Hari-hari terlewati dengan baik. Sean dan Sena juga sudah kembali ke rumah setelah seminggu menjalani perawatan untuk luka-luka yang mereka terima. Bahkan, kini seorang pria yang menjadi dalang dari semua luka yang mereka terima sudah berada di tempat yang seharusnya.
"Apa gue udah bisa bilang, kalo kisah ini sudah berakhir bahagia?" Mereka semua menatap kearah Ricky yang kini terduduk sembari bersandar di dinding kos Mahesa.
"Gimana bisa berakhir bahagia? Gue belum ketemu tujuan gue, Rik." Reyhan berucap, kemudian menghembuskan nafas panjang. Sampai saat ini, sampai detik ini setelah seminggu berlalu dia benar-benar berusaha keras untuk merelakan gadisnya, walaupun itu begitu sulit sebenarnya.
"Lo juga, kan?" Ungkap Juan, beralih menatap Ricky yang kini mulai menerbitkan senyum tipis, sangat tipis sampai tidak terlihat.
"Kisah gue udah selesai, Ju. Begitupun lo sama Sean. Kita bertiga sudah berakhir bahagia seperti apa yang kita pengen."
"Tapi lo baru aja kehilangan."
"Iya, kehilangan sebuah luka. Dan sekarang hal itu nggak akan pernah gue rasakan lagi." Ricky kini tanpa ragu menerbitkan senyumnya. Juan merasa aneh, baru beberapa saat lalu laki-laki itu bercerita sembari menangis. Tapi kali ini dia sudah tersenyum.
"Ju, gue udah ketemu sama orang yang ngelahirin gue dan itu aja udah bikin gue bahagia. Dan masalah gue hidup sendiri sekarang, biarkan itu berjalan semestinya. Gue udah bahagia tanpa harus balik ke Semarang. Gue bahagia di sini, bareng kalian, dengan kesederhanaan. Kalian rumah gue, dan gue nggak bisa kemana-mana kalo rumah gue di sini."
Entah mengapa itu terdengar begitu menyentuh. Mereka semua yang mendengar itu tersenyum, Ricky mereka sudah dewasa. Entah apa yang terjadi jika anak ini benar-benar pergi.
"Untung aja lo nggak pergi, cil! Nanti kalo lo pergi dimana lagi gue cari partner gelud?" Reyhan merangkul bahu anak laki-laki itu membuat yang lain terkekeh pelan. Memang, akhir-akhir ini mereka sudah jarang sekali ditemukan adu mulut. Dan mengingat bagaimana mereka bercerita tentang lampu dan jalanan kota itu membuat Reyhan dan Ricky sadar, bahwa mereka tak akan pernah benar-benar bermusuhan. Mereka tetap teman.
"Kalo orang macam lo, sama siapa aja bisa gelud, Bang."
"Iya, apalagi sama Bang Sat." Tambah Juan.
"Wah, ngomongin gue! Awas aja lo pada." Satya menyahut dari depan, sedang memetik mangga bersama Mahesa. Mungkin ini akan menjadi panen terakhir. Mereka semua terkekeh, telinga laki-laki itu ternyata lebih jeli daripada apapun.
"Gue diem-diem diomongin, nih gue petikin mangga dengan niat baik malah kalian omongin. Kurang baik apa coba gue--"
"MEOW!"
"ANJIR!"
Laki-laki yang sedang membawa sebuah keranjang yang berisi banyak mangga itu kaget saat dia merasa menginjak sesuatu. Hingga sosok Oyen yang sedang memperhatikan ekornya itu menjadi pusat perhatiannya.
"BANG SAT LO APAIN OYEN GUE!"
Juan berlari dari arah dalam dengan kecepatan di atas rata-rata, seolah-olah sedang menggunakan sepatu super seperti yang di televisi-televisi. Tapi bedanya laki-laki itu kini berlari tanpa alas kaki.
"Ya Allah, Yen, maap! Gue nggak liat lo, soalnya lo kecil banget." Kucing oren yang baru saja menjadi korban itu menatap Satya ganas walaupun sudah berada di gendongan Juan. Ingin sekali dia mencakar wajah tampan itu, tapi kasihan, nanti Satya jadi trauma pada kucing. Satya hanya tak tahu, di balik tatapan tajam yang Oyen berikan, ada banyak sumpah serapah yang kucing itu ungkapkan berkali-kali di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] "Ini hanya kisah tentang kami, tujuh luka yang beharap bisa berakhir bahagia." Hari itu, saat tujuh luka dengan masalah berbeda berhasil dipertemukan oleh semesta. Mengukir sendiri kisah mereka yang penuh luka, di atas lembar aksar...