Ekstra part [02]

6.7K 441 38
                                    

Bunda senantiasa mengusap-usap jemari Haga. Dari pingsan tadi sampai sekarang Haga belum sadar juga. Bunda khawatir.

"Kondisi fisiknya baik-baik saja. Tapi sepertinya anak anda terkena tekanan batin. Stres berkepanjangan. Dan ini di luar kendali saya yang hanya berprofesi sebagai dokter umum. Saya sarankan anda membawa anak anda ke psikolog untuk penanganan yang lebih serius."

Ayah mengangguk lalu menjabat tangan sang dokter. "Terima kasih, Dok."

"Sudah tugas saya. Kalau begitu saya permisi."

"Mari saya antar."

Setelah ayah mengantar dokter yang memeriksa Haga barusan ke luar rumah, ayah kembali lagi ke dalam kamar Haga.

"Bund, ayah sudah menghubungi Rose dan sebentar lagi dia sampai. Adam juga."

Bunda tidak memberi respon. Ayah memaklumi kondisi istrinya. Sebenarnya dirinya juga merasakan apa yang dirasakan istrinya, tapi ia hanya mencoba untuk tegar agar dapat menopang.

Tidak lama Rose juga Adam sudah datang. Begitu mendengar kondisi Haga yang jatuh pingsan, kekhawatiran mereka memuncak itu sebabnya dengan cepat mereka datang.

"Bagaimana kondisi Haga, Vid?" Adam bertanya panik. Tentu saja panik.

"Haga ... fisiknya baik tapi batinnya ...."

Adam menahan napas sejenak, menutup matanya pelan. Lalu kembali membuka matanya dan menatap ke Rose.

"Bujuk Haga lagi, Nak. Seperti saat kamu menanganinya pertama kali."

Rose tersenyum pedih, "iya, Om. Aku akan berusaha."

Tapi entahlah, hati Rose menahan rasa sakit juga kekecewaan. Hatinya dipermainkan oleh orang yang terbaring di atas tempat tidur itu.

Dipermalukan di depan keluarga besarnya, bahkan dirinya diejek oleh teman-temannya yang lain.

Apa pernikahan hanya sebuah candaan bagi keluarga ini? Yang tidak tahu malu meminta kembali bantuannya untuk menangani anak mereka yang sudah menyakitinya?

Apa dirinya hanya alat? Kenapa keluarga ini kejam sekali padanya? Kesalahan apa yang pernah dibuatnya sebenarnya? Ya Tuhan ... rasanya dirinya merasakan kemuakan yang luar biasa.

Dilangkahkannya kakinya memasuki kamar Haga. Dilihatnya ada mantan calon ibu mertuanya sedang melamun.

"Bunda?"

Lamunan bunda buyar, dilihatnya ke arah Rose dengan senyum tulusnya. Rose berdecih dalam hati.

"Biarkan aku yang mengurus Haga."

Bunda mengangguk, memeluk sejenak tubuh Rose. "Bunda percaya ke kamu, Nak."

"Terima kasih atas kepercayaannya, Bunda. Aku senang Bunda percaya padaku."

Kemudian bunda berlalu dari kamar Haga. Begitu pintu kamar tertutup, Rose mendekati tubuh Haga.

Disentuhnya wajah tenang mantan calon suaminya itu. Wajahnya tanpa ekspresi yang jelas. "Haga, bangun ..." diguncangnya pelan lengan Haga, "kalau kamu nggak bangun, sayang banget ..." ditepuknya pelan pipi kurus itu, "padahal Filemon udah nungguin kamu bangun ...."

Di ruang tamu, ayah menceritakan keresahan hatinya akan kondisi Haga pada Adam. Bunda duduk dalam diam di sampingnya.

"Andai Filemon tidak memutuskan untuk mengakhiri hidupnya mungkin Haga tidak akan seperti ini."

"Ha?" Tunggu dulu, mengapa sahabatnya ini malah mengandai-andainya kematian anaknya? "Maksud kamu apa, Vid? Kenapa malah membawa kematian anak saya?"

"Yang aku katakan benar, bukan? Haga seperti ini karena kematian Filemon."

Just Friend? [end] [republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang