Chapter 2

1.1K 115 51
                                    

Gadis baru itu duduk tak jauh darinya, matanya sesekali melirik ke tempatnya duduk. Tresha hanya menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak peduli. Fokusnya penuh pada sketsa pakaian milik ibunya yang tidak bisa ia selesaikan sejak malam kemarin. Sesekali ia mendongakkan kepalanya mencoba menangkap tatapan gadis itu. Jujur saja, diperhatikan seperti ini membuatnya merasa risih.

Ia mengangkat kepalanya terang-terangan ketika gadis itu nampaknya memperhatikannya pada waktu yang lama. Perkiraannya salah, sejak awal gadis itu tidak pernah memperhatikannya. Alih-alih, perhatiannya penuh pada pria yang duduk di belakangnya. Matanya menatap malu-malu seolah tindakannya sendiri tidak memalukan.

"Raven." Panggilnya ke arah pria yang duduk di bangku belakang. Kemungkinan besar pria itu juga tidak menyadari si anak baru yang sibuk menatap mereka. Bukannya terjawab, panggilannya justru diacuhkan oleh pria itu. Tresha menggeram dan menolehkan kepalanya ke arah belakang. Kemungkinan pria itu kembali tertidur.

Tatapannya terpaku ketika melihat pria yang semula ia kira tertidur itu duduk dengan tegap di bangkunya. Matanya menatap ke arah si gadis baru yang kini mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Sebuah senyum muncul di bibir pria itu sebelum akhirnya ia melirik ke arah Tresha yang kini hanya terdiam bingung.

Ia sudah mengenal sahabatnya itu sejak kecil, tidak pernah sekalipun ia melihat Draven seolah tertarik seperti itu. Ditambah lagi mereka belum mengenal gadis itu sama sekali. Bulu kuduknya meremang tak nyaman. Entah apa alasannya, ia tidak suka melihat sahabatnya melirik di anak baru.

"Tres?" Draven menatapnya penuh tanya. "Kenapa?"

"Bukan apa-apa." Dustanya.

Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya menatap ke arah papan tulis. Guru masih belum datang sehingga ia hanya bisa menatap kosong ke depan. Hilang sudah niatnya menggambar sketsa baju. Ia hanya duduk dengan tegap mengabaikan kawan sebangkunya yang kini ikut menatapnya bingung.

Tepukan di pundaknya membuatnya berjengit. Jika tidak ingat Draven duduk di belakangnya, mungkin ia sudah melompat. Tak lama tepukan itu melembut dan berubah menjadi elusan yang membuat jantungnya yang semula berdegup kini terasa lebih baik. Ia menghela nafasnya lega, memang hanya pria itu yang bisa membuatnya merasa seperti ini.

.

.

.

.

.

.

Tubuhnya mati rasa pagi ini. Dengan mata yang masih membengkak, ia membuka pintu butiknya. Ia sudah mencoba segala macam cara untuk menyembunyikan bengkak namun nihil. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah dengan harapan tidak ada yang menyadari. Ingin rasanya ia bolos hari ini, namun tentu saja tidak bisa.

"Tres!" Wanita itu menoleh bingung mendengar suara sahabatnya di butik. Seharusnya mereka tidak akan datang hingga sebelum makan siang.

"Kalian kenapa disini?" Tanyanya sembari menaruh tas tangan berwarna kecoklatan miliknya di atas meja kerjanya. "Bagaimana brunch-nya?"

Kedua perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum dan mengambil tempat mereka di sofa ruangan kerjanya. Tidak aneh memang jika keduanya memutuskan untuk tidak datang. Tujuan utama pertemuan mereka senin ini adalah untuk menyambut Draven yang baru saja kembali ke kota. Tresha saja harus memutar otaknya untuk mencari alasan kabur.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang