"Kurasa kalau lebih lama lagi, pinggangku akan meleyot."
Jemari kurus itu kemudian meletakkan pulpen berujung tajam yang tintanya sudah sebagian besar menghilang ke atas meja penuh berisi kertas-kertas dan sejumlah buku yang tak terhitung dengan ketebalan berbeda-beda, semua dilapisi sampul kulit hitam. Benda panjang yang mungkin tanpa ia sadari telah menanggung hidupnya bertahun-tahun itu bergulir melewati satu-satunya tumbuhan di ruangan berkaca temaram itu, yang disimpan seadanya di dalam jar beling berisi air yang sudah agak kotor—bunga itu hampir menjemput ajalnya, dan pemiliknya juga tampak gak peduli sama sekali dengan komponen biotik di sekitarnya.
Sebelum benda itu akhirnya jatuh ke tanah karena guncangan kecil yang diciptakan sang pemilik, manusia satu-satunya di bangunan tersebut sudah beranjak agak kasar dari tempatnya bersemayam lima jam lalu untuk mengambil setidaknya seteguk air minum. Menulis dan berpikir dalam waktu yang bersamaan, dan sangat lama pula, tadinya ia pikir bukan hal yang masuk akal. Tetapi lihatlah si penjilat ludah sendiri, ia bahkan lupa kalau dirinya lupa waktu.
Terserahlah, yang penting sekarang adalah kesehatannya. Beberapa air putih dan setangkup roti mungkin cukup untuk mengisi perutnya hingga dua belas jam ke depan, bensin untuk melanjutkan tulisan yang sempat tertunda. Walau dalam waktu semalam, dua naskah besar berisi tuangan idenya sudah apik tersusun rapi di bagian pinggir meja kerjanya.
Mencoba mencari makanan lain di samping serba-tawar, ia membuka kulkas disertai garukan pada rambutnya (efek jarang mandi), berharap menemukan satu atau dua bahan untuk dimakan bersama roti yang tanggal mainnya hanya sampai besok pagi. Sebutir telur, setengah mangkuk blueberry, sekotak susu pisang yang dibelinya dari kota dua minggu lalu, dan selai cokelat dalam botol yang tanpa ia sangka masih penuh.
Saat menyadari isi kulkasnya, orang itu bahkan lupa ia penyuka manis. Sebutir telur di sana seakan sudah tidak ada harganya, kecuali jika makanan manis tiba-tiba membuatnya muak.
"Kalau ada keju pasti lebih enak, tapi terserahlah."
Ia mengambil botol selai cokelat, mangkuk berisi buah berwarna ungu yang tadi ditengoknya berlebihan untuk memastikan itu adalah buah, dan susu pisang yang tanpa sadar dari skenarionya hanya memakan sepotong roti dan minum air seadanya, menjadi menu sarapan penuh seorang anak yang ingin berangkat sekolah.
Walau saat ini tepat tengah malam, sih.
Setelah merangkai semua hidangan dadakan itu, ia langsung membawanya menuju kamar yang terhubung langsung dengan ruang kerja, namun sangat berlawanan tingkat ketatanannya. Kalau ruang kecil tempatnya biasa mendekam hingga tubuhnya berbau itu bak sarang tikus yang penuh sampah—bedanya di sana kau hanya akan melihat buku dan kertas—maka ini adalah ruangan paling rapi di rumahnya setelah kamar mandi. Ia lebih sering tidur ketika bekerja dan tak pernah bekerja sambil tidur. Tak ada lagi sebabnya, Atau mungkin dirasa terkadang kamarnya terlalu besar.
Memakan semua santapan itu, hal berikutnya yang paling tak disukai orang ini adalah mencuci bekasnya, tentu saja. Walau ia benar-benar tinggal sendirian, terkadang pekerjaan rumah tangga masih saja membebaninya; ia berpikir lebih baik tidak usah punya badan, dan pergi berkelana dengan kepala melayang.
Berjalan malas-malasan melewati lantai kayu yang entah mengapa setelah bertahun-tahun masih seperti baru, melewati ruang keluarga dan kamar mandi utama serta akses menuju loteng yang hampir semua terbuat dari kayu, berwarna coklat dan nyaris membuatnya muak karena ribuan kali melihat mereka walau tujuannya hanya untuk ke dapur. Yah, mungkin kalau hal ini benar-benar sudah membuatnya mau meninggal, ia baru akan mengganti suasana.
Kaca dengan pinggiran penuh cat putih hasil pengecatan pada dinding yang terbangun di depannya membentuk tanda plus itu berbunyi nyaring 'tak, tak, tak' diiringi suara rintik hujan yang makin lama makin besar, ditambah semriwing udara yang selalu sedingin ini ketika menjelang datangnya cuaca yang menyebabkan tanah di luar rumahnya menjadi becek cukup membuatnya merasa ditemani. Terkadang, melewati pintu belakangnya yang berwarna putih seekor kucing atau binatang lainnya datang meneduh, dan tak memprotes ia tak bergerak untuk memberi mereka makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things That Bring Me To You
General FictionTerus kedapatan sinyal akan kedatangan hal luar biasa seakan sudah jadi santapannya sehari-hari. Mulai dari tragedi ribuan telur, hingga pasukan hewan berkaki empat yang menginvasi rumahnya bertindak seperti tempat itu adalah markas, semua itu diyak...