Kejadian beberapa jam yang lalu sungguh pengalaman yang tak akan pernah Kanara lupakan seumur hidupnya, apalagi sosok Azka yang baru saja resmi menjadi temannya. Kini laki-laki itu sedang terduduk di kursi tunggu, dengan tangan kanan yang dililit perban yang sempat ditolaknya mentah-mentah barusan.
"Gue ngga mau di perban! Kan cuma luka kecil doang!" Begitu katanya. Namun setelah menerima tatapan tajam dari Kanara membuatnya menelan ucapannya bulat-bulat, dan membiarkan apapun yang ingin gadis itu lakukan.
Akhirnya, sekarang Azka duduk dengan tangan kanan yang dililit perban, hasil paksaan Kanara yang memakan waktu beberapa menit.
"Ju, cepet ke rumah sakit. Sean baru aja masuk UGD." Laki-laki itu menutup telpon setelah mengatakannya pada Juan, dan tentu saja anak itu akan datang membawa pasukan. Dia sudah menyiapkan diri manakala seseorang yang sangat dia hindari ikut hadir di sini.
"Ra." Kanara menjawab apa adanya dengan sebuah deheman singkat.
"Lo ngga pulang? Bentar ortu lo nyariin." Itu yang Azka pikirkan sejak tadi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan itu tentu saja sudah terlalu malam untuk gadis seperti Kanara pulang.
"Nggak pa-pa. Gue bilang sama Mama kalo temen gue masuk rumah sakit dan gue harus anter dia. Udah." Jawabnya simpel.
"Perasaan temen gue, deh, bukan temen lo."
"Eitss! Berbagi itu indah. Temen lo temen gue juga." Ucapnya melayangkan jari telunjuknya di udara. Tapi lama-kelamaan gadis itu mulai terdiam memikirkan sesuatu.
"Lah, iya juga, ya? Emang kita temenan?" Tanya Kanara yang akhirnya tersadar.
Alis Azka menukik, dia kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Lah, kita kan sudah pasutri." Kanara kini menatapnya dengan tatapan kaget.
"Sejak kapan?"
"Beberapa menit lalu."
"Ya udah. Get well soon my husband." Laki-laki itu tekekeh, melupakan sejenak rasa kesalnya pada Kanara yang telah melilit perban di tangannya. Sungguh aneh menerima seseorang yang tiba-tiba datang dan masuk ke kehidupannya seperti Kanara. Masih banyak hal yang tak Azka ketahui tentang gadis yang tiba-tiba menjadi temannya ini. Gadis berambut sepunggung, dengan wajah yang terlihat dewasa namun manis sekali, apalagi senyum wanita itu saat tertawa karena leluconnya.
Saat dia tertawa, dunia seakan-akan bergerak lambat dan itu membuat Azka benar-benar merekam tawa gadis itu dalam memorinya. Tawa yang menjadi candu, dan tanpa sadar gadis itu dapat membuat Azka mengaguminya dalam waktu yang bisa dibilang benar-benar singkat.
"Bang Azka!" Di lorong rumah sakit yang sepi itu suara Juan menggema, laki-laki itu berlari menuju Azka dan Kanara gang diikuti oleh pasukannya. Siapa lagi jika bukan Mahesa, Satya, dan Ricky, bahkan Cantya dan Nadya juga berada di sini.
"Juan lo ngapain bawa rombongan?" Azka langsung saja berdiri dari duduknya, namun Juan sudah terlanjur panik dan hanya bisa menatap pintu ruangan yang sepenuhnya masih tertutup itu.
"Sean gimana?!" Dia malah kembali bertanya dengan panik.
"Sean nggak pa-pa, cuma masih pingsan aja. Katanya dia terlalu shock, dan sekarang masih pingsan. Tadi sempet sesak nafas tapi udah dikasih oksigen sama dokter. Dan tinggal tunggu dia sadar aja."
"Udah boleh masuk?"
"Boleh, tapi maksimal dua orang, jangan terlalu sering." Juan yang mendengar itu langsung saja berjalan memasuki ruangan tempat Sean di rawat, Ricky menyusulnya dan mereka semua membiarkan Juan dan Ricky untuk melihat Sean lebih dahulu.
"Itu tangan lo kenapa, Ka?" Mahesa pertama kali sadar dengan perban yang melilit lengan kanan Azka. Laki-laki itu hanya menggeleng. "Nggak pa-pa. Cuma luka dikit--"
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] "Ini hanya kisah tentang kami, tujuh luka yang beharap bisa berakhir bahagia." Hari itu, saat tujuh luka dengan masalah berbeda berhasil dipertemukan oleh semesta. Mengukir sendiri kisah mereka yang penuh luka, di atas lembar aksar...