Pukul tiga pagi. Anak laki-laki itu tak menemukan sang kakak di sebelahnya.
Mengucek mata sebentar, Lake beringsut turun dari ranjang milik kakaknya untuk memasukkan beberapa teguk air ke tubuhnya. Dan jika barangkali ia gagal tidur, maka pilihan terakhir jatuh pada berkeliling di sekitar rumah Sasha, yang ia sendiri heran mengapa kakaknya tahan tidak lari terbirit ketakutan selama beberapa tahun tinggal sendirian di tempat suram semacam ini.
Tapi Lake juga tidak bisa memungkiri bagusnya kualitas udara di tempat ini. Rasanya dibanding pedesaan, intensitas oksigen dan tekanan di sini lebih kuat, yang seakan mengurungnya untuk tidak keluar, dan mungkin itu juga yang jadi salah satu alasan mengapa kakaknya tidak datang padanya selama sembilan tahun berturut-turut.
Setelah keinginan pertama kali sehabis bangun tidurnya terpenuhi, Lake meletakkan gelas yang sudah dicuci ke atas pengering di sebelah cekungan wastafel. Kemudian ia mengeringkan tangan di kausnya sembarangan, menyugar poni panjangnya ke atas beberapa kali dan mengikatnya bentuk apel, membiarkan dahinya terekspos di dunia.
Sudah beberapa menit Lake hanya menatapi perabotan di rumah tersebut, berusaha membiasakan diri dengan hawa yang sangat berbeda dari kota. Meskipun pemandangan di luar tergolong menyeramkan dan tidak ada yang bisa menjamin ada hal apa yang akan tiba-tiba mencuat keluar dari balik pohon dan mengejutkan bola matanya, rumah ini memiliki banyak jendela kaca yang mengkilap. Walaupun beberapa dari mereka tampaknya mulai disarangi embun, tetapi kebanyakan terutama jendela-jendela kecil masih terlihat seperti baru. Sepertinya perempuan sedarah yang lebih tua darinya ini paling menyukai saat membersihkan jendela. Meski jika ditanya sudah pasti Lake akan menjawab hal yang berbeda.
Ah, kayaknya harus lebih sering ia menginap. Rasanya mau berapa kalipun Lake menatap kosong sekitarnya, ia tak bisa memungkiri dirinya masih terasa kecil dan tercekik. Bulu kuduknya meremang berkat hawa dingin yang terus menjajah kulit pucatnya, yang anehnya semakin lama malah semakin menusuk hingga suara batuk ia keluarkan.
Kalau sudah begini, biasanya Lake akan memanggil kakaknya untuk dipeluk. Dan baru ia sadari Sasha merupakan orang yang hebat; ketika pertama kali menjejaki rumah ini, tentu gadis itu seorang diri. Tukang pemindah perabotan tidak mungkin ikut menginap bersamanya lantaran mereka harus kembali bekerja, lalu ketika selesai membereskan segala hal, perempuan itu masih harus menyelesaikan tulisannya. Yah, walaupun dengan begitu, mungkin pikiran Sasha menjadi tidak mudah terdistraksi oleh hal-hal mencekam begini karena dari awal ia punya tujuan yang jelas dan tidak mau membuang waktunya.
Kriiit!
Krek, krek, duk!
Ah, tidak. Lake membenci hal ini.
Jangan salah sangka, walaupun di kelasnya ia sering dibilang misterius dan terkesan memiliki tampang lurus-lurus saja pada apapun, nyatanya anak itu sangat lemah jika dihadapkan dengan sesuatu yang berbau mistis. Yah, seperti contohnya saja hantu-hantu yang dibuat sebegitu menyeramkan di film-film horor, Lake mempunyai imajinasi sendiri mengenai bagaimana jika ia tak sengaja melihat mereka dari jauh, lalu ketika berkedip keberadaan mereka terasa semakin dekat? Lalu setelah beberapa kali, tiba-tiba wajah mereka yang tidak enak dilihat memenuhi indra penglihatannya? Oh, tidak, jauh lebih baik ia terkena iler sang kakak saja saat tidur daripada trauma seumur hidup.
Duk! Duk... Buk!
"NYEEEAANGGG!"
Lake berjingkat, secara refleks tubuhnya memasang kuda-kuda dan tangannya dibuka rapat memindai sekitar. Bulu kuduknya berdiri seutuhnya, dan kini matanya lebih melotot daripada ikan lohan, intinya... Lake sedang waspada.
Lantai dingin seakan menusuk telapak kakinya yang memucat, bersamaan dengan seluruh tubuhnya yang membeku sempurna. Pupil anak itu tak berani bergerak dari pakuannya, dan kini posisi anak itu juga tidak ada keren-kerennya. Ah... tidak, Lake ingin segera berlari dan memeluk Sasha hingga menjadi mayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things That Bring Me To You
Ficción GeneralTerus kedapatan sinyal akan kedatangan hal luar biasa seakan sudah jadi santapannya sehari-hari. Mulai dari tragedi ribuan telur, hingga pasukan hewan berkaki empat yang menginvasi rumahnya bertindak seperti tempat itu adalah markas, semua itu diyak...