BAB : 19

442 55 0
                                    


Menatap wajah manis itu di kala tidur, seolah jadi candu tersendiri bagi Arka. Bahkan dari satu jam yang lalu, kerjaannya hanya memandangi Kiara yang sedang tidur dalam pelukannya. Tentu dia tak sadar dengan posisi ini. Bisa ketebak, kan, kalau saat dia menyadari ini? Auto heboh.

Matanya memang mengantuk, apalagi setelah minum obat tadi dan kepalanya masih pusing, hanya saja ia tak bisa menyia-nyiakan saat seperti ini. Lihatlah, bahkan waktu saja masih menunjukkan pukul 11 malam.

Sesuatu yang tak pernah disangka, bukan ... ketika dirinya benar-benar jatuh cinta dan menggilai gadis ini hanya karena ciuman tak terencana. Tapi sungguh, ia jujur akan hati dan perasaannya. Seolah-olah ciuman itu memiliki pengikat kuat antara dirinya dan Kiara. Tak apa jika dia masih memberikan sikap dingin dan cuek, tapi ia suka ketika dirinya sakit, Kia memberikan perhatian.

"Aku tahu kamu memang nggak menyukaiku, tapi aku sungguh-sungguh dengan perasaanku ke kamu. Meskipun kamu bilang kesal atau benci sekalipun, tetap saja rasaku tak akan berubah. Terlalu cepat memang, tapi itulah yang ku alami. Bagaimanapun caranya, kamu harus jadi milikku," ujar Arka dengan jarinya yang bermain di wajah tidur Kiara.

Perlahan ia mencium bibir Kiara dengan lembut ... hingga apa yang ia lakukan tak diketahui oleh si pemilik objek yang ia cium. Kalau tidak, pastilah dia akan kembali mengomelinya.

Salah besar, ternyata Kiara melakukan pergerakan saat merasa ada yang mengganggu tidurnya. Matanya perlahan terbuka, kemudian langsung memasang wajah kaget saat mendapati Arka yang ada dihadapannya. Bukan, lebih tepatnya kali ini justru ia berada dalam pelukan Arka.

"Apa yang kamu lakukan?!" hebohnya langsung berniat melepaskan diri, namun tak berhasil karena Arka menahannya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Arka pada Kiara yang masih ia tahan dalam dekapannya.

"P-perasaan apa?" tanya Kiara mengalihkan pandangannya dari Arka. Ada yang tak beres dengan cowok ini.

"Apakah mantanmu masih berada dalam pikiranmu?" tanya Arka.

Menghela napasnya dengan berat saat mendapatkan pertanyaan itu.

"Arka, sudah ku bilang kan ... aku baik-baik saja. Dan masalah dengan Julian, bahkan aku nggak mengingatnya lagi. Udah deh, jangan berpikir kalau aku ini masih gagal move on dari dia." lagi-lagi mencoba lepas, tapi tak berhasil.

"Bisakah mulai memberikan hatimu padaku?"

"Jangan membahas hal yang aneh-aneh lagi," decak Kiara.

Kiara langsung menyingkirkan lengan Arka yang membelitnya seperti seekor ular. Kemudian duduk dan menguncir rambut dengan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Aku sudah membuktikan perasaanku padamu, apakah itu belum cukup?"

"Bukti yang mana?" tanya Kiara balik. "Jangan berpikir karena kamu mengambil ciuman dariku seperti maling, membuktikan kalau aku ini milikmu. Nggak semudah itu, Bapak Arka."

"Jangan lupa kalau kamu menikmatinya juga," balas Arka tak mau kalah.

Berasa ditabok oleh kata-katanya sendiri. Tak bisa dipungkiri kalau apa yang dikatakan Arka memang benar. Tapi kan ia juga sempat menolak, meskipun pada akhirnya pertahanannya runtuh.

"Mungkin itu kesalahan terbesar," respon Kiara mengelak. "Seperti yang kamu katakan dan pesan padaku, mencari pasangan jangan hanya berpatokan pada hati, tapi juga harus mencari kenyamanan dan keamanan. Begitu, kan."

Arka memijit pelipisnya yang masih nyeri. Hanya saja permasalahan dengan Kiara seakan ingin ia selesaikan saat ini juga. Bangun dari posisi tidurnya dan duduk berhadap-hadapan dengan gadis itu.

"Tidur saja, jangan bangun. Masih pusing, kan," ingatkan Kiara, tapi Arka seakan tak perduli. Padahal terlihat masih sangat jelas di wajahnya yang lemas.

Arka menatap fokus pada Kiara . Pandangan serius yang terpampang di wajahnya, seakan menunjukkan kalau saat ini ia sedang serius akan semua yang ia katakan.

"Aku menyukaimu," ungkap Arka.

"Atas dasar?" tanya Kiara langsung. Kemudian tawanya menyeringai. "Pasti karena ciuman," tebaknya langsung.

"Semuanya," jawab Arka. "Pertama, aku memang tak berpikiran sampai menyukaimu ... karena di awal bertemu, aku hanya menjadikamu objek pelarian dari wanita itu."

"Sudah ku tebak," respon Kiara pelan dan mengalihkan pandangannya dari Arka. Ada rasa tak suka saat mendengar alasan itu. Tapi kenyatananya justru memang begitu. Lagian, siapa juga yang suka dijadikan pelampiasan. Apalagi berbentuk ciuman.

"Tapi lama-kelamaan aku merasa nyaman di dekatmu. Ya, meskipun harus mendengar omelan dan ocehanmu ... rasanya seperti dihadapkan pada sebuah kebiasaan baru. Biasanya sepi, tiba-tiba ada mainan baru, mungkin seperti itulah rasanya."

Kiara menolah dan menatap Arka tajam.

"Kamu pikir aku mainan?"

Arka mengangguk. "Mainan dan akulah yang boleh memilikimu."

Ingin rasanya menyumpal mulut Arka dengan bantal. Keterlaluan, bukan ... malah menganggap dirinya mainan. Lalu, setelah puas dibuang begitu saja. Begitukah?

"Aku pernah bilang, sebuah hubungan itu bukan hanya mengandalkan hati, tapi juga kenyamanan dan keamanan. Oke, kuanggap untuk hati kamu memang belum ... bahkan tak pernah berpikir untuk memberikannya padaku. Tapi untuk rasa nyaman dan keamanan, ku yakini kamu pasti sudah merasakannya, kan."

Sepertinya kedoknya sudah terbongkar saat mendengar penjelasan Arka.

"Jangan mengada-ada. Salah besar jika kamu pikir aku nyaman bersamamu. Justru sebaliknya. Kamu selalu saja membawaku ke dalam sebuah masalah." Masih mencari bahan untuk berkilah. 

Lagi-lagi Arka terkekeh mendengar pengakuan Kiara. Ia tahu jika semua yang dikatakan gadis itu hanya menepis rasa yang sebenarnya. 

Menangkup wajah Kiara agar fokus menatapnya. "Kalau kamu nggak merasa aman denganku, mana mungkin kamu di sini bersamaku. Pikir saja, jika seorang laki-laki dan perempuan berada dalam satu kamar, jika nggak merasa aman pastilah akan menolak. Tapi kamu tidak, malah seolah percaya begitu saja padaku. Atas dasar apa kamu percaya kalau bukan merasa aman? Dan sekarang aku berharap berikan hatimu padaku."

Dengan cepat Kiara menyingkirkan tangan Arka yang berada di pipinya, tapi bukannya menghindar Arka justru menariknya semakin mendekat.

Seakan paham apa yang akan dilakukan Arka, Kiara memperingatkan. "Jangan melakukannya lagi padaku dan jangan menganggapku sebagai mainanmu."

Arka terhenti.

"Berharap ku berikan hatiku padamu, kan? Jadi, jangan membuatku terpaksa memberikannya, Arka. Awalnya aku merasa aman, tapi jika sikap kamu terus begini, pandanganku padamu juga bisa berubah."

Arka terdiam, seolah mencerna setiap perkataan dan peringatan yang diucapkan Kiara padanya. Bahkan saat dia melepaskan diri darinya, ia lepaskan begitu saja.

Kiara beranjak dari posisi duduknya, menyambar tas nya yang ada di meja. Berniat langsung pergi, tapi seketika ia kembali menatap Arka dengan serius.

"Iya, kamu benar. Aku merasa nyaman dan aman bersamamu. Hanya saja untuk masalah hati, aku belum bisa berikan. Kamu tahu ... butuh waktu untuk melupakan, begitupun memulai. Untuk sekarang, jaga saja kenyamanan dan keamananku jika bersamamu, sisanya tergantung bagaimana prosesnya berjalan."

Mengusap wajah Arka dengan lembut. "Aku pulang," pamitnya.

Ia tahu kalau Kiara hanyalah gadis SMA yang bahkan perasaan saja masih labil. Tapi saat mendengar apa yang dia katakan sebelum pergi, membuat jiwanya tertampar. Apakah caranya selama ini salah? Apakah dia benar-benar tersakiti dengan caranya mendekati? Menganggap apa yang dikatakan Kiara barusan hanyalah kata-kata tak berbobot, tapi kenapa ia justru takut akan kehilangan? Kehilangan karena sikapnya selama mengenal justru tak seperti apa yang dia harapkan.

Pencuri Ciuman Itu JodohkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang