03. Sebuah Makna Kebersamaan

6.8K 1.3K 61
                                    

Terik matahari menjadi musuh terbesar mereka semua saat ini. Berdiri menghadap tiang bendera semenjak 20 menit lalu ternyata mampu membuat keringat mengalir di kening mereka. Mereka--Ricky, Juan, Sean, Satya, Azka, dan Reyhan--kini berdiri menghadap ke tiang bendera sekaligus menghadap tepat kearah terik matahari yang begitu menyorot. Ricky masih setia menatap sengit Reyhan yang kini berdiri di sebelahnya, dia masih ingat betul bagaimana cowok itu tadi pagi membuat baju seragamnya basah.

Iya, laki-laki itu seorang Reyhan Maverick, nama yang ia baca dari tanda pengenal seseorang yang ternyata adalah kakak kelasnya itu.

"Gara-gara lo kita telat."

"Gara-gara kalian baju gue basah."

Entah sudah berapa kali Ricky mengumumkan kata-kata itu. Dia menatap sengit mereka bertiga yang menjadi dalang dari semua kesialan yang ia dapatkan di pagi yang sebenarnya indah ini. Jika saja dia memang tidak telat barusan, pasti kali ini ia sudah duduk santai di kursinya dan menikmati angin dari kipas yang ada di kelasnya.

"Udah lah, Cil. Lagian kita juga dihukum, kan?" Azka menyahut untuk membela diri.

"Tapi ini baju gue basah!"

"Nanti juga kering. Ga usah alay." Reyhan selalu bisa menyulut emosi anak itu, bahkan kini Ricky sudah menurunkan tangannya dari sikap hormat dan berbalik menatap kearah Reyhan.

"Maksud lo apa?! Gue beli baju ini pake duit, bukan daun!"

"Yaelah, baju gitu doang gue bisa beli sepuluh."

"Kalian diem bisa ga sih?! Udah panas malah makin panas nih!" Satya yang berada paling belakang menyentak mereka berdua yang hanya beradu argumen sedari tadi. Dan akhirnya mereka kembali fokus melanjutkan hukuman mereka yang baru berjalan 20 menit. Masih kurang lebih satu jam lagi waktu yang dibutuhkan untuk mengakhiri hukuman yang mereka dapatkan.

Mereka semua masih kuasa berdiri, walaupun dengan keringat yang sudah membasahi pelipis hingga leher mereka.

Namun berbeda dengan Juan yang terlihat tak baik-baik saja, bibirnya yang memucat juga tangannya yang mulai sedikit gemetar itu terlihat tak wajar. Namun sayangnya tak ada yang menyadari itu karena terlalu fokus menjalani hukuman masing-masing, hingga tubuh cowok itu ambruk ke belakang dan menabrak Azka.

"EH, ANJIR!" Azka kaget bukan main, namun untung saja dia memiliki reflek yang cukup baik dan menahan tubuh Juan.

"Juan!"

Semuanya gaduh. Sean yang mulai mengoceh kepada Azka agar segera membawa Juan ke UKS, juga ada Ricky dan Reyhan yang kini kembali cekcok entah mempermasalahkan hal apa, berbeda lagi dengan Satya yang hanya bisa diam melongo, tak mengerti apa-apa.

"Aduh! Kok pada bengong?! Ini temen gue sekarat woy!" Sean berjalan kearah Azka dan langsung saja mengendong Juan di belakang punggungnya, tentu saja dengan bantuan Azka, sedangkan Satya memimpin jalan di depan untuk menuju ke UKS. Mereka semua berjalan cepat meninggalkan Reyhan dan Ricky yang masih berada di tengah lapangan.

"Mau lo apaan sih, Cil?!"

"Ga tau! Pokonya gue benci banget sama lo! Liat noh, temen gue sampek pingsan. Kalo sampek dia kenapa-napa, awas aja lo!"

"Kok jadi gue yang salah?"

"Ya kan emang lo yang salah."

"Affah iyah, dek?"

"Geli anjim!"

"HEH KALIAN NGAPAIN?!" Mereka langsung menoleh kepinggir lapangan dan melihat Pak Marto, salah satu guru Bimbingan Konseling teman Bu Tika. Mereka adalah dua orang yang biasanya tak segan-segan memberi hukuman kepada murid-murid SMA Cakrawala tanpa memandang bulu.

1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang