"Kupikir hidupku lebih dramatis daripada drama."
"Dan sepertinya aku juga tinggal dalam drama."
Beberapa menit yang lalu, tubuh itu terjatuh ke lantai dengan pose yang tidak ada keren-kerennya, berbekal bokong jadi sakit dan jantung juga ikut kaget, posisinya saat ini kini berubah menjadi duduk dengan kedua kaki dilipat keluar, serta kedua tangan menekan lantai rumah dengan depresi yang semakin memekat.
Sejurus kemudian, rambutnya terjambak.
"Aaargh! Kalau begini mana ada jaminan hidupku bakal tenang!"
Berdiri di hadapannya, sebuah balok es dengan tebal seperenam dari rumahnya, permukaan yang berukuran sama persis seperti bangunan tempatnya berlindung, seakan menyapanya di pagi hari yang cerah dengan senyum meledek.
Mampus, deh! Kasihan.
Semenjak kejadian telur-telur yang ia kembalikan ke hutan tak kunjung menemukan pemiliknya, kini ia teramat yakin ada makhluk hidup berakal lain yang mengetahui letaknya bermukim atau bahkan tinggal tak jauh darinya, memutuskan untuk mengirim beberapa hal luar biasa yang entah motivasi dan tujuannya apa.
Iseng? Hadiah? Hinaan? Ancaman? Entahlah, semakin dipikirkan, rasanya malah semakin tidak masuk akal.
Bisa saja orang iseng. Tapi, orang iseng dengan level sedewa apa yang sekalinya berbuat jahil, sampai membawa telur yang cukup untuk menghidupi satu rukun tetangga dan sebongkah es yang tampaknya dibawa mentah-mentah dari kutub utara? Pengecualian jika yang dibahas adalah konteks kerandoman barang yang dikirimkan, ia tak bisa memungkiri bahwa alasan "iseng" mungkin saja bisa mengakibatkan pilihan seacak telur atau es yang belakangan sudah menerornya.
Hadiah? Tidak. Lupakan. Satu-satunya orang lain yang ia kenal baik adalah editornya. Dan keberadaannya pun tersembunyi, alamat yang selama ini digunakan untuk para penggemarnya mengirim surat adalah alamat rumah sang editor, dan ia juga terbilang jarang mendapatkan pesan-pesan semerepotkan itu (bahasa lainnya ia tidak cukup berharga untuk dikirimi surat). Dan laki-laki bermuka masam yang kerjanya terus merevisi naskah miliknya itu juga boro-boro memberinya hadiah, yang ada kalau bisa pria itu ingin memukuli wajahnya dan mencungkil matanya bulat-bulat, serta mengemili satu per satu jarinya sambil menikmati suara menderita sang penulis yang terus merecoki kehidupan berkarirnya.
Kalau hinaan... er... ini antara dirinya yang terlalu bodoh untuk memahami maksudnya atau justru si pengirim yang benar-benar ingin membuatnya terlihat bodoh. Apapun itu, rasanya ini juga yang paling mungkin (melihat dari bagaimana orang-orang berpendapat tentang dirinya, rasanya ia pantas dilempari telur mentah atau dibekukan dengan es sampai tiba di alam baka).
Tidak. Tidak mungkin ancaman. Lupakan. Rasanya memalukan jika mengancam seseorang dengan benda-benda seperti ini.
Jadi kesimpulannya... tidak peduli apa penyebab dan bagaimana benda ini bisa menutupi bagian depan rumahnya, yang paling penting sekarang adalah menyingkirkan kutukan tak diundang yang mengejutkannya di pagi buta. Balok es seukuran titan ini tentu akan jadi masalah nantinya. Ya, contohnya saja, jika tukang pos itu datang lagi, dia bisa jadi akan menyapanya bukan dengan senyum palsu seperti biasa, tapi dengan keluhan serangan jantung dadakan yang hanya akan membawanya pada kematian (lantaran orang di depannya adalah penulis ugal-ugalan, bukan seorang dokter bersertifikat nasional).
Pertanyaannya, mau dibawa kemana bongkahan es tidak berpemilik ini, dan yang terpenting bagaimana cara memindahkannya?
Maksudnya tidak semata-mata otaknya langsung kepikiran untuk berlari sekuat tenaga dan menabrakkan diri yang mana ujungnya akan membawa salah satu pundaknya pada kepatahan atau terpapar suhu dingin yang berlebihan. Itu tidak bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things That Bring Me To You
General FictionTerus kedapatan sinyal akan kedatangan hal luar biasa seakan sudah jadi santapannya sehari-hari. Mulai dari tragedi ribuan telur, hingga pasukan hewan berkaki empat yang menginvasi rumahnya bertindak seperti tempat itu adalah markas, semua itu diyak...