Chapter 22a

419 24 0
                                    

Satu lirikan lagi ke arah cermin besar di walk in closet miliknya membuat Tresha tersenyum puas. Ia sudah nampak sempurna dalam balutan toga berwarna hijau yang melapisi kemeja sekolahnya. Kepalanya ditutupi topi wisuda yang juga berwarna hijau sementara rambutnya ia biarkan tergerai.

Jika Mami ada disini, mungkin ibunya itu akan menciumnya dan mengambil foto sebagai kenang-kenangan tak peduli bahwa akan ada photo booth untuk berfoto nantinya. Tresha tersenyum, it's about time to let go.

Terlalu banyak hal yang menunggunya untuk membuatnya bergelung dalam duka. Mungkin karena kesibukannya, kepergian Mami secara perlahan mulai ia terima dengan baik. Terkadang ia membuka pintu mengharapkan Maminya menyapanya dengan heboh hanya untuk disapa dengan Bibi.

Tidak masalah.

Setidaknya ia masih punya Papi, yang sampai saat ini masih belum mengangkat telfon dari Tresha. Harusnya pria paruh baya itu sudah datang sejak kemarin malam namun sampai saat ini belum ada kabar sama sekali.

"Princess." Panggilan sayang dari Papi akhirnya membuatnya menghela nafas lega.

"Papi dimana? Aku sudah siap, apa kita bertemu di sekolah saja?" Tresha tahu belakangan ini pekerjaan Papi juga begitu menuntut. Ia tidak bisa berharap banyak, bisa datang saja ia sudah bersyukur.

"Princess maaf ya, sepertinya Papi tidak bisa datang."

Tresha terdiam menatap bayangan dirinya sendiri di depan kaca. Ia cantik sekali hari ini namun untuk apa. Selain sahabat-sahabat wanitanya, ia tidak memiliki siapapun untuk diajak berfoto. Mami sudah tidak ada dan Papi tidak bisa datang.

"Kenapa?" Lirihnya.

Tak peduli seberapa keras usahanya untuk tidak terdengar kecewa, ia tidak bisa menyembunyikan bahwa hatinya terasa sakit. Ia sudah menantikan acara ini cukup lama. Seharusnya ini menjadi hari baik untuk merayakan kerja kerasnya.

"Ada urusan yang tidak bisa ditunda, sayang." Tresha mendengar suara Papi yang terdengar bersalah dari seberang sana. Ia memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang mengancam kesempurnaan matanya.

"Lalu Papi bisa kesini kapan?"

"Kalau itu Papi juga tidak tahu, bagaimana kalau kamu saja yang menemui Papi disini?"

"Aku tidak bisa, ada banyak urusan pendaftaran Universitas yang harus aku selesaikan."

Hening dari seberang sana membuat Tresha semakin frustrasi. Bukannya ia tidak tahu kepergian Mami terasa berat bagi Papi. Ayahnya itu tidak pernah pulang sejak pemakaman yang mana sudah dua bulan lalu. Terlalu lama untuk meninggalkan putri semata wayangnya sendiri dengan asisten rumah tangga.

"Mungkin Tresha bisa berlibur dengan Papi disini?" Papi kembali menawarkan dari seberang sana.

Hanya dengan pertanyaan itu saja Tresha tersadar, Papi tidak memiliki keinginan untuk pulang ke rumah. Setidaknya tidak untuk waktu yang lama. Ia tidak bisa marah, kehilangan perempuan yang sudah dicintai Papi begitu lama tentu terasa berat baginya.

Tapi bukan hanya Papi yang kehilangan.

"Mungkin." Jawabnya ambigu, "kalau begitu aku harus berangkat sebelum terlambat."

Samar samar ia mendengar Papi memberinya ucapan sayang yang terpotong karena saluran telepon yang ia matikan. Semua orang pergi. Mami pergi meninggalkannya sendiri, begitu juga dengan Papi yang kini di tempat antah-berantah berusaha untuk melupakan kenangannya.

Di saat seperti ini yang membuatnya merindukan Draven.

Kehadiran pria itu sudah menjadi sesuatu yang konstan baginya, kehilangannya terutama di saat seperti ini membuat Tresha semakin menyadari betapa menyedihkan dan sendirian dirinya saat ini. Ia merindukan sosok sahabat yang akan mengetuk pintu kamarnya tanpa tahu malu hanya untuk berbincang dengannya.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang