Haga mengerjapkan matanya begitu cahaya terang menerpa wajahnya. Begitu matanya terbuka jelas warna putih mendominasi. "Ini rumah sakit ya?" Iya, Haga. Benar. Aih kamu ternyata pintar.
Haga menelusuri ruangan, tatapan khawatir Bunda terlihat jelas. Bunda memeluk Haga pelan dan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, Dek. Kamu akhirnya bangun..." Bunda terisak pelan.
Haga tidak menjawab, mulutnya terasa kaku ah seluruh badannya juga.
"Bunda panggilin dokternya dulu ya, Dek."
Tanpa menunggu jawaban Bunda keluar ruangan untuk memanggil dokter juga Ayah dan Adam yang berada di kantin.
Haga terdiam, ia melamun. Mengingat kejadian penyebabnya berada di rumah sakit.
Haga mencoba menggerakkan seluruh badannya. Semua bisa digerakkan walau kaku kecuali jari tangan kanannya yang tidak ada rasa.
"Apa terlalu lama nggak digerakin ya? Jadi mati rasa gini.."
Tidak lama Bunda datang bersama Ayah, Adam juga dokter.
Sang dokter mulai memeriksa keadaan Haga, "bagaimana perasaanmu, Haga? Lebih baik?" tanyanya dengan diiringi senyum tulus. Seperti seorang ayah saja.
Haga mengangguk kaku, aih pasti rasanya sakit dan tidak nyaman. Semua tersenyum lega melihat Haga mengangguk.
Kemudian sang dokter pamit undur diri setelah memberikan peringatan-peringatan kecil kepada Haga.
"Ayah senang kamu udah bangun, Dek.." Ayah memeluk Haga sebentar. Ia tidak mau menyakiti Haga.
"Bu–Bund..." panggil Haga pelan. Haga berusaha untuk duduk, untung Ayah peka jadi membantu Haga.
"Ya sayang? Kamu perlu apa? Minum? Makan? Buang air kecil atau buang air besar?"
Haga menggeleng pelan, "jari kanan aku mati rasa..."
Mendengar ucapan Haga, Bunda menggigit bibir bawahnya menahan isak, matanya sudah memerah. Begitu juga dengan Ayah dan Adam yang sedari tadi diam.
Haga jadi kebingungan, sebenarnya ada apa?
"Bund.."
"Haga..." Bunda langsung memeluk Haga erat, tangisnya pecah saat itu juga. Sebagai seorang ibu ia tentu tahu bagaimana nanti perasaan Haga.
Haga menoleh menatap Ayah meminta penjelasan, tapi Ayah membuang muka tidak menatap Haga. Sedangkan Adam hanya diam menunduk.
Kedua tangan Haga terangkat untuk membalasa pelukan Bunda. Tapi begitu lengan panjang dari baju pasien rumah sakit merosot, Haga terdiam.
Matanya menatap bergantian ke arah tangan kiri dan tangan kanannya.
"Ada..." ucap Haga saat ia menatap tangan kirinya, lalu menoleh menatap tangan kanannya, "nggak ada..." kemudian menoleh kembali ke tangan kirinya, "ada..."
Pfftt
"Ada... nggak ada... ada... nggak ada..." Haga mengulangi lagi kegiatan menolehnya tadi. Saat itu juga ia tertawa kencang.
Hahaha
Bunda semakin erat memeluk tubuh Haga yang terguncang akibat tertawa.
"Ayah, Bunda, Papa... liat deh, liat deh, ada... nggak ada... terus ada... terus nggak ada... HAHAHHA.." Haga berucap antusias mengajak Ayah, Bunda dan Adam untuk melihat apa yang ia lihat.
Hahaha
"Aduh sakit perut adek... hahaha... ada... hahaha... tapi nggak ada... aduh, aduh perut adek geli... hahaha..."
Bunda melepaskan pelukannya, dengan mata basah ia menatap Haga yang masih sibuk tertawa sambil berucapa, "ada... nggak ada..." saat bergantian menatap tangannya.
"Dek..."
"Lihat Bund.. hahaha nggak ada..." kembali tertawa kencang.
Ayah terduduk di lantai, air matanya turun. Adam sudah keluar ruangan, ia tidak sanggup melihat Haga yang tertawa. Dan Bunda masih menatap Haga.
"Dek.. dengerin Bun–"
Pffttt
Karena Haga anak baik, Haga menahan tawa, ia bersiap untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Bundanya.
"Bunda mau ngo... pfftt... ngomong apa.."
Haga menutup mulutnya dengan tangan kanannya, dan malahan membuatnya semakin tertawa kencang sampai sudut matanya berair.
Hahaha
Plak
Satu tamparan menyapa pipi Haga. Haga tersentak, Ayah terbangun dari duduknya, Adam langsung masuk kembali.
Untuk pertama kalinya Bunda main tangan ke Haga. Untuk pertama kalinya Bunda menyakiti Haga.
"Udah cukup, Haga!" dan untuk pertama kalinya Bunda membentak Haga. Ayah merangkul Bunda untuk menenangkan. Tapi Bunda menepis rangkulan Ayah.
"Bund..."
"Cukup, Haga! Jangan sakiti diri kamu lagi!"
"Adek... adek nggak nyakiti diri adek, Bund..."
Plak
Bunda kembali menampar Haga. "Jangan bohong, Haga! Jangan bohongi diri kamu sendiri!"
"Adek nggak bohong!" tanpa sadar Haga ikut membentak Bunda. "Adek.. adek cuma mau menghibur diri adek sendiri..."
"Bukan gini caranya, Haga! Bukan gini!"
"Terus adek harus apa, Bund?!"
Tangis Haga akhirnya keluar, air matanya berlomba-lomba terjun, membasahi pipinya.
"Adek juga nggak mau bohongi diri adek sendiri! Adek cuma berusaha menghibur diri adek, Bund..." tangis Haga semakin menjadi.
"Adek sakit, hati adek sakit... jadi adek harus apa, Bunda?"
Bunda langsung memeluk tubuh Haga yang bergetar bukan lagi karena tawa tapi karena tangis. Ayah dan Adam hanya diam, mereka terlalu takut mengeluarkan suara cukup air mata mereka saja yang menggambarkan suasana hati mereka.
"Adek..."
Haga membenamkan wajahnya di dada Bunda, mengeluarkan tangisnya yang terdengar menyayat hati.
Tangisnya mengencang, Ayah ikut memeluk Bunda juga Haga.
"Lihat Filemon, lihat apa yang udah kamu perbuat ke orang yang kamu cintai ini..." Adam hanya bisa membatin sembari mengusap matanya yang terus berair.
Bebarapa saat kemudian tangis Haga mereda. Ia sudah tidak menangis lagi. Ia kini hanya menatap kosong ke depan.
Saat ini ia hanya sendiri sesuai permintaannya, ia ingin menenangkan pikiran.
Pandangan kosong itu menoleh menatap tangan kanannya. Terlapak tangan beserta jarinya tidak ada. Haga tersenyum tipis lalu tiba-tiba ia membenturkan tangan kanannya ke sisi besi brankar tidurnya.
Haga tidak merasa sakit, warna merah kembali terlihat. Kemudian ia mengulangi kegiatan tersebut berkali-kali.
Akibat suara yang berisik Bunda langsung masuk ke ruangan Haga, dan terkejut. Segera ia menahan tangan Haga yang ingin kembali dibenturkan.
Ayah yang ikut menyusul mengganti posisi Bunda, Haga terus berontak ia masih berusaha untuk membenturkan tangannya. Haga juga masih tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend? [end] [republish]
Teen Fiction"Mana ada teman tapi mesra-mesraan anjir." "Ada. Tuh buktinya." - 03/10/21 19/12/21 note: 'konten dewasa' untuk kekerasan dan bahasa kasar, mohon untuk tidak ditiru.