"Kak—"
"Jangan bicara apapun. Setelah ini kamu ganti baju, lalu makan. Kutunggu di dapur."
Lake hanya menghembuskan napas pelan menyadari sang kakak sedang dalam mode "kau menentangku, kita akan langsung berbeda alam". Raut wajah Sasha sangat pahit, alisnya tertarik hampir menyatu satu sama lain, dahinya berkerut, dan sudut bibirnya tak enak dilihat. Siapapun yang bertemu dengannya pasti akan mengira ia janda galak. Walau kakaknya itu tak pernah sekalipun berpacaran.
Sasha menyelesaikan sesi keramas di rambut Lake yang kini sedang duduk di atas bangku kecil di kamar mandi, menyuruh adiknya menutup mata setelah beberapa kali meratakan sabun di punggung kecilnya. Tangannya dengan lihai menyiduk air dari baskom, menyiramnya ke atas kepala Lake hingga shampo yang teraduk bersama rambut adiknya itu bersih tanpa sisa dari sana. Anak itu diam saja, memutuskan pasrah saat Sasha bersikeras ingin memandikannya. Memastikan laki-laki itu bersih setiap jengkalnya dari sisa air liur Ziekh yang sempat mengapit tubuh adiknya.
Selanjutnya gadis itu menyerahkan urusan mengeringkan badan pada saudaranya untuk dilakukan sendiri, sementara ia bergerak menyiapkan makanan yang masih sempat dibelinya sebelum sang adik dan editor datang ke rumah tempo hari. Sebotol madu segar dan empat buah panekuk manis sudah tersedia dalam waktu kurang dari dua puluh menit di atas meja dengan dua kursi di tengah-tengah dapur. Bertepatan dengan piring kedua yang diletakkannya, Lake sudah menarik kursi setelah menaruh handuk ke tempatnya untuk bergabung dan memakan hasil karya sang kakak.
Tak ada suara. Baik Sasha maupun adiknya hanya duduk diam mengunyah olahan tepung, telur, susu, dan gula itu dalam keheningan ditemani gemerisik daun-daun yang membentur satu sama lain dan jendela, juga angin siang hari yang semakin lama semakin kencang hingga membuat pohon-pohon bergoyang dari balik kaca tak bertirai. Lake berusaha menelan makanannya dengan susah payah, mencuri-curi pandang pada Sasha yang tampak tak peduli dengan sekitarnya kecuali makanan di depannya.
Lalu, bagaimana Lake ingin mengatakannya, ya?
Sebetulnya tak akan jadi masalah jika Sasha menolak, tapi entah mengapa hatinya serasa dicubit—beberapa waktu lalu ketika mendengar sendiri negosiasi dengan Valerian (ya, dia membuat penawaran lebih dulu dengannya)—ketika mengingat kembali bagaimana sosok yang klasifikasinya tak diketahui itu membawanya pada suatu bayang-bayang imaji yang membuat waktu seakan berhenti, dan mereka asyik mengobrol di dalam sana, mengabaikan bagaimana waktu harusnya berjalan di dunia nyata. Dan hasilnya tentu saja, sukses membuat Lake merasa pikirannya dicuri mentah-mentah karena pembicaraan tersebut terus memenuhi kepala.
"Kamu tidak sekolah?"
Lake hampir melempar garpunya ke segala arah ketika Sasha tiba-tiba mendongak, menggosok hidung kecil dengan tangan kanan yang memegang pisau dan garpu di anggota tubuh satunya. Anak itu diam sebentar, seperti bingung harus melakukan apa akibat reaksi terkejut yang dibawa kakaknya.
"Em... Tidak juga. Harusnya bulan ini ada beberapa pelajaran tambahan, tapi tak ikut juga tak apa-apa."
Sasha mengangguk mendengar jawaban tersebut. Ia menyodorkan lebih banyak sirup madu pada Lake sebelum mengatakan lanjutannya. "Kalau kamu mau pulang, akan kuhubungi editorku."
"Tak usah menambah pekerjaannya," tukas Lake disertai senyum tipis. "Kelihatannya dia sudah banyak kesusahan."
"Dia cuma dramatis," balas Sasha tak acuh. "Biasanya pak tua itu malah mancing waktu hari Minggu, dan mengatakan kebohongan di setiap suratnya kalau dia kerepotan meladeniku."
Lake tak memudarkan senyumnya, namun juga tak membiarkan mulutnya terbuka untuk menjawab. Pikirannya sibuk, sama sekali tak ada celah untuk tidak memikirkan bagaimana tetinggi hutan itu memintanya melakukan sesuatu. Matanya tak bergerak dari menatap sisi samping wajah sang kakak, walau sekarang jika dilihat baik-baik, semuanya kosong seperti angin lalu yang hanya berbekal ekspresi palsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things That Bring Me To You
General FictionTerus kedapatan sinyal akan kedatangan hal luar biasa seakan sudah jadi santapannya sehari-hari. Mulai dari tragedi ribuan telur, hingga pasukan hewan berkaki empat yang menginvasi rumahnya bertindak seperti tempat itu adalah markas, semua itu diyak...