7. Vanilla Ice Cream

5 2 0
                                    

Meliuk daun lembayung

Dalam tenggelamnya si putra duyung

Terpaku pada embun yang terpayung

Akankah bertemu, keduanya, yang pernah menjauh terdayung

Bukan pertama kalinya Sasha membuat puisi. Tapi seakan keterampilannya tak pernah berkembang, penulis lepas itu memutuskan mengakhiri empat frasa yang baru saja ditarik penanya dengan desahan lelah, menyerah melanjutkan apa yang berniat dimulainya. Akhir-akhir ini, bukan hanya otak yang tak bisa diajak berkomunikasi, batin dan jantungnya ikut kelelahan lantaran seperti baru saja ditimpa sesuatu yang amat sangat berat, yang tidak lagi membebaninya dalam beberapa waktu yang lama sebelumnya.

Sebenarnya apa alasannya meninggalkan Lake dengan tega di usia mudanya, menitipkan pada paman dan bibi mereka lantas membuat cerita bohong kalau ia sedang menjalani pekerjaan yang berbahaya, dan tentu saja anak di bawah umur tak boleh ikut serta. Padahal, sesungguhnya, gadis itu hanya ingin lari dari kenyataan yang digariskan untuknya.

Sungguh, ia sangat menyayangi Lake sepenuh hati. Adik satu-satunya yang begitu sampai di sini ia langsung menangis semalaman, tak akan pernah bertega hati dirinya untuk "menelantarkan" anak itu begitu saja. Tapi... memikirkan hal ini lagi, Sasha ingin selamanya hidup sebagai seorang pengecut. Lebih baik ia menjauhi apa yang tak bisa ia jaga daripada harus menyalahkan diri karena gagal memenuhi janjinya.

Takut, takut, takut. Gadis itu ketakutan.

Hidup dalam sebuah sangkar bernama dunia dimana ia merasa semuanya seperti sudah diatur, sekecil ia bernafas hingga sekrusial mengambil sebuah keputusan yang menyangkut nyawanya, semua itu seakan sia-sia.

Ah, membuat otaknya berpikir merupakan pekerjaan yang melelahkan.

Ditolehkan kepala ke arah jendela besar yang terpampang jelas di sisi kirinya, mengamati bagaimana matanya menangkap sekumpulan informasi yang tertera dari balik sana, mulai dari bentuk hingga warna menenangkan yang disajikan data-data mentah bernama tumbuhan. Rumput, semak, hingga barisan rapi pohon-pohon dengan tinggi bervariasi memenuhi rongga penangkap cahayanya, memanjakan mereka dengan pijatan tak nyata. Kalau terus begini, sepertinya gadis itu juga tertarik ingin mengatur lehernya agar terus menoleh ke sebelah kiri, menatapi penampakan di balik jendela yang membuatnya merasa aman.

Yah... setidaknya ia bersyukur tak sampai mengatakan hal itu secara gamblang.

Hal ini dimulai dari seekor rubah berwarna oranye dengan aksen putih di bulu bagian perut dan dadanya, dan coklat dari pucuk ekor menuju setengah bagian ekornya. Telinga rubah tersebut sepenuhnya coklat, dan ia tak memiliki warna lain selain ketiga yang terpampang jelas di seluruh tubuhnya. Tumpukan buah bluberi masih di sana, sengaja tidak diapa-apakan sama sekali olehnya untuk menghentikan datangan-datangan lainnya. Sasha memicingkan mata, refleks menegakkan tubuh saat dari jauh terlihat titik-titik kecil samar yang semakin detik berdetak, semakin jelas... banyaknya mereka.

Rubah. Semuanya rubah. 

Ratusan—tidak, ribuan ekor, berlari secara bersamaan dengan kecepatan tertinggi menuju satu arah—rumahnya. Saling berdesakan, tubuh-tubuh besar mereka yang berwarna jeruk gelap itu mulai mendekat dan menyerbu buah-buah biru yang masih belum tersentuh tepat di sekeliling bangunan tempat tinggalnya. Gadis itu bahkan tak bisa mengatakan dirinya membulatkan mata luar biasa syok, karena memang hal itu yang sedang ia lakukan sekarang.

Mulutnya sedikit terbuka, masih dengan mata yang menatap rubah-rubah kelaparan itu takjub. Tangannya tanpa sadar terkepal, merasakan sensasi yang datang entah darimana, melilit tubuhnya dan mengurung pikirannya dalam sangkar tanpa ada jalan keluar.

Little Things That Bring Me To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang