"Buburnya bayar sendiri yak!" Kanara berdiri dari duduknya dan meninggalkan Azka yang masih kekenyangan. Dia menangkap gerak-gerik wanita itu yang berjalan keluar dari warung tanpa niat mengikuti sama sekali. Azka menutup matanya, merasakan bubur ayam yang sepertinya sedang berperang dengan cacing di perutnya.
"Woy!" Azka terjingkat kaget saat Kanara meneriakinya. Gadis itu menatapnya nyalang.
"Cepet! Mau ikut pulang ngga?" Alhamdulillah ada tumpangan gratis, jadi Azka tak perlu jalan kaki atau pesan driver online. Dengan cepat laki-laki itu berjalan kearah penjual bubur yang baru saja dia habiskan dua piring dagangannya, menyodorkan uang dan tak lupa mengatakan terimakasih.
"Kanara! My wife!" Kanara yang dipanggil begitu langsung saja menampol lengan kiri Azka dan membuat laki-laki itu meringis.
"Jangan panggil gue gitu!"
"Kan tadi lo sendiri yang nyuruh!"
"Kan cuma bercanda, lo ah! Ngga ngerti mana bercanda mana serius." Ucapnya. Kedua alis wanita itu sudah menukik tajam membuat Azka tertawa singkat. Dia mengambil alih helm yang ada di tangan wanita itu.
"Gue yang bawa motornya, lagian lo juga ngga tau rumah gue dimana." Sebenarnya Kanara tak rela, tapi ungkapan Azka ada benarnya juga. Dia tak tahu dimana laki-laki itu tinggal, jadi daripada harus mewawancarai dia sepanjang jalan untuk menanyakan alamat tujuan, lebih baik Azka sendiri yang membawa motor itu.
Kanara mengangguk. Mereka kemudian langsung menaiki motor itu yang perlahan mulai dihidupkan Azka. "Ka, bawanya hati-hati. Ini bukan motor gue tapi motor Abang gue."
"Iya-iya." Setelah mengatakan hal itu Azka langsung saja menarik gas dan akhirnya motor itu membelah jalanan ibukota yang mulai gelap karena hari sudah berganti malam. Azka jadi was-was sendiri mengajak anak orang apalagi gadis keluar sampai jam segini.
"Ra, lo ngga dimarah entar pulang malem-malem?"
"Siapa yang mau marahin gue? Lagian ortu gue pasti sibuk sama kerjaannya. Lagian mereka juga udah bilang mau lembur, palingan nanti jam dua subuh mereka pulang." Azka hanya mengangguk mengapi gadis itu. Membawa motor itu membelah jalanan dengan kecepatan sedang, tidak terlalu ngebut atau lambat. Namun Kanara yang terbiasa bawa motor kebut-kebutan merasa bosan, karena Azka membawanya hanya tetap di kecepatan yang sama sejak tadi.
"Ka, lebih cepet lagi jalannya."
"Gini aja gapapa. Sekalian menikmati bagaimana hari akan berakhir." Kanara mendengus, dan Azka yang melihat raut wajah gadis yang sudah merungut itu hanya bisa terkekeh.
"Ra, setiap detik yang lo lalui di dunia ini harus dinikmati. Siapa tau beberapa detik setelahnya kita bakalan mati."
"Katanya mau sehidup semati." Hanya kekehan singkat yang menjawab ungkapan Kanara barusan.
"Gue nggak lagi membicarakan tentang sehidup semati, Ra. Gue serius. Kematian itu datang tanpa kita ketahui, makanya lo harus menikmati setiap detik yang lo lalui. Lo tau? Bahkan pertemuan kita barusan sudah jadi kenangan, dan ngga akan terulang." Kanara diam sembari mendengarkan setiap kata yang Azka tuturkan. Laki-laki itu juga ada benarnya, tak masalah jika kita hidup tidak terlalu terburu-buru, kita jalani dengan sebagaimana kecepatannya, dan tak lupa juga memperhatikan sekeliling kita.
"Makasih, ya." Kanara kini memfokuskan pandangan sepenuhnya pada Azka. Terlihat jelas pada spion motor, laki-laki itu tersenyum. Namun semua itu membuat Kanara bingung.
"Untuk?"
Azka tersenyum. "Lo udah menyelamatkan gue hari ini dengan ngga nabrak gue yang asal nyebrang. Lo juga bawa gue makan biar mag gue ngga makin parah. Dan kehadiran lo disini buat gue lupa satu hal yang paling gue benci."
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta dan Lukanya [TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] "Ini hanya kisah tentang kami, tujuh luka yang beharap bisa berakhir bahagia." Hari itu, saat tujuh luka dengan masalah berbeda berhasil dipertemukan oleh semesta. Mengukir sendiri kisah mereka yang penuh luka, di atas lembar aksar...