BAB : 3

955 103 19
                                    

Jadilah, dari awal Arka masuk kelas, itu jadi waktu yang benar-benar membuat hati Kiara seakan meledak-ledak layaknya petasan di malam tahun baru. Apalagi di sela-sela pelajaran dia malah sering melempar pandang dan senyuman ke arahnya. Maksudnya apaan coba? Sedang meledeknya? Atau, berniat menertawakannya?

Dari jam 7 pagi hingga jam 10, rasanya itu seperti dihadapkan pada moment di mana di depanmu ada orang yang menyebalkan. Mau melempar pake sepatu, tapi status dia yang ternyata adalah guru jadi penghalang. Bisa mampus ia kalau melakukan hal itu.

"Oke ... ini pertemuan pertama dengan saya dan lumayan, kelas ini menyenangkan," pujinya menebar senyuman.

"Pak, bisa nggak semua mata pelajaran Bapak yang ambil alih?" tanya Iren dengan efek senyuman penuh pesona.

"Jadi semangat kalau Bapak yang ngajar," tambahnya lagi.

"Semangat belajar atau semangat tebar pesona?" tanya Kiara menimpali.
Iren memandang kesal ke arahnya.

"Apa, sih ... nggak suka banget liat orang senang. Lagian, kalau Pak Arka mau, kenapa enggak. Napa juga elo yang sewot."

Arka mengetukkan spidol di meja, membuat fokus semua kembali padanya. "Sepertinya cukup untuk satu mata pelajaran. Lagian, nggak semuanya senang saat saya mengajar di kelas ini," ujar Arka dengan sedikit lirikan ke arah Kiara.

Kiara menatap horor ke arah Arka. Rasanya pengin ia tonjok itu cowok yang sepertinya sedang membuatnya semakin tersudut.

"Saudari Kiara, kamu punya masalah saya? Atau, memang sengaja bikin masalah dengan saya, ya?"

"Apaan, sih ... saya nggak sekurang kerjaan itu banget, yang sampai-sampai nyari masalah," balasnya masih dengan tampang sewot. "Harus diingat, siapa yang pertama kali bikin masalah."

Arka tak bicara lagi. Ia membereskan bukunya yang ada di meja, bertepatan dengan suara bel pertanda jam istirahat berbunyi. Setelah itu beranjak dari kursinya dan melangkah menuju ke arah meja Kiara. Tentu saja, sikapnya itu membuat para siswi jadi penasaran. Penasaran apa yang akan dilakukannya.

"Masalah kita perlu dilanjutkan kah?"

"Bukan dilanjutkan, tapi diselesaikan," komentar Kiara dengan wajah masih cemberut.

"Jadi, mau kamu apa?"

Kiara tak menjawab, sebenarnya ia sedang memutar otak, sih. Pertanggung jawaban macam apa yang akan ia minta?

"Maksudnya apa, Pak? Ada masalah apa antara Bapak sama Kiara?" tanya Vania malah semakin penasaran. Bahkan yang lain pun juga ikut penasaran.

Arka tak mejawab pertanyaan Vania, justru malah lebih mengabaikan. Ia hanya berfokus pada Kiara yang ada dihadapannya dengan mimik wajah yang masih memperlihatkan rasa kesal padanya. Oke ... ia akui sikapnya kemarin memang salah. Hanya saja, sepertinya bermasalah dengan gadis ini lumayan menyenangkan.

Arka melirik waktu di jam tangannya, kemudian kembali beralih pada Kiara. "Ikut ke ruangan saya, sekarang!" tegasnya.

"Apa?!"

Arka tak membalas lagi, ia malah berlalu pergi begitu saja dengan meninggalkan efek kaget untuk Kiara dan lainnya.

"Serius, di hari pertemuan pertama lo udah kena blacklist dari pemikirannya Pak Arka, Kia. Gue sebagai sahabat terbaik, hanya bisa mendo'a kan agar lo selamat," komentar Ellina.

"Semoga nggak ada hal buruk yang bakalan lo hadapin, Beb," tambah Nada.

Ada ada saja, kan, kedua sahabatnya. Dikira dirinya mau diapain coba sama Arka, sampai harus bersikap seperti dirinya mau mati saja.

Vania beranjak dari kursinya dan berdiri dihadapan Kiara sambil bersidekap dada.

"Masalah lo apa, sih, sama Pak Arka!? Sengaja, ya ... biar bisa ketemuan terus sama dia? Ganjen banget, sih, jadi cewek. Nggak cukup, lo rebut Julian dari gue?!"

Dan, Iren juga ikut menghampirinya. "Kebiasaan banget sih, lo ... sok kecakepan!"

Kiara tersenyum miris, kemudian berdiri dihadapan Vania dan Iren seolah menantang. Berani beraninya berpikir kalau ia dengan sengaja dekat dengan Arka.

"Kalian berdua nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikutan komentar. Ini masalah gue!"

Dengan langkah kesal ia keluar dari kelas, meninggalkan tanda tanya di ruang kelas. Bagaimana tidak, sikapnya yang seolah sangat tak menyukai Arka, jadi sesuatu yang bikin penasaran. Ditambah lagi dengan sikap Arka yang justru seakan membuat semua orang makin penasaran.

Sebenarnya ia malas sekali, tapi lagi-lagi status Arka yang adalah gurunya, mau tidak mau membuatnya harus patuh. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalau ada kesempatan akan ia tampar wajah itu sekali lagi. Entahlah, mungkin akan berpikir lagi jika mau melakukan itu. Bisa di DO dirinya dari sekolah.

Kesal, bahkan ia memasuki ruangan itu tanpa mengetuk pintu. Sampai di dalam, ia dapati si pemilik ruangan sudah duduk santai di kursinya. Tak berniat untuk duduk, apalagi basa basi nggak penting.

Arka beranjak dari kursinya, melangkah mendekati Kiara dan berdiri di belakang gadis itu.

"Enggak nyangka, ya ... ternyata kamu murid di sini. Kerennya lagi sekarang aku ini gurumu. Apa waktu dan keadaan memang sedang membuat kita semakin dekat?"

Kiara tersenyum miris, kemudian berbalik badan dan berhadapan dengan sosok Arka.

"Apa ... semakin dekat?" Ia terkekeh. Kemudian dalam waktu sekejap, tawanya terhenti dan berubah kesal. "Iya, semakin dekat untukku balas dendam. Dasar! Cowok mesum!"

Arka tersenyum. Di saat yang bersamaan, dengan cepat ia menarik lengan Kiara ... membuat gadis itu tertarik dan mendarat di pelukannya.

"Lepasin!" teriaknya heboh atas sikap Arka, tapi pegangan cowok itu benar-benar membuatnya tak bisa lepas.

Astaga! Ini benar-benar situasi yang membuatnya seolah sedang berada dicengkeraman seekor macan yang sedang puber. Bagaimana bisa Arka bersikap seperti ini dengan status guru yang dia sandang. Kalau ada yang melihat adegan begini, masalah besar sedang menghampiri.

"Mesum, maksudmu yang seperti inikah? Atau ... menginginkan ciuman lagi?"

Mata Kiara melotot mendengar perkataan Kiara. "Lepasin aku. Kalau enggak, aku bakalan teriak," ancamnya masih berusaha lepas.

"Teriak aja. Jadi, kita bisa ciptakan masalah sama-sama," balas Arka.

Kiara berusaha menghindari tatapan Arka, tapi tetap saja dia seolah memang sengaja membuat dirinya mati kutu.

"Jadi, bagaimana? Kamu maunya aku mempertanggung jawabkan sebuah ciuman itukah?"

Kiara langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan saat mendengar penuturan Arka. Bukan apa-apa, hanya mencoba mencari situasi yang aman bagi bibirnya.

"Kenapa? Berpikir kalau aku akan mengulanginya, ya?"

Kiara menggeleng cepat. Kemudian menyingkirkan tangan yang menutupi mulutnya. Tapi, saat itu terjadi, justru dengan cepat Arka malah kembali mencium bibirnya. Kebayang betapa kagetnya ia saat hal yang membuatnya merasa kesal pada Arka dan kini terulang kembali?

Berusaha melepaskan ciuman itu dan mendorong Arka agar menjauh darinya, tapi semua gagal karena kedua tangan kekar melingkar erat di pinggangnya.

Seketika berharap diri ini adalah ironmen dengan kekuatan besar dan menghantam sosok Arka.

Setelah puas mempermainkannya, barulah Devan melepaskan Kiara dari cengkeramannya. Lagi, tamparan itu kembali ia dapatkan. Rasanya bukan sakit, tapi ini seperti membuat harinya berwarna dari sebelumnya.

"Kenapa, sih, melakukan lagi padaku?! Salahku apa? Aku bukan gadis pemuas nafsu hingga dengan seenaknya bersikap begitu padaku!"

Kali ini bukan hanya marah, tapi ia sampai menangis atas sikap yang diterimanya dari Arka. Bukan lagi kesal, tapi lebih ke rasa sedih. Seolah-olah ia adalah gadis bebas dan bebas diperlakukan seenaknya.




Yuhuuu .... aku update lagi.
Jangan lupa like n komentarnya nya ...
🥰🥰🥰

Pencuri Ciuman Itu JodohkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang