Sean tak tahu sejak kapan kecintaannya pada dunia sastra muncul. Kini, dia menatap setiap jajaran novel yang tertata rapi di rak toko, karya penulis-penulis terbaik. Mulai dari buku fiksi hingga non-fiksi semuanya ada di sana. Entahlah, dia hanya suka bagaimana penulis-penulis itu merangkai sebuah kalimat yang secara tak sadar berhasil masuk ke relung hatinya. Sajak, puisi, cerpen, novel, mereka adalah jawaban dari semua pertanyaannya tentang hidup, karena menurutnya dengan membaca dia bisa melihat sudut pandang orang lain yang tentu saja berbeda dengannya, sudut pandang terhadap segalanya.
"Gimana cara mereka nulis, ya? Sampai-sampai bisa benar-benar masuk ke hati, ga bisa lupa berhari-hari. Bahkan, karya-karya mereka tuh ga jarang menginspirasi banyak orang." Ucapnya, mengambil salah satu buku dan membolak-balik benda persegi itu dan berhenti di bagian cover belakang.
"Nulis itu ga semudah yang orang-orang bayangkan." Dia menaruh kembali buku yang sempat dia ambil barusan ke tempat semula, dia sudah memutuskan untuk tidak membeli apa-apa kali ini, karena novel di kamarnya yang baru saja dia beli beberapa Minggu yang lalu mulai menumpuk, dan belum terbaca sama sekali. Sean adalah tipikal pembaca yang royal, dia akan membeli jika banyak orang mengatakan sebuah buku begitu bagus, dan tentu saja dia membeli karena tertarik dengan apa yang dibicarakan.
Dia bahkan tak melewatkan satu buku pun untuk dibeli.
Akhirnya langkah laki-laki itu berjalan keluar toko buku setelah pamit dengan bibi yang menjaga toko, seorang wanita yang sudah bekerja di sana semala lebih 6 tahun lamanya, dan tentu saja dia mengenal pembeli tetapnya, Sean.
Sore ini langit terlihat cantik dengan warna jingga nya, juga awan-awan tipis yang menghiasinya menambah keindahan kanvas milik semesta. Sean menatap bagaskara lainnya di depan sana, terlihat sebentar lagi akan tenggelam dan menyisakan pekat malam. Saat-saat berjalan seperti ini, dia selalu mengingat momen-momen dimana Juan bersamanya, bersahabat sejak Sekolah Menengah Pertama membuat mereka saling mengenal satu sama lain, bahkan dalam jangka waktu yang cukup singkat itu, mereka bisa sangat akrab.
"Hidup itu memiliki fasenya tersendiri." Tak pernah dia lupakan kata Juan di sore itu, saat mereka baru pulang dari perpustakaan untuk membaca buku, berjalan bersama dibawah senja hari itu.
"Terus, apa fase-fase di setiap orang itu sama?"
"Sama, tapi berbeda." Sean mengerutkan keningnya tanda tak mengerti, berharap ada penjelasan dari Juan untuk ungkapannya barusan. Namun yang laki-laki itu lakukan hanyalah menatap Sang Bagaskara yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat.
"Sama tapi berbeda? Gimana maksudnya?" Mau tak mau Sean harus membuka suara agar semua pertanyaan yang ada di benaknya bisa dijawab sepenuhnya.
"Iya, sama tapi berbeda. Kek mereka yang sama-sama saling mencintai tapi beda agama." Juan mengatakan hal itu dengan gelak tawa singkat diakhir kalimat, membuat Sean geram dengan apa yang dilakukan oleh anak laki-laki satu ini.
"Ju, gue serius!"
"Lah, yang bilang gue bercanda siapa?" Sean memalingkan wajahnya, enggan menatap Juan yang masih terkekeh kecil. Nanti siapa tau dia kelepasan dan menampol Juan begitu saja, kasihan nanti Juan yang harus merasakan panas yang menjalar di tangan kanannya. Tapi tipikal orang seperti Juan yang senang sekali memancing emosi memang tampolable.
"Sen, coba sekarang gue tanya sama lo. Suka sama orang yang sudah jelas-jelas beda agama, itu salah?"
"Salah, lah!"
"Ngga. Mereka ga salah." Sekali lagi Juan berhasil membuat Sean memutar otak. Ingin rasanya Sean berteriak sekarang, dia benar-benar benci jika disuruh berpikir. Padahal dia hanya bertanya singkat barusan, tapi sekarang kenapa pembicaraan mereka malah menjalar sampai ke sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] "Ini hanya kisah tentang kami, tujuh luka yang beharap bisa berakhir bahagia." Hari itu, saat tujuh luka dengan masalah berbeda berhasil dipertemukan oleh semesta. Mengukir sendiri kisah mereka yang penuh luka, di atas lembar aksar...