Chapter 13

438 27 0
                                    


Hawa dingin akibat hujan semalam nampaknya belum menghilang, mengingat kini Tresha bergelung dalam selimutnya mencoba mencari kehangatan lebih. Tangannya meraih remot pendingin ruangan untuk mematikannya.

Matanya melirik ke arah jendela di sebelah pintu balkon, masih pagi. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit. Memutuskan bahwa ia masih membutuhkan tidurnya, gadis itu kembali memejamkan matanya berharap kantuk akan kembali menyapunya ke alam mimpi.

Alih-alih kembali tidur dengan tenang di ranjangnya, pikirannya justru berkelana ke dunia antah berantah. Untuk tidur semalam saja sudah sulit bagi Tresha, ditambah lagi pagi ini ia bangun terlalu pagi. Bisa dipastikan matanya akan menghitam di sekolah nanti.

Tresha memutuskan untuk menarik selimutnya dan buku yang diletakkan Draven di nakasnya semalam ke balkon. Jika ia memang tidak bisa tidur, akan jauh lebih baik ia menghabiskannya dengan melakukan sesuatu dibanding bergelung tanpa hasil di kasurnya.

Ia mendudukkan diri di bangku balkon masih dengan selimut yang melapisi seluruh tubuhnya. Tangannya membuka halaman terakhir yang ia baca perlahan namun pikirannya tidak berada disana. Kali ini ia melirik ke seberang kamarnya menatap balkon Draven yang kosong.

Kamar pria itu masih gelap menunjukkan ia belum bangun, memang siapa pula yang akan bangun sepagi ini. Hanya Tresha saja yang cukup gila untuk menghabiskan pagi yang dingin di balkon alih-alih kasurnya.

"Draven." Bisiknya.

Ia menghembuskan nafasnya keras-keras. Pria itu. Pria yang kemungkinan kini sedang tidur dengan lelap di ranjangnya itu adalah penyebab penderitaannya pagi ini. Seolah tak cukup mengagetkannya dengan tiba-tiba memiliki kekasih, pria itu juga harus merahasiakannya dari Tresha.

Tresha menyandarkan kepalanya ke bangku mencoba mencari kenyamanan di tengah dingin membeku yang melanda tubuhnya. Rasanya kini rasa dingin yang membekukan tubuhnya juga ikut membekukan hatinya.

Hubungan mereka sudah berubah sejak Draven memberinya pertanyaan di mobil waktu itu. Entah mengapa sahabat sejak kecilnya itu seolah menghindar, tak jarang memutuskan untuk tidak bertatapan mata dengannya. Draven yang biasanya tidak segan-segan menggenggam tangannya belakangan ini seolah menghindarinya.

Tak ayal ia bertanya-tanya, apakah keanehan sahabatnya itu disebabkan oleh jawabannya kemarin. Jika memang begitu, mungkinkah sahabatnya itu sempat memiliki perasaan kepadanya.

Dengan cepat Tresha menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Bahkan jika Tresha kini mulai merasakan hal lain kepada sahabatnya itu, tidak menjamin Draven merasakan hal yang sama.

Lagi pula, ia mengenal pria itu sebaik ia mengenal dirinya sendiri. Ia tahu jika Draven memang menyukai dirinya maka pria itu tidak akan melupakannya secepat itu. Apalagi memiliki kekasih dalam waktu yang singkat.

"Aku bisa apa tanpa Draven?" Ia menatap kamar pria itu yang masih gelap.

Mungkin karena hari ini dingin, ia merasa seluruh tubuhnya kini bergetar dan bulu romanya meremang. Rasa takut kini memenuhi kepalanya, tidak menutup kemungkinan pria itu akan lebih sibuk dengan kekasihnya dibanding dengan Tresha.

Wajar memang. Bukan berarti Tresha sanggup berkata bahwa ia baik-baik saja dengan keadaan seperti itu. Mereka sudah terlalu lama bersama, akan sulit jika Tresha harus membiasakan diri tanpa kehadiran sahabatnya itu di sisinya.

Sekali lagi, gadis itu membuka bukunya berusaha menghilangkan pikiran-pikiran gila yang kini memenuhi kepalanya. Ia harus percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan melupakannya begitu saja.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang