BAB : 16

410 47 0
                                    


Iya, seperti kata supir pada Kiara kalau Arka berada di rumah. Hanya saja saat ini ia merasa tak baik-baik saja. Seperti sebuah batu bata yang dilemparkan ke kepalanya. Rasanya begitu sakit.

Tadinya masih berusaha kuat, hingga sempat ke kantor untuk mengurus pekerjaan. Hanya saja tak menyangka jika badannya tak bisa diajak sinkron dengan apa yang ia inginkan hingga akhirnya ambruk juga.

Duduk di ruang keluarga sendirian. Bukan, lebih tepatnya ia rebahan di sofa. Sebuah laptop dan beberapa map juga berada di meja, berharap kondisinya sedikit membaik hingga pekerjaan bisa dilanjutkan. Hanya saja sepertinya kali ini benar-benar tak bisa.

"Den, mending sekarang pindah ke kamar," ujar Bik Imah yang merupakan asisten rumah tangga.

"Ntar dulu, Bik ... aku lagi pusing banget ini," balasnya dengan mata terpejam dan tangan yang sibuk memijit pelipisnya yang nyeri hingga membuat matanya saja seakan copot.

"Aden, sih ... pake acara hujan-hujanan segala. Kalau Tuan sama Nyonya tahu ..."

"Awas saja kalau Bibik kasih tahu," ancamnya langsung.

"Hmm ... atau, Bibik kabari Non Selia aja, Den?"

"Bik, jangan bikin mood ku makin anjlok deh," kesalnya.

Wanita paruh baya itu terkekeh geli melihat respon Arka yang anti banget kalau sudah membahas Selia. Ya, wanita bernama Selia yang dengan gilanya menyambut Arka dengan acara pertunangan yang dia buat sendiri. Bahkan bukan sekali dua kali wanita itu membuat masalah untuknya, hingga dirinya merasa ada yang salah dengan otak dia.

"Trus, Den Arka mau apa?"

"Nggak mau apa-apa. Aku cuman butuh istirahat dan ... bibik ke dapur aja. Masak kek, beresin apa gitu. Jangan pedulikan aku."

Seperti yang diminta sang majikan, ia hanya bisa menuruti saja. Ya, daripada kena omel. Meskipun ada rasa khawatir, karena terlihat sekali kalau Arka benar-benar sedang tak sehat.

Hingga sore menjelang, Arka masih berada di sofa. Tak beranjak, bahkan dari pagi saja dia belum makan apa-apa. Jarang sekali sakit, tapi saat sudah terkena hujan dia akan langsung ambruk. Makanya, mencoba agar menghindari yang namanya hujan.

Ponselnya yang ada di meja berdering, saking lemasnya ia tak begitu perduli dengan panggilan telepon. Sampai-sampai bibik dengan langkah yang tergesa gesa dari lantai bawah, menghampiri Arka yang posisi dia ada di atas.

"Aden mau jawab panggilan telepon, ya?"

"Biarin aja," balasnya tak perduli.

"Siapa tahu penting, Den."

Akhirnya ia menengadahkan telapak tangannya ke arah Bibik, pertanda meminta ambilkan ponselnya.

Bibik segera menyambar benda pipih yang ada di meja, menyodorkan ke arah Arka.

"Calon istri," gumam Bibik membaca nama yang tertera di layar ponsel milik Arka sebelum benda itu sampai ke tangan si pemiliknya.

Mendengar gumaman Bibik, seketika Arka langsung gercep memastikan.

"Calon istri siapa, Den?" tanya Bibik penasaran.

"Bibik ke bawah aja, aku mau nelpon."

"Baik, Den."

Biasanya yang menghubungi majikannya adalah Selia, meskipun tak pernah direspon sekalipun wanita itu pasti menggunakan segala cara untuk bertemu atau menelepon. Tapi barusan matanya tak salah lihat, kan? Di kontak yang menghubungi tertera nama 'calon istri'. Sepertinya nggak mungkin juga kalau si penelepon adalah Selia. 

Pencuri Ciuman Itu JodohkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang