan semua orang kepadanya. Ia tidak peduli.

Just Friend? [end] [republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang