09. Masa Kecil Kurang Bahagia

4.5K 814 34
                                    

Hallo guys, aku cuma mau bilang kalo bab ini lumayan panjang. 3,9 word lebih, jadi semoga kalian ga bosen, ya!

Happy reading ~








Bagi Ricky, kesalahan terbesar selama dirinya hidup di dunia adalah bagaimana dia terlahir ke dunia. Terlahir sebagai sebuah kesalahan itu adalah kenyataan yang paling menyesakkan baginya. Namun apa yang harus dia lakukan selain sabar dan menerima? Menurutnya tak akan berguna jika dia mengeluh. Semuanya akan berjalan seperti biasanya, karena dia bukan siapa-siapa di dunia ini. Dia hanya sebuah kesalahan yang terlahir di dunia dalam bentuk luka. Tak ada yang mau berada di posisinya, terlalu sulit mengahadapi semuanya untuk Ricky. Takdir yang dia jalani salah, walaupun kenyataannya takdir tak pernah salah.

Kata Juan beberapa saat lalu, keluarga juga termasuk sesuatu yang akan pergi dan tak mungkin kembali. Tetapi di hidup Ricky, keluarga itu hilang, semenjak dia lahir ke dunia. Namun mengingat bagaimana dia dibesarkan di tempat ini membuatnya bersyukur bahwa di semesta masih ada tempat yang mau menerima dirinya.

Kedua iris gelap yang perlahan menghangat itu mengeja satu-persatu huruf yang tertera pada papan nama. Dan perlahan senyum itu terbit setelahnya.

Panti Asuhan Wira Sanjaya.

"Bang Iky!"

Segerombolan anak dengan pakaian apa adanya datang bergerombol dari dalam ruangan dan mengerumuni mereka, senyum terlihat merekah pada bibir tipis anak-anak itu. Terlihat sangat bahagia dengan kehadiran Ricky di sini tak terkecuali Ricky yang sudah tak bisa menahan senyumnya untuk lepas sedari tadi.

"Kalian apa kabar?" Ricky tersenyum menatap anak-anak di depannya yang kiranya berjumlah delapan orang. Menepuk salah satu kepala anak itu dengan senyum yang masih sama.

"Kita baik, Bang! Ayok masuk, Abang tau ga? Kemarin kita dapet banyak banget makanan dari kakak-kakak baik yang mampir kesini." Salah satu anak laki-laki menarik tangan Ricky dan mengajaknya masuk kedalam bangunan yang sudah terlihat tua, namun pada bangunan inilah anak-anak kuat seperti mereka dibesarkan dengan kesederhanaan. Bangunan yang didalamnya tinggal puluhan pemimpi, juga pejuang yang sampai saat ini masih melangkah untuk mengejar apa yang seharusnya menjadi hak mereka.

"Abang!"

Yang lainnya menoleh kearah anak perempuan berkuncir kuda yang datang dengan membawa boneka beruang. Mahesa menatap gemas anak itu lalu berjongkok menyamai tingginya.

"Kenapa, cantik?"

"Ayo macuk, abang-abang ga pengen macuk? Ayo ikut Caca." Anak yang kiranya berusia tiga tahun itu memilih untuk menarik jari telunjuk Mahesa yang sudah sebesar kepalan tangannya. Mahesa hanya tersenyum mengikuti langkah kecil di depannya, andai saja dia punya adik perempuan, pasti akan sangat menyenangkan. Tapi rasanya itu mustahil, jadi dia hanya berharap akan ada seorang gadis kecil yang akan memanggilnya ayah di masa depan nanti.

Rasanya sangat lucu saat melihat tangan besar Mahesa digenggam oleh jari-jemari mungil miliknya. Anak itu benar-benar menggemaskan, ingin rasanya Mahesa membawa pulang anak itu dan dijadikannya adik. Namun sayangnya umur mereka terpaut jauh, takut nanti dikira anaknya bukan adiknya.

Anak perempuan itu membawa mereka sampai di depan pintu. Di sana saja mereka bisa melihat seberapa ramainya bangunan sederhana ini. Banyak anak terlihat duduk bersama-sama membagi tawa, sebuah kesederhanaan yang menghangatkan. Kini mereka bingung harus bagaimana, tidak mungkin mereka harus menganggu Ricky yang kini sedang melepas rindu bersama teman-teman kecilnya.

"Bang! Sini." Ricky jauh lebih peka dari yang mereka kira, bahkan laki-laki itu kini sudah melambaikan tangan kepada mereka semua yang akhirnya berjalan mendekat.

1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang