Chapter 20

546 28 0
                                    

Tak peduli bahwa saat ini kepalanya terasa bagai dipenuhi jutaan permen gulali, Tresha akan selalu mengenal kamarnya sendiri. Ia ingat aromanya yang selalu berhasil membuat penatnya hilang setelah seharian bekerja.

"Drav?" Panggilnya.

Ia melirik ke arah pria yang nampaknya tertidur di sebelah ranjangnya. Ia tidak akan pernah melupakan rambut hitam kelam milik sahabatnya yang kadang sulit diatur tak peduli bahwa Draven selalu berusaha merapikannya dengan berbagai produk.

Sang empunya nama melirik ke arahnya dengan tatapan setengah mengantuk, Tresha mencoba melirik ke arah jam yang kini menunjukkan pukul 3 pagi. Dia pasti sudah tertidur lama sekali.

"Kamu sudah bangun?" Tanyanya dengan suara serak.

"Sudah." Angguknya.

Draven mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakasnya dan membiarkan Tresha menenggak butiran air itu satu demi satu. Pria itu mengelus lengannya yang terkulai lemas di kasur.

"Tadi aku antar kamu kesini lalu Bibi yang menggantikan pakaian untukmu." Ia menjelaskan kondisi Tresha yang kini sudah nyaman dengan gaun tidur berwarna merah muda.

"Begitu." Gumamnya.

Ia juga tahu Draven bukan pria kurang ajar yang akan melepas pakaian seorang wanita tanpa persetujuannya. Ditambah lagi dengan kehadiran Bibi di rumahnya, atau bahkan Mama yang tinggal di sebelah.

"Aku telepon Papi semalam, besok Papi akan datang dengan pesawat paling pagi." Draven kembali menjelaskan, "Aku sudah melapor ke polisi saat kamu tidur tadi, besok mungkin mereka akan meminta keterangan."

Tresha kembali mengangguk, tanpa bantuan Draven pun ia tidak akan membiarkan lelaki brengsek kurang ajar yang sudah menaruh obat di dalam minumannya menghirup udara bebas. Ia tidak peduli jika harus mengejarnya ke ujung dunia, Tresha akan mencekik Gideon dengan kedua tangannya jika polisi menolak mengurus laporannya.

"Tadi Rue datang tapi sudah pulang, besok pagi dia akan datang lagi." Draven kembali menjelaskan dan hanya dihadiahi anggukan oleh Tresha. Ia membuat catatan mental untuk mengerjai sahabatnya yang tidak datang disaat ia butuh.

"Kamu tidak pergi?" Tanya Tresha akhirnya.

"Aku berencana menginap di bawah, kamu tidak masalah kan?" Draven menatapnya lamat-lamat seolah berharap Tresha akan kembali mengangguk mengiyakan. Harapannya pupus ketika sahabat sejak kecilnya itu menggelengkan kepalanya.

Tresha tidak masalah jika Draven ingin menginap di bawah atau bahkan di kamarnya. Ia bahkan bisa meminta Bibi menyiapkan kamar tamu jika memang dibutuhkan. Namun ia juga tahu lelaki di hadapannya bukan lagi pria lajang yang bisa menghabiskan seluruh waktu untuk dirinya.

"Bagaimana jawaban Sol?"

Seolah disiram air dingin, air wajah Draven berubah. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab, "Sol juga ingin menikah denganku."

Bukan kebahagiaan atau bahkan emosi senang menggebu yang ia bayangkan akan dimiliki oleh pria yang diterima oleh lamarannya. Jika Tresha bisa mendefinisikan, mungkin saat ini Draven nampak bingung.

"All the more reason kamu gak bisa menginap disini." Tresha menjawabnya dengan nada final, "Aku tidak mau Sol tiba-tiba datang marah-marah lagi seperti waktu itu."

"Aku sudah bilang aku menginap di rumah Mama malam ini."

"Bukan disini, kan?" Tresha melawan telak jawaban Draven, "Kepalaku pusing sekali hari ini, aku tidak mau kalau sampai besok pagi ada masalah lagi."

....

Words played with my head
I tried to ignore it
But the message remains clear
It's time to let you go

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang