H-1

21 8 5
                                    

"Jelaskan! Ini ada apa? Gimana bisa kalian berteman didepan murid yang sudah jatuh tidak sadarkan diri?"

"Berantem, pak." Koreksi Angkasa dan Azka. Isa hanya diam, ia menunduk. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan.

Pak Budi menghela napas pelan, "Sa.. ada apa? Kamu bisa jelaskan?"

Isa mendongak, ingin membuka suara namun suara pintu yang sangat keras mengalihkan perhatian mereka. "ANJING LO APAIN ANNA?!" Teriak Sasya yang baru saja datang dengan mendobrak pintu ruangan.

Sasya menghampiri Isa, kemudian menarik kuat rambutnya. "PEMBUNUH!"

"MATI LO JALANG!" Isa terus memberontak agar dilepaskan.

"SASYA!" Angkasa maju mendekat, melepas kasar tangan Sasya dari rambut Isa.

Sasya menoleh, "minggir lo! Gue gak ada urusan sama lo!"

"Urusan Isa, urusan gue juga!"

Pak Budi menggebrak meja. "Apa-apaan ini?! Kenapa jadi bertengkar disini?!"

"Sasya! Keluar kamu!"

Sasya menoleh kearah pak Budi, "nggak, pak. Saya bakal jelasin semua yang terjadi tadi!"

Sasya menjelaskan semua yang terjadi ditangga tadi. Ia mengarang semua cerita itu, memputar-balikkan fakta. "NGGAK! GUE GAK DORONG ANNA! LO BOHONG!" Bantah Isa berteriak.

"LO DORONG ANNA, SIALAN!"

Pak Budi menghela napas berat, ia memijat pelipisnya. "Sudah-sudah, kalian bertiga boleh keluar."

"Isa-" Pak Budi menunjuk Isa, "kamu ikut saya keruang BK."

•••

"Tapi bukan saya yang dorong Anna, bu.."

Isa terisak hebat, "saya mohon.. jangan cabut beasiswa saya, bu. Nanti saya sekolah gimana?"

Bu Lira selaku guru BK itu pun menatap iba Isa, ia menghela napas berat. "Saya gak bisa bantu apa-apa, kecuali..,"

"Kecuali apa, bu? Apapun akan saya lakukan, tapi tolong.. jangan cabut beasiswa saya, bu." Mohon Isa.

"Kecuali kamu mau meminta maaf kepada Anna jika beliau sudah siuman."

Isa menatap mata bu Lira tak percaya, "ibu percaya kalau saya yang dorong Anna?"

Bu Lira menggeleng. "Saya tidak tau harus percaya atau tidak, sedangkan bukti sudah ada didepan mata. Tadi Sasya menjelaskan semua kejadiannya kepada saya."

"Bu, plis. Saya gak dorong Anna.." Lagi-lagi air mata nya keluar tanpa diminta.

"Tap--" Belum selesai melanjutkan ucapan nya, ketukan kencang dari pintu mengalihkan perhatian mereka berdua.

Plak!

"KURANG AJAR! KAMU APAKAN ANAK SAYA, HAH?!" Seorang wanita tua dengan entengnya menampar Isa kuat.

"Bu, ibu tenang dulu, ya."

Linda -ibunda Anna menoleh, matanya memancarkan amarah. Ia melepas kasar lengan bu Lira. "Gak bisa, bu! Dia sudah membuat anak saya pendarahan dirumah sakit!" Ia menangis kencang.

"Anak saya, bu..." Bahunya merosot, ia terduduk dilantai. "Apa salah anak saya sampai kamu dorong dari tangga?" Suaranya memelan, tak seperti tadi.

Isa menggeleng kuat-kuat, air matanya sudah menetes sedari tadi. Ia menunduk, "bukan saya yang dorong anak ibu.."

Linda mendongak, menatap nyalang Isa. "MASIH GAK MAU NGAKU KAMU, HAH?!" Ia mendorong bahu Isa kencang sampai terdorong kebelakang.

"Ibu tenangin diri ibu dulu," bu Lira segera menyuruh Isa keluar dari ruangan.

•••

Isa menutup pintu ruangan, ia berbalik dan menatap kaget kepada semua teman-teman nya yang sedari tadi sudah ada diluar ruang BK.

Dara dan Jingga maju menghampiri Isa, satu tamparan membuat Isa tertoleh kesamping. "Gue gak punya sahabat kayak lo, bajingan" Bentak Dara kasar.

Isa sedikit terkejut dengan bentakan Dara, ia baru mendengar Dara membentaknya dengan menggunakan kata kasar. Ia menatap Dara dan Jingga, serta anak kelas XI IPA 2. "Jadi.. kalian gak percaya sama gue?" Tanya nya dengan nada pelan.

"Kita pengin percaya sama lo, Sa. Tapi buktinya udah ada didepan mata." Sahut murid lain.

Mereka semua menunduk, tak kuasa menatap mata Isa yang memancarkan kekecawaan. "Gue kecewa sama lo, Sa!" Dara segera menyuruh semua teman-teman nya untuk pergi dari ruang BK.

Isa memegang pipinya yang berdenyut nyeri, tiga kali tamparan ia dapatkan dipipi kanan nya. "Sa, kita obatin luka lo dulu, ya?" Isa mendongak, ternyata Angkasa.

"Lo gak ikut sama mereka?" Angkasa menggeleng, "gue percaya sama lo, Sa. Kita ke UKS sekarang, ya."

Angkasa membawa Isa ke UKS untuk mengobati pipinya yang mulai membiru. "Gue gak pernah mikir bakal kejadian kayak gini," Matanya menatap kosong kearah depan.

"Gue gak tau harus bilang apa ke ayah tentang kejadian ini." Luruh sudah pertahanan nya, ia terisak.

Angkasa segera merengkuh tubuh lemah Isa. Ia tau, Isa sedang membutuhkan bahu untuk bersandar. "Nangis, Sa. Keluarin semuanya,"

"G-gue harus apa, Sa? Bukan gue yang dorong Anna..,"

"Gue percaya sama lo,"

Isa semakin terisak. Kemana ia harus singgah? Hanya Angkasa yang mempercayai dirinya, kedua sahabatnya pun kini membenci dirinya bahkan Azka sekalipun.

"Cuman lo, Sa... cuman lo yang percaya sama gue, sekarang satu sekolah benci gue karna hal ini."

Isa melepaskan pelukan nya dari Angkasa, ia menatap Angkasa yang sedang menatapnya intens. "Apa gue harus minta maaf sama Anna? Biar beasiswa gue gak dicabut, dan semua anak kelas juga gak benci gue lagi."

Angkasa menggeleng pelan, "ini bukan kesalahan lo, Sa. Kalopun lo udah minta maaf sama Anna apa mungkin semua orang bakal ngedeketin lo lagi?"

Ya, Angkasa benar. Itu hanyalah kalimat ketidakmugkinan terjadi. "Gue harus apa?"

H-1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang