3. The Flowers

12 2 0
                                    

"Astaga. Benar-benar manusia yang merepotkan."

"Aku sudah memerhatikannya sejak datang, dan dia memang otak udang."

"Dia aneh?"

"Ya... harusnya."

"Kalau begitu kita tidak usah heran?"

"Aaahh... aku ngantuk."

"Dia sudah melihatnya, belum?"

"Pastilah. Dan aku berani taruhan dia lagi ketawa."

"Atau mukanya serius kayak habis dapat ide setelah buang air. Pokoknya aku bertaruh pohon dua ratus tahun yang di belakang."

"Betulan, ya?! Oke, kalau gitu kamu boleh punya kawanan kudanil."

"Memang kudanil hidup di hutan?"

"Di hutan, kan, ada sungai."

"Oh, oke."

"Yasudah, kalau keluarnya serius, kudanil itu bisa kautunggangi dan aku gak boleh protes."

"Mmm... all right."

Ia terbangun saat waktu tepat menunjukkan pukul dua belas siang. Kejadian mengagetkan tadi pagi sudah cukup membuat isi otaknya terkuras habis, walau ia juga ragu dari awal organ itu mempunyai isi. Ah, tapi, pokoknya dia lelah.

Hari ini pun waktunya setoran naskah pada editornya yang walau tinggal jauh di kota, tetapi terasa begitu dekat karena teriakannya untuk cepat menyelesaikan waktu tenggat yang mengisi hari-hari penulisnya. Memang sih, ini untuk dirinya juga agar cepat dapat cairan, tapi kalau terus dibombardir seperti ini, tak pelak ia juga merasa jengkel sampai ingin menguburkan orang yang membantu kelancaran proses terbitnya karya miliknya itu di depan pohon paling besar di hutan yang mengelilingi rumahnya. Biar menyatu dengan alam.

Triririring!

Kan, baru dikata.

Benar saja, ketika membuka pintu, ia menemukan seorang tukang pos yang berusia lanjut tengah berdiri di depan pintu utama rumahnya, dan ia sudah lebih dari hafal untuk mengenali sepeda reyot tua yang hampir rubuh di belakang punggung si kakek tukang pos. Ia tersenyum ketika pak tua itu menyerahkan sepucuk surat padanya dengan tertatih, namun tetap menunjukkan keramahan dengan senyum yang terus terukir di bibir keriputnya. Setelah berbasa-basi sebentar, tukang pos itu memilih beranjak pergi dari sana masih dengan senyum yang terpatri, bedanya hal ini dikarenakan pria itu tak perlu lagi bertemu dengan si pemilik rumah di tengah hutan yang gila, setidaknya sampai kiriman berikutnya dari pengirim yang sama.

Sedangkan ia masih mengumpulkan mental untuk membuka surat kutukan tersebut.

Dear penulisku,

CEPAT KIRIMKAN NASKAHMU, JELEK! NAMAKU SEBAGAI EDITOR AKAN TERCEMAR KALAU KEBIASAAN MENGOREKSI NASKAH TERLAMBAT, KAU CUR—

Ya, ya, ya. Dimengerti.

Toh, memang naskahnya sudah selesai dan ia tinggal berjalan ke kota untuk mengantarkannya langsung ke rumah sang editor penghuni neraka itu. Santai. Semua mudah.

Oh, ya. Perkara telur-telur itu, apa masih ada di sana, ya?

Refleks manusia berpenampilan jauh dari rapi itu melompat dari singgasana kecintaannya, untuk mendekat ke arah jendela besar yang berada di ruang kerjanya dan melihat sendiri bagaimana kelanjutan kisah dari telur-telur yang ia tata di tepi lingkaran hutan beberapa jam lalu. 

Apakah hil—?! Oh.

Masih... lengkap.

Tanpa sadar bahunya menurun, kehilangan semangat lantaran ia mengharapkan sesuatu yang menarik terjadi di dunia nyata yang kejam. Namun tidak, selain beberapa telur itu berubah posisi dari berdiri menjadi tiduran, ia tak menemukan pergantian dan kekosongan apapun di sana.

Little Things That Bring Me To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang