13. Underground

7 0 0
                                    

"LAAAAKEEEEE!"

Jeritan Sasha menggema dalam ruang di bawah pijakannya, bersamaan dengan setengah badan perempuan itu ditundukkan ke bawah, menyaksikan bagaimana nyawa adiknya dipertaruhkan begitu saja dan mungkin ia sudah kalah, jatuh ke bawah jurang yang sempat ia ragukan beberapa waktu silam.

Gadis itu menoleh ke belakang, tak ada siapapun atau hewan apapun lagi yang berada di sana, begitupula di sekitarnya. Hal itu tentu memicu kepanikan dalam pikirannya hingga ujung-ujung jarinya gemetar, mengingat posisi predator berkaki empat tadi merupakan tempat yang manis untuk menjadikan adiknya sasaran buru. 

Tapi kini mereka jatuh secara cuma-cuma.

Sasha tak mempedulikan keringatnya yang semakin detik bertambah banyak, berlomba-lomba menuruni bingkai wajahnya dan hampir membutakan matanya lantaran ia tak punya banyak rambut alis untuk menahan. Lututnya lemas, bergetar hebat hingga memaksanya berlutut tepat di tepi jurang.

Mereka jatuh.

Lake dan macan itu.

Dan karena itu pula, sedetik selanjutnya, perempuan itu menjulurkan kaki ke depan, disusul dengan belah lainnya, untuk kemudian melawan udara dengan melayang turun menujuSekeli kegelapan, hati yang penuh harap.

Ternyata jurang ini masih memiliki dasar.

Yang mampu gadis itu rasakan saat ini hanya dataran lembek tanah mendesaki bagian bawah sandalnya, setelah ia mampu berdiri pasca tergeletak dengan wajah menghadap tanah tersebut usai menjatuhkan dirinya sendiri. Sekelilingnya begitu gelap, dimanapun ia menjulurkan tangan hanya tekstur kasar tanah kering yang menyambutnya. Tapi meskipun begitu, ia mampu mengidentifikasi bahwa ini adalah sebuah lorong. 

Koridor, tempat yang diapit dua dinding, ia tak tahu. Tidak terlihat ujung-ujungnya, semua gelap dan udara terasa pengap. Napasnya berkali-kali kehilangan pacu, sementara bibirnya hanya bisa bergetar membisu saat menyadari udara semakin dingin menusuk sisa tubuhnya yang tak tertutup.

Menoleh seribu kali pun rasanya percuma, dan saat ini usaha yang bisa ia dan manusia normal lainnya lakukan hanyalah berjalan ke salah satu pilihan kiri dan kanan, tak punya petunjuk dan orang untuk diandalkan.

Hingga sebuah suara menggema penuh cekam, memenuhi kedua pendengaran.

"Kayaknya Valerian memang gak salah pilih kamu. Tadi itu jelas kamu tahu sesuatu." 

Suara khas anak kecil laki-laki yang baru didengarnya tak lama lalu itu keluar dari kegelapan di atasnya, tak bersumber dari mana-mana alias sebuah hal yang sia-sia jika berusaha mencari dimana pelakunya berada. Sasha menggertakkan giginya bukan karena marah, tetapi ia tulus kedinginan, berharap anak itu cepat muncul kembali memandunya dan membawanya keluar dari dimensi tidak jelas yang baru dimasukinya. 

"Ya... aku juga kangen. Jadi cepatlah keluar, Ziekh."

"Hup, la." Sosok bertubuh mungil dengan riasan paling sederhana dan kulit kecoklatan yang nyaris tak terlihat itu berjalan mendekat setelah melompat dari atas, memegang sebuah lentera jadul di tangan kanan sementara tangan kirinya melambai sok keren pada anak manusia di depannya yang sedang meringkuk hampir menjalani kebekuan.

"Tak kusangka kamu bisa berpikir juga." Nadanya biasa, tapi Sasha merasa wajar untuk kesal. "Bahkan seorang hewan pun tak akan membunuh dirinya dengan menjatuhkan diri ke dalam jurang hanya demi makanan, kan?"

Sasha menyipitkan mata, berusaha menampilkan kesan mencibir yang memang tulus dilontarkannya. "Itu trik murahan, tahu. Lagipula seekor kucing sering melompat dari meja ke kasur walaupun pada akhirnya terjatuh."

"Tapi kan, mereka percaya mereka bisa sampai." Ziekh mengibaskan tangannya, kini berjalan ke arah kiri dari tempat Sasha berdiri, mendahuluinya. Gadis itu mengikuti, berusaha sedekat mungkin dengan lentera milik Ziekh yang sangat samar memancarkan kehangatan dari balik kaca tebal tersebut. Bocah itu meliriknya, mendorong tangannya sedikit lebih dekat dengan tubuh Sasha. 

Little Things That Bring Me To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang