Chapter 4

757 99 89
                                    

Tidak pernah ada yang mengatakan kepada Sol betapa anehnya pulang ke tempat yang sama sekali asing baginya. Ketika dulu dia tinggal di rumah bibinya, perasaannya tidak berantakan seperti saat ini. Tembok putih itu terasa terlalu bersih baginya dan rumah ini terlalu hangat untuknya.

Sejak kecil, Draven diurus oleh ibunya tanpa pernah terbagi perhatiannya. Terkadang Sol bertanya-tanya apakah ia juga mengharapkan hal yang sama dari seorang wanita. Jika dulu ia bisa mengabaikan perasaan yang kini bermain dengan hatinya, kali ini pertanyaan itu terasa menggema semakin keras di kepalanya.

Suara tawa dua orang perempuan dari dapur membuatnya jantungnya berdegup lebih keras. Bahkan setelah bertahun-tahun, ia kenal betul alunan tawa yang sering membuatnya cemburu. Begitu elegan namun sarat akan kebahagiaan, ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya bisa tertawa seperti itu.

Matanya menangkap siluet Draven yang kini sibuk di depan laptopnya di ruang keluarga. Sebelah tangannya memeluk bantal sementara yang lain sibuk menekan touchpad miliknya. Nampaknya pria itu sedang mencari sesuatu.

"Drav." Panggilnya.

Senyuman pria itu merekah ketika mendengar suaranya, ia menepuk tempat kosong di sofa memintanya duduk di sebelah. Dengan cepat ia duduk, tangannya merangkul lengan pria itu sementara kepalanya bersandar di bahunya.

"Akhirnya aku tetap ambil apartemen yang kosong." Pria itu bercerita dengan antusias. Dengan tangannya yang kosong ia menunjukkan di laptopnya. "Lihat, tempatnya akan lebih baik dibanding yang sudah furnished."

Sol terdiam, kalau boleh jujur ia lebih memilih tempat yang sudah selesai agar mereka bisa pindah secepatnya. Ia tidak tahan berada di rumah ini, ditambah lagi harus bertetangga dengan perempuan yang nampaknya saat ini sedang berada di dapur.

"Memang akan sedikit lebih lama, namun aku ingin tempat yang nyaman untuk kita berdua. Tadi aku melihatnya bersama Tresha, dia juga setuju akan lebih jika aku yang membuat desainnya sendiri."

Kali ini ia sedikit menjauhkan dirinya dari pria itu. Mendengar namanya saja sudah membuat Sol kesal, ditambah lagi Draven menyebutkan ia pergi dengan Tresha. Bahwa perempuan itu juga yang memilih tempat yang akan menjadi tempat tinggal mereka.

Sol tidak pernah punya sentimen mengenai tempat tinggal, tapi mendengarnya membuat amarahnya naik. Harusnya ia yang ada di posisi itu.

"Memangnya yang satu lagi kenapa?" Ia berusaha menormalkan suaranya meski perasaan tidak suka kini membuncah.

"Sebenarnya tidak ada masalah yang berarti, hanya tidak cocok saja."

"Drav." Suaranya terdengar sedikit memohon. Memang ia memohon pria itu menggunakan akal sehatnya sedikit. "Kalau kita beli yang satu lagi, kita bisa pindah lebih cepat."

Mendengar ucapan Sol, pria itu terpaku. Tujuan utama mereka untuk pindah memang karena Sol tidak suka tinggal di rumah keluarganya. Itu bukan berarti mereka bisa asal memilih tempat agar mereka bisa pindah. Draven itu seorang arsitek, ia ingin tinggal di tempat yang bisa membuatnya nyaman.

"Tidak akan lama, Sol. Pembangunannya hanya sedikit." Ia berusaha menjelaskan, tangannya menunjuk ke arah layar laptopnya berusaha menjelaskan. Alih-alih berusaha mendengarkan Sol hanya menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dan memejamkan matanya.

"Sebulan, paling lama dua bulan. Tidak masalah, kan?"

Sol tidak perlu repot-repot menjawab, ia hanya kembali memejamkan matanya. Satu bulan itu waktu yang cukup lama, satu hari di rumah ini saja sudah cukup membuat perasaannya campur aduk. Kenyataannya ia memang tidak akan bisa merubah pendapat Draven.

"Terserahmu saja." Ia akhirnya menyerah.

Lengan pria itu kembali merangkulnya dalam pelukan, berusaha membuat gadis itu kembali memusatkan perhatiannya pada layar. Ia yakin betul jika Sol mau melihatnya baik-baik, ia pasti akan menyukai keputusan Draven. Dengan setengah hati ia berusaha mendengarkan meski kini perasaannya sudah berkecamuk tidak nyaman.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang