H-1

21 8 0
                                    

Koridor tampak sepi, murid lain juga sudah dipulangkan karna kejadian tadi. Isa bersandar dikursi, ia menatap kosong lapangan basket yang biasanya dipenuhi oleh anak-anak cowok.

Isa menghela napas pelan, ia lelah dengan semuanya. Penyakit yang terus menggorogoti tubuh nya, rambut yang sudah tidak selebat dulu lagi. Entah sampai kapan ia masih bisa bertahan dengan keadaan seperti ini.

Ia melangkah memasuki lapangan, melempar tas nya kesembarang arah. Lalu tertidur menatap langit yang sudah gelap tertutup awan hitam. Sepertinya akan turun hujan, langit pun tahu bahwa sekarang Isa sedang sedih.

"Tuhan kenapa jahat sama Isa?" Isa menatap langit yang kian menggelap, "Isa salah apa, Tuhan?" Ia memejamkan matanya. Menghalau agar air matanya tak turun.

"Isa capek, Isa sakit, Isa pengen nyerah Tuhan!" Pekik Isa kuat-kuat.

"Kenapa harus Isa?" Suaranya melemah, ia membuka matanya. Air matanya turun tanpa diminta, isakan kecil keluar dari bibir mungil nya.

Ia berdiam diri dilapangan sampai pada langit menumpahkan air nya. Saat itulah Isa menangis sejadi-jadi nya. Ia mengeluarkan semua yang sedari tadi ia tahan. "Isa harus bilang apa ke ayah?"

•••

Isa berjalan dengan langkah pelan, ia melewati koridor sekolah. Pakaian nya sudah basah akibat terkena air hujan. Tak lama ada yang menarik lengan nya menjauhi sekolah.

"L-lepas!" Isa terus memberontak.

"Tante siapa?!" Wanita yang sudah membawa Isa keluar sekolah itu pun berbalik.

Betapa terkejut nya Isa saat tahu siapa yang telah menarik nya kuat. "Kenapa? Kaget?"

Linda -mama Anna menarik kembali lengan nya menuju mobil.

"Tante mau bawa saya kemana?" Tanya Isa pelan. Tangan nya terasa perih akibat ditarik dan dicekal begitu keras oleh Linda.

"Diam kamu! Tidak usah banyak tanya, kamu harus meminta maaf kepada anak saya!"

Isa menggeleng, "bukan saya yang dorong dia!" Bantah Isa tak terima.

Linda segera menyalakan mesin mobil nya, dan berlaju dengan kecepatan tinggi.

Saat sudah berada dirumah sakit, ia kembali menyeret Isa melawati lorong rumah sakit.

Isa memejamkan matanya ketika Linda menyentak kasar tangan nya. "Masuk! Minta maaf kepada anak saya!" Bentak Linda saat sudah berada didepan ruangan Anna.

Isa hanya bisa pasrah dan menurut memasuki ruangan serba putih itu. Ia menatap sekeliling yang ternyata ada teman-teman nya juga, bahkan kini Azka sedang menyuapi Anna.

Sama halnya dengan Isa, mereka semua turut menatap Isa dengan tatapan berbeda. Dara dan Jingga memilih untuk membuang wajah asal, Azka menatap teduh Isa.

"Cepat bersujud dikaki anak saya!" Linda mendorong Isa sampai bersujud tepat dikaki Anna.

Tidak ada yang membantu Isa, mereka hanya menatap Isa dengan berbagai tatapan. Angkasa yang baru datang dari luar dan melihat pemandangan yang tidak mengenakan itu segera menghampiri Isa. "Bangun! Anna bukan Tuhan!"

Isa diam tak bergerak sedikitpun, Angkasa segera menarik kasar lengan Isa sampai memerah. "Tatap gue, Sa!"

"Apa?"

"Lo gak perlu sujud, Sa! Dia  bukan Tuhan!" Ucap Angkasa menunjuk Anna.

Isa menunduk. "Apa-apaan kamu?! Biarkan dia bersujud dihadapan kaki anak saya! Tindakan dia sudah keterlaluan!"

"Tindakan anda yang sudah keterlaluan!" Bentak Angkasa.

Linda tersentak kaget, tak terkecuali semua yang berada didalam ruangan. "Anak anda bukan Tuhan! Anda boleh menghukum Isa, menyuruh dia untuk meminta maaf kepada Anna. Tapi tidak dengan menyuruhnya bersujud dihadapan anak anda!"

Angkasa menatap semua yang berada diruangan serba putih itu dengan tajam. "Kenapa lo semua diam disaat Isa sedang ditindas?!"

Kini Angkasa menatap Dara dan Jingga, ia berjalan menghampiri mereka. "Lo berdua sahabat Isa 'kan?"

"Gue gak punya sahabat yang gak punya hati nuraninya sama sekali!" Bentak Dara.

"Justru lo berdua yang gak punya hati! Lo berdua sahabat Isa, dengan mudahnya kalian percaya sama omongan orang lain? Kalian gak pantes disebut sahabat!" Mereka semua menunduk, mereka agak terkejut mendengar Angkasa berbicara begitu panjangnya.

Angkasa mundur, kemudian menoleh untuk menatap Azka. "Lo juga sahabat Isa dari kecil, Zka! Kemana sahabat yang gue kenal dulu?! Kalian semua gak lebih dari para bajingan diluaran sana!"

Ia segera berjalan kearah Isa, kemudian menarik lengan nya untuk keluar dari ruangan.

•••

Angkasa membawa Isa ke rooftop rumah sakit, "seharusnya lo lawan mereka, Sa."

Isa diam tak menjawab. "Lo punya hak buat marah. Buat ngelawan mereka semua karna lo gak salah."

"Gue kalah orang, Sa.." lirih Isa.

"Gue kalah suara."

"Gak ada yang bela gue.."

Angkasa memegang dagu Isa untuk menatap matanya, "tatap gue, Sa."

"Gue sahabat lo. Gue bakal selalu ada disamping lo."

Isa terdiam, keheningan menyelimuti mereka. Angkasa melepas tanganya yang berada didagu Isa. Satu kata. Canggung. "Ekhem, gue mau beli minum. Lo mau nitip?"

"Gue mau aqua aja."

"Oke.

Setelah kepergian Angkasa, Isa menatap kearah depan dengan pandangan hampa. Tak lama terdengar suara derap langkah kaki dari arah belakang. "Loh, Sa? Kok cepet ba-"

Isa mematung ditempat, ia menatap bingung sekaligus terkejut pada lelaki yang berada dihadapan nya. "Sa.." panggil Azka pelan.

Ya, lelaki itu adalah Azka. Setelah memastikan Angkasa sudah benar-benar pergi, ia berjalan menghampiri Isa.

"Maafin, gue.." Azka menunduk dalam, ia dapat melihat dari mata Isa yang memancarkan kekecewaan. "Gue tau gue salah, gak seharusnya gue tampar lo disekolah, Sa. Gue brengsek, Sa." Azka mendongak menatap Isa yang masih diam.

"Pukul gue, Sa. Tampar gue! Gue brengsek! Gue bego! Gue tolol!" Azka meraih lengan Isa untuk menampar diri nya.

Isa menggeleng lemah, "g-gue gak bisa. Gue pengen nampar lo, Zka. Tapi kenapa susah banget?" Tanya Isa dengan suara bergetar.

"Gue pengen tampar lo, pukul lo, atau malah tebas kepala lo. Tapi kenapa susah banget buat gue mukul lo, Zka? KENAPA?!" Azka menunduk.

"Gue yang bego, Zka. Gue lemah, gue bener-bener lemah. Buat mukul lo aja gue gak bisa, ngata-ngatain lo aja gue gak bisa, Zka." Lidah nya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.

"Gue capek, Zka. Gue difitnah, lo diem. Malah lo tampar gue." Isa tertawa sumbang, "bahkan sahabat gue sekarang aja udah gak percaya sama gue, Zka."

"BILANG SAMA GUE, GUE HARUS APA?!" Teriak Isa pada Azka yang masih diam.

"SALAH GUE APA, SIALAN?! KENAPA SEMESTA GAK PERNAH ADIL SAMA GUE?! KENAPA HARUS GUE?! JAWAB GUE, AZKA DIRGANTA!" Teriak Isa sekali lagi. Bahunya melemas, ia terduduk dilantai.

"Kenapa harus gue.." suaranya melemah, ia mendongak menatap Azka yang masih diam.

"G-gue capek, Zka. G-gue pengen ikut ibu." Azka mematung. Tidak, tidak, Isa tidak boleh pergi!

Azka berjongkok didepan Isa. "Jangan ngomong gitu, Sa. Gue gak mau lo pergi, ayah lo gimana, Sa?" Tanya Azka pelan.

"Ayah?" Isa tersadar, ia sama sekali belum mengabari Fernan. Ia takut ayah nya tau mengenai hal ini dari orang lain.

"G-gue harus pulang. Gue belum ngabarin ayah!" Isa berdiri, kemudian berjalan menuruni tangga.

Azka ikut berdiri, dan berjalan dibelakang Isa. Ia segera meraih lengan Isa. "Biar gue antar."

"Gak usah, Anna lebih butuh lo."

H-1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang