Chapter 9

462 41 21
                                    

I've never told you this, but it was a bitter pill to swallow

"Begitu?" Suara El di seberang kembali terdengar. Draven duduk di meja belajarnya sembari sesekali memutar pulpen di tangannya. Buku sekolah terbentang di mejanya namun tak satupun berhasil masuk ke kepalanya.

Saat ini yang ada di pikirannya hanya Tresha dan Tresha. Bagaimana penolakan gadis itu terasa begitu pahit di lidahnya namun tetap meninggalkan rasa manis seperti biasanya. Memang ia ditolak, namun entah mengapa Tresha tetap bisa meyakinkannya bahwa hubungan ini akan terus berjalan seperti biasanya.

"Hm." Gumamnya. Ia sendiri tak tahu harus membalas apa. Setelah menelpon El dengan penuh kepanikan, kini ia hanya bisa memejamkan matanya berusaha menahan rasa sakit yang tak mau mendera dadanya.

"Lalu kau mau apa setelah ini?"

"Move on. Kau yang bilang sendiri." Ia memutar bola matanya. Memang apalagi yang bisa ia lakukan. Draven tidak akan memaksa Tresha jika gadis itu memang tidak mau.

"Memangnya kau pikir semudah itu? Aku saja sudah bertahun-tahun mencoba tetap tidak bisa." Geram El dari seberang. Draven kembali memejamkan matanya kesal, ia tahu betul kisah sahabatnya yang seperti opera sabun.

Membayangkan bahwa cintanya harus kandas bahkan sebelum dimulai kembali memberikan rasa pahit di tenggorokannya. Ia sendiri tahu melupakan Tresha akan lebih sulit dari apa yang dibayangkan. Menemui gadis itu setiap hari dan menerima senyum manisnya sementara ia tahu bahwa selamanya gadis itu tak akan bisa ia miliki.

"Lalu aku bisa apa?" Balasnya. "Kau mau aku terus berjuang sia-sia seperti kau dan Belle?"

"Drav." Panggilan El terdengar begitu rendah hingga memberikan membuat tulang belakang Draven bergetar ngeri, "Coba kau ulang lagi ucapanmu itu."

"Maaf. Aku sedang kesal dan melampiaskannya padamu." Draven mengacak rambutnya frustasi. Menyedihkan sekali mereka berdua, ditolak mentah-mentah oleh perempuan yang begitu dicintai dan kini merana bersama.

Draven tahu ia tidak bisa selamanya seperti itu. Besok, ia harus kembali dengan senyuman menyambut Tresha dan bertingkah seperti biasanya. Sahabatnya itu tidak boleh tahu dilema yang kini melandanya. Ia sudah mengatakannya sendiri, dalam kondisi seperti itu Tresha pasti akan bingung.

"Apa yang akan kau lakukan jika di posisiku?" Tanyanya.

"Berjuang terus." Meski lewat telepon, Draven bisa merasakan cengiran El dari seberang. "Tapi kalau bisa sebenarnya aku ingin melupakannya saja."

Ia hanya menjawabnya dengan gumaman setuju. Draven juga memiliki keinginan yang sama, untuk melupakan cintanya dan kembali seperti biasa. Tidak mungkin ia terus menerus berada di posisi seperti ini. Lambat laun Tresha pasti akan sadar.

"Mungkin aku memang harus melupakannya." Gumamnya lagi.

"Aku masih tidak paham." El kembali berbicara, "Kukira Tresha juga mencintaimu."

"Kita saja yang terlalu percaya diri. Kenyataannya Tresha tidak merasa seperti itu, pun dia mencintaiku mungkin dia akan terus menghindar." Draven terkekeh.

Ketakutannya dan Tresha sama, bahwa suatu hari hubungan ini akan berakhir dan ia tidak lagi bisa melihat wajahnya, mencium aroma tubuhnya, dan mendengar tawanya. Biarlah ia tetap di posisi seperti ini asal semuanya tidak berubah. Membayangkan harus menjauh dari Tresha saja sudah membuatnya bergidik.

"Selama ini kau selalu memanjakannya, aku tidak tahu dia itu bodoh atau pura-pura tidak sadar."

"Aku sudah memanjakannya dari kecil, ingat?" Draven kembali terkekeh. "Mungkin dia merasa itu hal yang biasa."

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang