Ruangan itu terasa begitu hangat dengan tawa yang berulang kali terdengar. Mereka semua berkumpul, tentu saja bersama Cantya juga. Ditemani sepiring kacang yang baru saja direbusnya, mereka mengobrol tentang banyak hal sedari tadi.
"Jadi kalian semua ketemu, gara-gara kena hukum Ketua OSIS?" Ricky mengangguk, membuat Cantya yang sedari tadi mendengarkan cerita mereka terkekeh kecil. Awalnya wanita itu hanya bertanya bagaimana mereka bisa bertemu, dan tentu saja Ricky menceritakan hari dimana dia dihukum gara-gara kesiangan masuk, dan tak lupa menceritakan betapa dendamnya ia pada Reyhan, Satya, dan Azka.
"Masih aja diinget, Rik. Lagian udah lama juga." Ucap Satya, setengah mengunyah kacang.
"Udah lama memang, tapi rasa malunya masih sampek sekarang! Lo ga tau gimana komuk Pak Marto setiap kali ketemu gue." Juan tertawa lepas bersama Sean jika mengingat hal itu. Ricky sepertinya adalah satu murid kesayangan Pak Marto, karena itu dia selalu diperhatikan. Hahahaha.
"Itu juga jadi hukuman pertama gue selama gue sekolah."
Meraka semua menatap Azka yang baru saja bersuara. Namun Satya dan Reyhan sudah tak heran mengapa dia mengatakan hal itu.
"Kan, lo anak emas. Semua guru juga kali ditanya kenal Alazka anak kelas IPS 1 ngga? Mereka pasti kenal." Sahut Reyhan.
"Iya. Apalagi kalo jalan bareng lo, Ka. Nanti pasti bakalan ada adek kelas yang teriak-teriak kek Tarzan. 'HUAA ADA KAK AZKA!' 'YAAMPUN KAK GANTENG BANGET!'" Satya meniru persis seperti yang dilakukan adik-adik kelas mereka ketika Azka melintas.
"Iya! Gue kadang-kadang sampek pede banget gue kira mereka bilang gue yang ganteng. Baru aja mau bilang makasih, gue lupa kalo di samping gue ada Azka."
Mendengar ungkapan itu membuat mereka semua tergelak, tak terkecuali Azka yang baru saja mendengar kebodohan Reyhan.
"Kadang, Ka. Gue tuh ngerasa malu jadi temen lo." Celetuk Reyhan.
Satya mengangguk. "Sama, gue juga. Kadang-kadang gue tuh sampek mikir dengan peringkat gue yang berada di nomor 27 dari 40 siswa ini gimana? Apa Azka ga malu punya temen setolol gue?"
"Pasti. Pasti malu. Tapi keknya Bang Azka maklum aja." Bukannya Azka yang menjawab malahan Ricky yang nyeletuk, kembali untuk yang kesekian kalinya tawa di sana pecah.
"Iya, Sat! Kek gue dong, peringkat tiga!" Ungkap Reyhan dengan tiga jari yang dia angkat di udara.
"Tiga apa, Rey?" Mahesa menjawab.
"Tiga dari belakang."
"HAHAHAHAHA!"
Untuk ke sekian kalinya, tawa menguar kembali. Cantya yang pertama kali berada di lingkup seperti ini merasa benar-benar diterima dengan sepenuh hati dengan bukti mereka mau berbagi tawa dengannya. Sedari tadi, bahkan fokusnya tak pernah lepas dari tawa Juan yang dapat dengan jelas dia dengar walaupun laki-laki itu berada jauh di depannya bersama Ricky, sedangkan dia duduk di dekat Sean yang sedari tadi hanya ikut tertawa.
"Gue suka banget liat Juan senyum. Lesung pipinya itu hal yang paling gue suka." Dia menoleh kearah kiri dan menemukan Mahesa yang kini juga menatap Juan dari jauh. Laki-laki itu tersenyum tipis. Memang Juan bisa menarik siapapun dengan lesung pipi miliknya, juga senyum anak itu yang tak kalah manis dari apapun juga.
"Itu yang dia ambil dari Bapak. Ibuk juga ga kalah cantik, Juan mirip banget sama Ibuk."
"Terus menurut lo, lo itu mirip siapa?"
"Juan pernah bilang kalo aku ga mirip siapa-siapa. Tapi muka aku campuran Bapak sama Ibuk." Mahesa terkekeh kecil. Memang jika menanyakan suatu hal dengan Juan, jawaban anak itu pasti akan luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] "Ini hanya kisah tentang kami, tujuh luka yang beharap bisa berakhir bahagia." Hari itu, saat tujuh luka dengan masalah berbeda berhasil dipertemukan oleh semesta. Mengukir sendiri kisah mereka yang penuh luka, di atas lembar aksar...