BAB : 27

49 1 0
                                    

Kiara berjalan gontai menuju kamar, Rasanya benar-benar capek dan mengantuk, tapi langkahnya terhenti saat Vivi memanggilnya. Dengan malas ia berbalik badan dan menghampiri mamanya itu.

"Aku capek, Ma ... mau istirahat. Kalau ada yang penting, nanti saja kita bicarakan. Atau, kalau mama sama Papa nggak ada waktu buat bicara dan lagi banyak kerjaan, seperti biasa saja ... bisa titip pesan sama bibik," jelasnya.

Kembali berbalik badan dan lanjut menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

Sampai di kamar, langsung ia rebahkan badannya di tempat tidur. Memejamkan kedua matanya yang benar-benar lelah dan berat untuk melek. Sepertinya ia diberi obat tidur oleh dokter tadi di rumah sakit, hingga rasanya benar benar mengantuk.

Tapi seketika kembali melek dan bergegas bangun dan lari menuju kamar mandi. Ya, ia melupakan sesuatu.

Sebenarnya ia bukan sakit atau apa, hingga membuatnya semalam sampai pingsan setelah donor darah. Lebih tepatnya ia sedang kedatangan tamu bulanan, tapi malah memaksa untuk donor darah. Hingga akhirnya ia seakan benar benar merasa lemah karena kekurangan darah.

Selesai membersihkan diri, barulah ia kembali menuju tempat tidur. Bersiap untuk tidur nyenyak untuk beberapa waktu ke depan.

---000---

Arka sedang menelepon dengan seseorang, kemudian menutup pembicaraan itu saat kedua orang tuanya masuk dan menghampirinya.

"Gimana, apakah masih sakit?" tanya Dinar pada putranya.

"Enggak, Ma ... hanya sedikit nyeri."

"Ar, apakah Kiara adalah gadis yang di maksud Bibik?"

Terlihat raut bingung tergurat di wajah Arka saat mendapatkan pertanyaan dari mamanya. Jujur saja, ia tak paham. Siapa yang di maksud Bibik?

"Maksud mama?"

"Maaf, Sayang ... beberapa waktu terakhir Mama sama Papa beberapa kali mendapatkan kabar dari Bibik tentang kamu. Termasuk akhir akhir ini tentang hubungan kamu dan juga Kiara. Jujur sama kami, apa benar kamu dan Kiara memiliki hubungan khusus. Dan lagi, orang tua Kia juga mengatakan hal yang sama perihal itu."

Arka tersenyum, kemudian meletakkan ponselnya di nakas.

"Jadi, Mama sama Papa mau aku memberikan penjelasan yang mana dulu?"

"Tentu saja semuanya, Arka," timpal Wira.

Arka memasang wajah serius, saat penjelasan yang akan ia berikan memang lah seserius itu. Jujur saja, ia tak ingin jika apa yang ia ungkapkan dan katakan pada kedua orang tuanya, masih saja dianggap main main.

"Apa yang Bibik lihat dan kabarkan pada kalian, semuanya benar. Karena memang, akhir akhir ini aku bersama Kiara."

"Hanya itu?" tanya Dinar berharap yang lebih.

"Aku dan dia punya hubungan khusus."

Dinar sedikit tertegun, kemudian mengarahkan pandangannya pada sang suami. Tapi seketika kembali fokus pada Arka.

"Arka, Mama setuju ... bahkan sangat setuju. Hanya saja, Mama nggak mau jika hubungan yang kamu buat dengan Kiara hanyalah main main. Kamu sudah dewasa, jangan membuat kami merasa ..."

"Ma." Menggenggam tangan wanita yang melahirkannya ke dunia itu. "Aku tahu, Mama pasti takut aku mempermainkan Kiara dengan hubungan ini. Tapi khusus untuk dia, aku serius."

"Siap tanpa wanita yang sering huru hara di kehidupanmu selain Kiara?"

Arka menyandarkan punggungnya dengan malas saat mendengar perkataan papanya. Sungguh, mendengar perkataan perkataan seperti itu ia berasa jadi seorang playboy kelas kakap.

Pencuri Ciuman Itu JodohkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang