"O-oi, kau..."
"Tidak, tidak, tak ada yang perlu dikhawatirkan." Berbeda dengan sewaktu gadis itu yang menusukkan pisau, wajah Valerian kini terpampang raut nyeri sembari berusaha kembali tegak dari posisinya yang membungkuk. Sasha menggigit bibir, melangkah mendekat untuk memeriksanya ketika ekor matanya tanpa sengaja menangkap pergerakan sangat cepat dari samping kanan menuju ke arah mereka.
Dan ketika ia refleks menoleh ke belakang untuk mengikuti kilatan hitam itu, ia juga menyadari perubahan raut dari kedua rubah yang sedari tadi bersama mereka, tampak waspada dan panik melihat sekitar, siap melompat menerjang jika tiba-tiba saja sesuatu berwarna hitam itu muncul di hadapan mereka dengan kecepatan yang tak bisa mereka bayangkan.
Pandangan Sasha spontan menuju ke arah Lake, yang masih bisa mengendalikan darinya tetapi turut merasa awas dengan memasang mata dan telinga lekat-lekat. Yang ada di pikiran pasangan bersaudara itu tentu saja "jika pisau biasa tak mempan pada Valerian, maka panah itu pasti lain cerita".
Valerian masih terbatuk kosong, hingga akhirnya berhasil berdiri tegak walau tertatih dengan panah masih tercantel menembus dirinya, tepat di kwadran kiri atas yang membuatnya kesulitan bernapas. "Ayo... kita lanjutkan. Aku tak apa-apa."
Sasha yang mendengar itu merasa sedikit kesal, menganggap Valerian berpura-pura baik-baik saja demi melaksanakan tujuan mereka secepat mungkin, dan tak mau ada halangan konyol seperti tusukan mendadak untuk yang kedua kali. Meski tetap saja tak ada darah atau apapun yang keluar, gadis itu berasumsi sosok-sosok ini juga bisa merasakan sakit walau tak selemah manusia.
Perempuan itu hampir lupa akan bahaya yang begitu dekat beberapa detik lalu, dan kembali diingatkan ketika ia mengambil satu langkah lagi mendekati Valerian, yang dihentikan langkah keduanya oleh suara serak seorang laki-laki dari belakang.
"Seharusnya kau tahu kalau memandu manusia bau bisa membuat pengawasanmu melemah, Istana Kepresidenan Amerika Serikat."
"Hah?" Sasha refleks memasang tampang dongo' ketika mendengar kalimat terakhir yang sosok baru itu katakan.
"Maksud dia White House. Er... kau tahu, tubuh dan penampilanku sangat putih hingga dia—ah sudahlah, kukira sekarang waktunya kita berkenalan."
Valerian menggenggam bagian depan anak panah yang menembus di depan perutnya, lalu kurang dari semenit kemudian benda itu hilang tak bersisa, meninggalkan asap berbau sangat busuk terbang ke angkasa. Kini mata dominan hijaunya menatap entitas lain di seberang mereka, yang tidak bertampang ramah menyambut kedatangan dua orang manusia ke wilayah mereka.
Yah, walau semua hanya bisa menilai dari pergerakan bibirnya.
Ia memiliki kepala dan wajah, tentu saja. Semua itu mampu diperlihatkan kalau saja gaya rambut hitam lurus sepundak dengan poni yang menutupi seluruh wajahnya mulai dari dahi hingga bawah hidung yang menyisakan bibir pria itu saja tidak dimilikinya. Pakaiannya ketat dan rapi, benar-benar membuatnya bisa bergerak leluasa untuk bertarung kapanpun. Kaus panjang berwarna putih dengan ornamen lilitan kayu disertai rompi sepanjang dada menjadi atasannya, sedangkan kakinya diselimuti oleh celana kulit berwarna coklat dengan sepatu boots hingga lutut yang memuat anak-anak panah di celah-celahnya. Sosok itu membawa busur kayu yang indah dan kuat, kini mengangkat salah satu anak panah dari kakinya dan menggigitnya.
"Aro."
Valerian menyapa, dengan senyum formal seperti yang Sasha lihat tempo hari, tetapi kini gadis itu bisa merasakan sedikit ketegangan dari tarikan bibirnya. "Kuharap kabarmu baik-baik saja."
"Dan apa pedulimu jika aku tak baik-baik saja?" Kini sosok berwujud lelaki itu mengacungkan busurnya, posisi siap menembak. "Kau membawa kotoran lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things That Bring Me To You
General FictionTerus kedapatan sinyal akan kedatangan hal luar biasa seakan sudah jadi santapannya sehari-hari. Mulai dari tragedi ribuan telur, hingga pasukan hewan berkaki empat yang menginvasi rumahnya bertindak seperti tempat itu adalah markas, semua itu diyak...