Chapter 27b

439 27 0
                                    

Kesibukannya belakangan ini membuat Tresha kerap melupakan jadwal makannya, terutama makan siang. Karena itu, mie instan rebus yang kini kuahnya menetes di bawah bibirnya membuatnya mengedip senang. Jika Bibi tidak pulang kampung untuk menikahkan anaknya, ia mungkin akan dimarahi karena makan mie instan lebih dari dua kali dalam seminggu.

"He was so good!" Suara Rue yang dilebih-lebihkan dari seberang telepon membuatnya memutar bola matanya. "Aku serius, he actually made me scream."

Ia memang meminta sahabatnya itu untuk mencarikan pasangan kencan. Dan Rue, playgirl nomor satu sepanjang abad 21 tentu saja langsung mencarikan pasangan untuknya. Malam ini juga.

Kejadian tadi siang membuat Tresha memutuskan untuk tidak kembali ke butik dan bergelung dalam selimutnya. Ia sudah bekerja keras, tidak masalah jika membolos setengah hari. Pun ia memaksa ke butik, ia hanya akan melamun sepanjang hari.

"Too much information." Gerutunya. Tresha tidak mau tahu tentang perjalanan seksual Rue yang tidak ada habisnya, terutama dengan pria yang kini ditawarkan padanya.

"Dia bilang mau minta nomor kamu, katanya oke kalau malam ini mau date." Tresha hanya menggumam membiarkan Rue memberikan kontaknya pada pria antah-berantah itu. Asal ada seseorang yang bisa membuatnya melupakan Draven, ia tidak masalah.

"Dia bilang bakal menghubungi kamu nanti sore tempat sama jamnya." Tresha kembali menggumam dengan mie rebus di mulutnya, "tapi aku serius. Kenapa kamu tiba-tiba mau dating?"

"Memangnya kenapa?"

"Nggak kayak kamu aja, biasanya kamu lebih hati-hati. Sama Gideon kemarin saja hampir sebulan sebelum akhirnya meet up."

Tresha memutar bola matanya bosan, apa artinya berhati-hati kalau akhirnya dia hanya diberi obat dan kembali berakhir dalam pelukan Draven. Ia memutar otaknya mencoba menemukan alasan yang mungkin akan diterima Rue.

Karena jelas ia tidak akan mengatakan bahwa ia habis tidur dengan sahabatnya sendiri yang notabane tunangan orang. Ditambah lagi tunangannya begitu kurang ajar hingga membuat Tresha ingin lari sejauh-jauhnya. Jika bukan karena Papa dan Mama, mungkin ia juga akan pindah agar tidak perlu bertemu mereka lagi.

Masalahnya tidak semudah itu. Bahkan jika ia tidak lagi berhubungan dengan Draven seperti yang lalu-lalu, Papa dan Mama tetap orang yang cukup penting dalam hidupnya. Mungkin karena itu juga ancaman Sol begitu mengena.

"I need a rebound." Dalihnya.

"Kalau begitu yang ini oke. Aku sudah bilang tadi, he was so good!" Kikik Rue lagi.

"Rue," tegurnya, "I'll meet this guy in a few hours."

Tawa Rue meledak dari seberang saluran telepon yang membuat Tresha menggerutu tidak jelas. Sejak kuliah dulu, Rue selalu lebih terbuka dengan segala pengalaman yang terkadang membuat Tresha menggelengkan kepalanya.

Panggil ia konservatif, kenyataannya ia terlalu bergelung dalam perasaan cintanya pada Draven. Bermain-main dengan imajinasi yang entah kapan akan menjadi, atau bahkan tidak mungkin menjadi nyata.

Bodoh. Karena itu sekarang ia harus lari sejauh mungkin dari pesona pria bajingan berbulu domba dengan senyum yang mampu membuat lututnya lemas. Tidak ada salahnya bertemu dengan orang baru. Demi tuhan, dia baru 24 tahun tapi rasanya seperti sudah berusia 40.

"Ngomong-ngomong rebound," Rue membuka pembicaraan, "aku udah ngajuin proposal ke firma tempat Draven dan mereka bilang oke. Jadwalnya dia kosong buat bulan depan."

Bertambah lagi alasannya untuk segera mencari gandengan, karena ia akan sering bertemu dengan Draven setelah ini. Entah setan mana yang membuatnya mencetuskan nama Draven ketika orang yang seharusnya mengurus venue mereka dua bulan lagi tiba-tiba menghilang.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang