Chapter 18b

424 20 0
                                    

"Aku mau kembali." Ia bangkit dari duduknya dan berjalan kembali menuju kamar tanpa repot-repot menunggu Draven yang kini mengacak rambutnya frustrasi.

Ia lebih memilih sahabatnya itu memukul atau mencekiknya dibanding mendiaminya seperti ini. Bukannya ia tak tahu bahwa kesalahannya cukup fatal, menghilang ketika sahabatnya itu sangat membutuhkannya.

15 missed call yang masih nampak di handphonenya itu menunjukkan betapa paniknya Tresha tadi dan bahwa ia sangat menginginkan kehadiran Draven sebagai pelipur deritanya. Ia merutuk kesal, Tresha selalu siap untuk mendengar keluh kesahnya namun ia malah menghilang di saat seperti ini.

"Papi mana?" Tanyanya setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Tresha.

"Ke luar kota." Balasnya singkat, "Papa sedang menjemput di bandara. Harusnya setengah jam yang lalu pesawatnya landing."

Draven kembali mengangguk, kini tak tahu harus mengatakan apalagi. Ia memutuskan untuk berjalan mengantar Tresha hingga kamar Mami, kondisi seperti ini membuatnya berpikir ulang. Apakah ia sahabat yang baik? Mencoba mengajaknya bicara saja tidak bisa.

Melihat dokter dan perawat lalu lalang dari kamar Mami membuat sinyal bahaya di kepala Draven. Ia kalah cepat, Tresha sudah berlari menuju ke arah Mama yang kini terduduk menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Kenapa, Ma?"

"Serangan lagi." Mama menarik Tresha agar duduk bersamanya.

Serangan lagi. Yang kedua kalinya hari ini. Tresha merebahkan kepalanya di pundak Mama yang memeluknya erat-erat. Isakan tidak keluar dari bibirnya namun air matanya tumpah bagai aliran air. Ia hanya meninggalkan Mami sebentar, seharusnya tidak seperti ini.

Draven terdiam melihat keduanya dan memutuskan untuk duduk di hadapan Tresha. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa menunggu. Gadis cantik di hadapannya itu masih menangis, sesekali bibirnya komat-kamit membentuk kalimat yang tidak terdengar.

Ia ingin merengkuh Tresha dalam pelukannya, menenangkannya dan meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pada akhirnya ia harus mengurungkan niatnya karena gadis itu lebih nyaman dalam perhatian yang diberikan Mama.

"Tresha."

Mungkin karena ia terlalu fokus dengan pikirannya sendiri, Draven tidak menyadari derap kaki dan nafas yang terengah-engah dari kedua pria paruh baya itu. Keduanya kini berdiri tegap dengan wajah bingung.

"Papi!" Seru Tresha.

Dengan cepat ia melepaskan diri rangkulan Mama dan menyamankan dirinya dalam dekapan Papi. Sudah sejak siang tadi Tresha merasa sendiri, kini ia bisa menghela nafasnya lega.

"Mami kenapa, princess?" Tanya pria itu, masih dengan panggilan sayang yang hampir selalu tersemat untuk putri semata wayangnya itu.

Tresha menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu, tadi mami collapse dan kata dokter harus transplantasi segera, tapi Mami sempat bangun. Sekarang dokter ada di dalam lagi."

Suara isakan yang semula ditahan kini lepas begitu saja. Papi mengelus helaian rambutnya yang panjang dan menghela nafasnya. Tadi pagi istrinya itu begitu enggan melepasnya pergi ke luar kota, nampaknya karena ini.

Bunyi pintu terbuka membuat mereka semua menoleh, mengharapkan kabar baik keluar dari mulutnya. Pria dalam balutan jaket putih itu hanya menggelengkan kepalanya, dengan cepat Tresha menutup mulutnya sebelum jeritan keluar.

"Pasien meminta kalian berdua masuk."

Papi menggandeng Tresha masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Draven dan keluarganya yang kini tengah berusaha menenangkan Mama yang histeris. Terang saja, setelah puluhan tahun bersahabat kini ia ditinggal seketika.

"Mami." Panggil Tresha, ia berusaha sebaik mungkin untuk tidak menangis di hadapan Maminya.

"Jangan marah, ya." Mami berusaha menggapai wajah Tresha perlahan. "Sepertinya Mami harus pergi duluan."

"Jangan." Pintanya.

Kekehan lemah keluar dari bibir pucat Mami, Tresha menundukkan kepalanya agar bisa digapai oleh lengannya yang kini sudah lemah. Mami menangkup wajah Tresha di tangan kanannya dan Papi di tangan kirinya.

"Tadi pagi kamu minta aku jangan pergi." Papi akhirnya bicara.

"Kamu tidak pernah mau dengar sih." Mami kembali terkekeh. Atensinya kembali ke arah Tresha yang kini tengah menggigit bibirnya berusaha menahan tangis. Senyuman lembut muncul di bibirnya.

"Maaf ya, padahal Mami sudah menyiapkan baju untuk wisudamu." Mami menggelengkan kepalanya lemah melihat air mata yang kini menetes tanpa bisa dihentikan dari anak semata wayangnya itu.

"Mami hanya ingin Tresha tahu kalau Mami sayaaang sekali sama Tresha. Kamu harapan Mami, buah cinta Mami, kebahagiaan Mami. Terima kasih sudah terlahir menjadi anak Mami."

"Aku juga sayang Mami." Tresha kini menggerakkan wajahnya, berusaha agar bisa mendapatkan kehangatan dari telapak tangannya untuk yang terakhir kali. Bahkan sekarang ia bisa merasakan kulit Mami yang mulai mendingin.

Mami tersenyum, wajahnya kini menoleh ke arah Papi yang masih berusaha untuk menyembunyikan dukanya. "Kamu menangis juga boleh, tidak ada yang bilang kamu tidak boleh menangis."

Papi menggenggam telapak tangan Mami yang kini mengelus wajahnya. Tresha hanya bisa melihat kejadian yang ada di hadapannya sembari menahan tangis. Ia tahu betapa kedua orang di hadapannya ini sangat mencintai.

"Aku bagaimana kalau kamu tidak ada?" Pinta Papi.

"Kamu harus bahagia." Mami menatapnya lembut, "Kamu menjanjikanku rumah, keluarga, dan kebahagiaan. Dan selama dua puluh tahun ini aku tidak pernah tidak bahagia. Tidak sekalipun."

"Bohong."

Mami kembali tersenyum, "Aku serius. Setelah ini kamu juga harus bisa tetap hidup, aku akan menonton dari sana. Jangan kecewakan aku." Bisiknya lagi, suara Mami semakin lama semakin lemah.

"Terima kasih." Bisiknya lagi, Tresha semakin mendekatkan dirinya dengan wanita yang kini harus berusaha keras hanya untuk bisa bernapas itu, "Sudah menjadikan aku wanita paling bahagia di dunia ini."

Tangan Mami yang semula menangkup wajahnya kini melemah, Tresha bisa merasakan kehangatan tubuh wanita itu dicuri darinya dan digantikan dengan dingin yang membuat tubuhnya lemas.

Sudah pergi.

Perempuan yang seharusnya ada bersamanya, selalu bersamanya kini sudah pergi. Papi berdiri tegak dan memberikan kecupan terakhir di dahi istrinya itu, tapi Tresha tidak bisa. Ia jatuh ke lantai dan memanggil Maminya. Ia ingin ibunya disini.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang