Kehidupan Haga dalam setahun setelah kecelakaannya banyak berubah. Jika dulu Haga selalu senang keluar rumah, maka sekarang tidak. Rasanya terlalu menakutkan jika ia keluar dari rumah bahkan dari kamar.
Haga menjadi lebih pendiam, menjadi sosok yang sulit didekati. Bahkan kedua orang tuanya juga tidak terlalu diacuhkannya.
Ketika ia kembali sekolah, banyak ejekan yang terdengar, banyak tatapan yang penuh rasa kasihan. Haga selalu membenci tatapan itu. Haga juga jadi benci sekolah. Lantas Haga memutuskan untuk berhenti.
Orang tua Haga sempat protes akan keputusan Haga tapi saat itu juga Haga mengamuk, menghancurkan barang apapun yang ada di hadapannya. Bahkan tidak segan menyakiti dirinya sendiri.
Semenjak berhenti sekolah, Haga tidak pernah keluar kamar. Ia mengurung diri. Tidak sekali-dua kali Haga mengamuk. Menghancurkan kamarnya. Menyakiti dirinya, lalu menghibur dirinya sendiri tapi setelah itu kembali menyakiri dirinya. Perasaannya hancur. Begitu juga dengan jiwanya.
Tapi itu dulu saat masa-masa di awal. Tahun selanjutnya kehidupan Haga mulai menormal berkat kehadiran psikiater muda yang cantik jelita, ramah, dan memiliki senyum indah. Meskipun di awal kedatangannya ia menerima penolakan dari Haga.
Haga dituntun untuk kembali semangat dalam menjalani hidup. Lalu Haga dibawa ikut ke Belanda beserta psikiater yang menanganinya.
Sudah tiga tahun semenjak kecelakaan, Haga secara perlahan mulai memunculkan lagi senyumnya. Mulai menerima kondisi tubuhnya. Mulai mau kembali bersosialisasi. Ah lebih hidup.
"Rose, kamu sangat cantik." Haga mengusak rambut Rose, sang psikiater dengan lembut. Rose tersenyum indah.
"Kamu juga sangat tampan, Haga." Rose tersenyum malu-malu saat mengucapkannya. Haga jadi gemas sendiri.
"Menikahlah denganku, ya?"
Haga menatap penuh harap pada Rose. Haga sangat mencintai Rose. Semua yang ada pada diri Rose begitu memikatnya. Terlebih senyumnya. Ah Haga sangat suka itu, aih tidak. Haga sangat mencintainya.
Iya sangat mencintai Rose.
Rose tersipu malu, "Ha–Haga... umur kita beda jauh loh."
Haga tertawa kecil mendengar ucapan Rose. "Cinta nggak mandang umur 'kan?" tangan Haga terulur mengusap pipi Rose, "aku mencintaimu, Rose. Sangat mencintaimu. Menikahlah denganku, aku berjanji hanya dirimu untuk selamanya yang aku cintai."
Wajah cantik Rose semakin memerah lalu dengan malu-malu ia mengangguk. Saat itu juga Haga memeluknya.
"Aku mencintaimu, Rose!!"
Kabar Haga yang akan menikah dengan Rose sampai di telinga Adam. Adam jelas tidak terima, sesuai kesepakatannya dengan David, Ayah Haga, Haga tidak boleh menikah.
Adam saat itu juga, menyusul ke Belanda.
"Saya tidak terima akan pernikahan ini!" teriak Adam tepat di hadapan sekeluarga itu.
"Maksud, Om apa?!" Haga membentak Adam. Ah Haga juga tidak lagi memanggil Adam dengan sebutan Papah.
Adam mengabaikan Haga, ia menatap tajam Ayah. "Kamu lupa kesepakatan kita?!"
"Masa bodoh dengan kesepakatan itu! Aku tidak peduli, bagiku kebahagiaan Haga terpenting!" Ayah juga menatap Adam dengan tajam.
"Haga tidak akan bahagia!"
"Tahu apa kamu? Kamu bukan Tuhan, Adam!"
"Saya tahu, meskipun saya bukan Tuhan!"
Bugh
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend? [end] [republish]
Jugendliteratur"Mana ada teman tapi mesra-mesraan anjir." "Ada. Tuh buktinya." - 03/10/21 19/12/21 note: 'konten dewasa' untuk kekerasan dan bahasa kasar, mohon untuk tidak ditiru.