2. The Flower

13 2 0
                                    

Aneh. 

Kepalanya terasa sangat sakit ketika terbangun.

Mungkin ini bisa jadi hal yang patut dimaklumi karena seharian penuh hanya duduk dan berpikir, menulis setiap frasa yang muncul di kepalanya ke atas kertas, lalu tak pernah bergerak selain berjalan ke ruang kerja-dapur-kamar mandi dan untuk menulis, itupun masih dengan postur tubuh yang senyamannya (jelek). Meminum obat dan beberapa teguk air mungkin akan sangat membantu, walau dengan begitu waktunya untuk bekerja jadi terundur karena efek samping yang ditimbulkan oleh pereda sakit kepala tersebut.

Kata orang selain dirinya, jangan menjadi budak korporat karena bergaji stabil tak seindah kelihatannya. Tapi bagaimana dengan pekerjaan-waktu-bebas seperti ia? Orang lain yang melihat tampangnya pun tidak bisa membedakannya dengan si "budak korporat". Gajinya juga tak stabil, pula. Hal yang menguntungkan kalau bukunya populer dan laku keras, tapi jika tidak laku rasanya seperti membuang-buang tenaga dan waktu, yang lebih mengenaskan lagi ia tak dapat mencairkan hasilnya. Maka dari itu, meski tinggal di pedalaman hutan, ia merupakan manusia yang sangat taat terhadap riset pasar. 

Tentu saja ia mencintai semua tulisannya. Tapi rasanya tidak memiliki uang itu sangat tidak enak.

Baru saja kakinya akan melangkah ke dapur, memorinya memperingatkan si otak dangkal ini untuk mengecek bagaimana kabar binatang yang mengasihani kesendiriannya (baca: menemaninya) kemarin malam hingga tertidur pulas. Kepik itu sudah tidak ada ketika ia menoleh untuk memeriksa, namun terdapat setangkai bunga kecil yang entah namanya apa, berwarna ungu dan kelihatan layu yang menggantikan posisi si hewan. Ia mengernyit, memutuskan mengabaikan bunga dadakan tersebut dan melanjutkan perjalanannya ke dapur.

Yang kemudian membuatnya syok tak tertahan, lantaran lantai kayu di kamarnya sudah tertutupi oleh ratusan butir telur yang datang entah darimana, menyesaki setiap jengkal pijakan berwarna coklat tersebut.

Dengan wajah masih tak bisa santai, ia membuka pintu kamar yang langsung terhubung ke ruang keluarga, dan pemandangan di sana tak kalah mengerikan. Saat ini, rasanya seperti ia tengah berada di lautan telur, yang benar-benar tak memberinya tempat untuk berpijak. Sungguh, telur-telur ini, jika dijual mungkin akan membuatnya tak usah menulis lagi selama enam bulan.

Tapi bukan itu permasalahannya. Seluruh lantai rumah sudah dipenuhi telur, bahkan hingga kamar mandi. Sebuah keberuntungan si pendatang telur ini tidak ikut menjejali telur mereka hingga ke atas meja atau laci, karena benda rapuh yang memenuhi seluruh lantai rumahnya ini saja sudah membuatnya kepalang panik, kelewat hati-hati agar tidak menginjak satu butir pun lantaran akan menimbulkan bertambahnya tugas untuk membersihkan rumah.

Walau saat ini ia juga bingung, sih, mau bersyukur atau memaki-maki si pendatang telur ketika suatu waktu mereka bertemu.

"Astaga... akan ada berapa anak ayam yang harus kuadopsi nanti?" Ia menggeleng-gelengkan kepala ketika berhasil menyelamatkan diri dan kini nongkrong di atas kursi meja makan. "Untuk makan sendiri saja tidak mampu."

Ah, tapi kalau dipikir-pikir, memperlakukan mereka seperti makanan terdengar jauh lebih baik.

Tapi mau jadi apa dia? Orang bisulan? Tentu dirinya bisa muntah darah jika terus memakan telur sebanyak ini yang dicicil setiap hari, dalam jangka waktu yang sepertinya ia bisa meninggal lebih dulu dibanding habisnya telur-telur ini.

"Aku kan, tidak punya tetangga... meledek, ya..."

Menjual ke kota pun rasanya percuma. Ia tak punya kendaraan, ponsel, dan tak tahu cara mengangkut telur sebanyak ini ke sana. Pun dirinya tak pandai berbisnis, dan sulit sekali menemukan orang baik yang mau berbagi hasil secara bersih atas penjualan telurnya yang dialihkan ke ahli bisnis. Intinya, ini benar-benar sebuah penghinaan.

"Ini mungkin terdengar gila... tapi aku mencurigai kepik itu sampai mau bunuh diri rasanya..."

Benar. Semua binatang yang pernah bertamu ke rumahnya, dan kepik itu dalam kunjungan pertama sudah membawa insiden secara 'kebetulan' ke tempatnya. Meskipun kalau dipikir-pikir juga tidak mungkin, sih.

Entahlah. Mungkin orang iseng. Jangan sampai ia disangka gila karena mencurigai hewan kecil tak bersalah yang tak melakukan apapun untuk kekacauan sebesar ini.

Kemudian ia menurunkan kakinya dari atas kursi, kini duduk menapaki beberapa butir telur di bawah. Kepalanya terjatuh ke atas tangan yang ditangkupkan di meja, merasa lelah dengan kejutan tak terduga ini.

Bukannya apa, dia hanyalah seorang penulis yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan dunia luar kecuali untuk membeli makan. Pun rumahnya tidak pakai listrik sama sekali, udara di hutan sudah cukup menusuk kulit jika ditanya perkara AC atau kipas angin. Pun kalau diberi kesempatan, yang ingin dibawanya pulang adalah penghangat ruangan.

Kompor? Ia nyaris tak pernah memasak. 

Jika tidak ada listrik, bagaimana dengan kulkas di dapurnya itu? 

Ah, sesungguhnya itu tidak pernah menyala. Jadi seluruhnya mengandalkan udara dari alam. Maka dari itu kedaluarsanya juga jadi lebih cepat, tidak jadi masalah.

Ditatapinya telur-telur itu dengan nelangsa, memutar otak hingga mau gila tentang bagaimana-ia-memperlakukan-mereka-semua. Dibanding bersujud berterimakasih, justru manusia itu lebih senang jika rumahnya tak beresiko kotor berkat telur yang sewaktu-waktu bisa pecah kapan saja. 

Dua jam berlalu dan tidak ada pergerakan, akhirnya manusia itu mengambil tindakan. Ia menurunkan kedua kakinya perlahan memasuki sela-sela antara telur yang menutupi lantai, membuat satu langkah yang sama, begitu seterusnya hingga ia sampai di depan tempat penyimpanan. Membuka pintu, dan bergegas mencari satu-satunya barang yang paling mungkin menolongnya di saat-saat merana begini.

Kantong. Plastik.

Tidak hanya satu, ia mengambil berbiji-biji dengan berbagai ukuran dan membawa mereka ke luar, memisahkan satu per satu dari yang terbesar ke yang paling kecil.

"Kumohon... bantu aku, wahai plastik yang budiman."

Mulailah kedua tangan kecil itu memunguti satu demi satu telur yang dapat terlihat di sekitar tempatnya berlutut. Merangkak ketika tempat sudah mulai kosong, diambilnya satu lagi kantung ketika yang lain sudah penuh. Aktivitas ini tentu tidak lebih menyenangkan daripada menulis, tapi ia jadi punya alasan untuk banyak bergerak tanpa judul olahraga rutin. 

Satu, satu, satu. Kini setengah rumahnya sudah bersih dari telur-telur yang beberapa diantaranya tanpa sengaja pecah dan mengotori kedua tangannya, namun sebelum selesai dan lantainya kembali terlihat seperti semula, ia tak akan berhenti barang sesaat saja.

Satu, satu, satu. Dan kini semua telur itu sudah bersih tersusun di dalam belasan kantung plastik. Ia menyeka peluhnya, kini merangkak menuju kulkas untuk mengambil air minum. Meneguknya hingga air tersebut menetes dari dagunya, sedikit banyak ia menyesal tidak menyela dengan istirahat karena setelah ini masih ada satu lagi tugas yang harus diselesaikannya.

"Bismillahirrahmanirrahim, dengan kuasa Tuhan." Ia mulai berdiri dari posisi merangkak, kemudian menatap kantung-kantung tersebut dan menguatkan tekad. 

Dibawanya satu per satu dari mereka ke depan hutan.

Kantung-kantung itu disebar, masing-masing berjarak kurang lebih sepuluh meter, mengelilingi rumahnya. Kemudian, ia mengeluarkan satu per satu telur yang ada di dalamnya, menyusun dengan rapi hingga menjorok ke dalam hutan. Diulanginya untuk kantung plastik berikutnya, hingga semua kantung tersebut kosong dan telur-telur itu sudah tertata indah mengelilingi tepi hutan yang membungkus rumahnya. 

Lelah, ia masih belum selesai. Setelah mengganti posisi tengkurap kehabisan napasnya dengan berlutut menghadap hamparan pohon di depannya, ia menatap mereka beberapa saat sebelum menarik napas dalam-dalam.

"NIH, KUKEMBALIIN TELURNYA! MAKASIH, LOH, TAPI AKU GAK TERTARIK!"

Dan dengan itu, ditentengnya kantung-kantung plastik kosong tersebut kembali ke dalam rumah.





Little Things That Bring Me To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang