Chapter 34b

532 31 0
                                    

Ingatkan Tresha untuk tidak menemui Rue ketika kepalanya sedang kalut. Ingatkan dirinya untuk tidak mengkonsumsi apapun yang disodorkan kepadanya. Ingatkan dirinya untuk tidak mencampur alkohol dengan apapun. Ingatkan dirinya untuk membunuh Rue segera setelah sakit kepalanya hilang.

Ia bangkit dari kasur berukuran King Size yang ada di kamar apartemen sahabatnya itu, tidak menemukan keberadaan Rue dimanapun. Tresha memejamkan kepalanya sejenak mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.

Papa masuk rumah sakit. Sol menghancurkan malamnya. Mama yang mengusirnya. Rue menjemputnya. Klub malam murahan yang lebih cocok disebut tempat jin buang anak. Alkohol. Lalu pil yang diberikan Rue padanya.

"Rue?" Panggilnya segera setelah membuka pintu.

"Sudah bangun?" Wanita itu membalasnya, berdiri di depan kompor dan menyiapkan entah apa untuknya. "Minum kopi dulu."

Tresha mengangguk dan duduk di bar stool milik Rue sementara sahabatnya itu masih sibuk memasak telur ceplok untuknya. Jika boleh memilih Tresha ingin makanan yang lebih berat dari itu, namun ia tahu betul tabiat Rue. Sudah bersyukur masih ada telur untuk bisa dimasak.

"Semalam itu apa?" Tanyanya segera setelah meneguk kopi miliknya.

Kepalanya masih terasa berat dan perutnya bergejolak memintanya mengeluarkan isinya. Kopi sama sekali tidak membantu! Tresha ingin kembali merebahkan kepalanya namun perutnya juga bergejolak kepalaran.

"The best night of your life?"

"Maksudku yang kamu beri padaku semalam." Jelasnya. Ia sama sekali tidak suka mengonsumsi obat-obatan tidak jelas.

"Entah. Ada yang menjual lalu aku membelinya dan kamu ikut makan."

Tidak usah dijelaskan lebih lanjut Tresha langsung tahu bahwa yang semalam ia konsumsi itu narkoba. Masalahnya, bagaimana bisa sahabatnya itu memberinya sesuatu tanpa memberitahunya sebelumnya?

"Kenapa kamu bisa bangun sementara aku seperti habis ditabrak truk begini?"

"Karena aku sudah biasa?" Tanyanya balik.

Tresha menyipitkan matanya curiga. Untuk ukuran orang yang baru saja mengkonsumsi obat-obatan terlarang yang tidak jelas asal usulnya, Rue terlalu tenang. Gerak-geriknya yang terlihat tidak nyaman membuat Tresha semakin curiga.

"Aku okay, serius!" Cengirnya.

Untuk saat ini, Tresha memutuskan untuk menghentikan interogasinya dan mulai menyantap telur miliknya. Dalam hati ia benar-benar berharap sarapannya kali ini bisa menyembuhkan rasa pusing dan mual yang kini menderanya.

Bunyi dering telepon membuat keduanya menoleh. Handphonenya bergetar di atas meja ruang tamu Rue. Bagaimana cara barangnya bisa sampai kesana, Tresha sendiri juga tidak tahu. Dengan cekatan, Rue mengambil handphonenya dan menaruhnya di sebelah Tresha.

'Papa sudah sadar. Kita bisa bicara?'

Singkat jelas dan padat namun cukup untuk membuat bulu roma Tresha meroma seperti dikejar hantu. Ia tahu tidak mungkin bisa menghindari Mama selamanya, terutama karena mereka bertetangga. Ia hanya tidak menyangka akan secepat ini!

"Rue, dari 1-10 seburuk apa penampilanku sekarang?"

"10 yang paling buruk?" Tresha menganggukkan kepalanya cepat, "Sembilan puluh sembilan." Rue menatapnya dari atas hingga bawah.

Tresha berlari kecil menuju ke kamar Rue, ia tahu betul ada cermin besar di hadapannya. Matanya membeliak. Dia masih mengenakan pakaiannya semalam, hanya saja kini roknya sudah robek hingga separuh paha dan matanya kini merah akibat kurang tidur. Lipsticknya sudah berantakan ke ujung bibirnya dan rambutnya berantakan. Ia tidur tanpa menghapus riasannya, jadi tidak aneh jika kini ada jerawat kecil di bagian dagunya.

"I look like hell!" Serunya sembari meluncur menuju kamar mandi, mencoba melakukan sesuatu pada penampilannya yang menyerukan whore berulang kali.

"Bajumu aku taruh di atas kasur!" Ia mendengar Rue berteriak padanya.

"Thank you!"

Terima kasih atas bantuan Rue, karena kepalanya sendiri masih berputar mengelilingi ruangan sampai saat ini, penampilannya sudah membaik. Memang matanya masih memerah namun tidak lagi menyerukan aku-sakit-hati-dan-high-semalaman. Ditambah lagi dengan kebaikannya mengantar Tresha sampai ke cafe milik Belle untuk bertemu Mama.

"Kamu ikut turun?"

"Aku lagi gak minat nonton drama trouble with the in law." Cengirnya.

Tresha hanya menggelengkan kepalanya dan mencari tempat yang dipilih oleh Mama. Wanita paruh baya itu duduk di sudut ruangan yang langsung bersebelahan dengan kaca, tangannya menggenggam ponsel pintarnya, menunggu kehadiran Tresha.

"Ma." Panggilnya, memberikan kecupan di pipi sebagai salam.

"Kamu sudah sarapan?"

"Tadi aku di apartemen Rue sudah makan." Jawabnya singkat walaupun ia tahu telur buatan Rue tidak cukup untuk mengenyangkan perutnya. Setelah ini ia akan meminta makan pada Belle.

Mama menganggukkan kepalanya dan memutar sendok kecil pada lemon tea miliknya sementara dirinya hanya bisa duduk dengan tidak nyaman menunggu wanita itu mengatakan sesuatu.

"Untuk yang semalam itu, Mama minta maaf."

Ketika ia melangkahkan kakinya menemui Mama, ia sudah siap jika harus disemprot dan dimaki atau diberi panggilan tidak mengenakan. Siapa yang menyangka Mama malah memanggilnya untuk meminta maaf?

"Kalian sudah dewasa dan Mama seharusnya tidak ikut campur." Wanita itu kembali melanjutkan.

"Aku juga minta maaf." Tresha menjawabnya dengan cepat. Semakin Mama melanjutkan ucapannya, semakin tidak enak ia dibuatnya.

Ucapannya hanya dibalas dengan lirikan tajam dari Mama, menunjukkan bahwa ia tidak suka ucapannya dipotong. Tresha menundukkan wajahnya yang kini memerah malu. Sudah lama sekali sejak ia merasa seperti ini.

"Bukan berarti Mama setuju dengan pilihan kalian." Ia mengulang ucapan yang sama dengan Draven tadi pagi, "dan Mama harap seluruh skandal ini berhenti secepatnya. Sebelum lebih banyak yang tahu."

Tresha menganggukkan kepalanya. Dari reaksi semalam, ia juga yakin bahwa hubungannya dengan Draven tidak akan berlanjut. Ia sudah berbohong selama bertahun-tahun, tidak mungkin Draven akan memaafkannya begitu saja.

"Aku mengerti." Jawabnya.

"Baguslah kalau kamu mengerti." Mama melirik ke arah ponsel pintarnya sekali lagi. "Draven tadi bilang sama Mama kalau Papa sudah setuju untuk dioperasi, tinggal menentukan tanggalnya.

Helaan nafas lega terdengar dari Tresha. Kalau tahu Draven bisa membujuk Papa yang kepalanya lebih keras dari batu, sudah sejak dulu dia menyeret pria itu ke hadapan Papa.

"Kamu mau ikut ke rumah sakit?" Tanya Mama lagi.

Tresha menganggukkan kepalanya antusias, ia tahu Mama masih menyimpan kekesalannya namun setidaknya wanita itu mau berbicara dengannya. Begitu saja ia sudah senang.

Side Chick ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang