BAB : 8

669 76 5
                                    

Sampai di pekarangan rumah, Arka menahan niat Kiara yang hendak turun.

"Ada apa?"

"Maaf," ucapnya singkat.

Kiara menatap kakinya. Kemudian kembali fokus pada Arka sambil tersenyum. "Lihat, kan, udah nggak sakit lagi, kok," ungkapnya.

"Maaf membawamu ke dalam kehidupanku," ungkapnya.

Senyuman Kiara kembali memudar saat teringat seperti apa masalah yang dibuat Arka untuknya. Seperti baru sadar dari pingsan, wajah tak bersahabat ia tunjukkan.

"Sudah malam, lain kali saja penjelasannya. Aku mau istirahat, besok sekolah," balasnya.

Arka mengangguk, kemudian membuka pintu mobil dan turun. Kemudian berlanjut membukakan pintu untuk Kiara.

"Yakin tak apa?" tanya Arka saat Kiara kembali mengenakan hels nya. Padahal ia tahu rasanya pasti masih perih.

"Tak apa."

Mata Kiara mengarah ke sekeliling area halaman rumah hingga garasi mobil seperti mencari sesuatu. Membuat Arka penasaran.

"Mencari apa?"

Menghela napasnya berat saat yang dicari tak ia temukan. "Nggak ada," jawabnya malah menanggalkan hels yang ia pake dan nyeker.

"Kenapa dibuka. Orang tuamu ..."

"Tenang saja, mereka nggak ada di rumah. Pasti udah pergi lagi," timpalnya.

Meneteng hels dan berlalu pergi dari hadapan Arka dengan langkah malas lanjut masuk ke dalam rumah tanpa alas kaki. Ya, hidupnya seakan tak ada semangatnya sama sekali. Apalagi jika menyangkut keluarga, tak ada hangatnya.

Arka memandangi langkah Kiara hingga masuk ke dalam rumah, saat hilang dari pandangannya barulah ia kembali ke dalam mobil.

Kiara lanjut menuju kamar, tapi saat akan menaiki anak tangga bibik memanggil, datang dari arah dapur bergegas menghampirinya. Terlalu sering, hingga ia bisa menebak dengan jelas apa yang akan dikatakan wanita paruh baya itu padanya.

"Non, Tuan sama Nyonya ..."

"Tiba-tiba ada pekerjaan mendadak, hingga mereka terpaksa pergi malam ini juga. Jangan lupa belajar biar bisa berguna buat keluarga dan jangan kabur kaburan malam hari hingga membuat masalah."

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum berat ketika apa yang akan ia katakan seakan sudah terekam jelas di pemikiran majikannya ini.

"Non udah tahu apa yang mau bibik katakan." Menggaruk tengkuknya.

"Terlalu sering, Bik ... hingga aku tahu. Saking seringnya aku berpikir kalau semua kebiasaan itu seperti sebuah makanan wajib yang kalau tak terjadi, aku akan mati."

Setelah mengatakan semua itu Kiara melanjutkan langkah menuju kamar. Biasanya ia tak begini, malah lebih mengabaikan apapun yang terjadi di rumah, tapi kenapa tiba-tiba kali ini mood-nya begitu anjlok hingga terasa begitu menyedihkan. Sepertinya efek badmood bermasalah dengan Arka, membuat pikirannya ikutan buruk.

"Non, mau bibik siapin makanan, nggak?!"

"Aku nggak butuh makan, udah kenyang menerima kabar barusan." balasnya saat menaiki anak tangga menuju lantai atas.

Sampai di kamar ia lempar hels di tangannya sembarangan, kemudian lanjut menghempaskan badannya di kasur dengan blezer milik Arka yang masih ia kenakan.

Benar benar keluarga yang sempurna sekali, bahkan dirinya kosong akan perhatian dan pertanyaan seputar kehidupannya sehari hari. Tapi saat ia ada masalah, langsung saja menyalahkan dirinya tanpa bertanya alasan. Seolah mereka hanya fokus pada masalahnya saja, tapi tidak dengan apa yang dirasakannya.

Pencuri Ciuman Itu JodohkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang